x

Iklan

Putu Suasta

Politisi Demokrat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pernyataan Hasto Bias Nilai Pendidikan Politik

Opini

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Banyak orang menyesalkan pernyataan Sekjek PDIP Hasto Kristyanto yang menyeret nama SBY dan Partai Demokrat (PD) ketika memberikan bantahan tentang keterlibatan Pramono Anung dan Puan Maharani dalam korupsi e-KTP sebagaimana dituduhkan oleh Setya Novanto di persidangan beberapa hari lalu. Pernyataan Hasto tersebut tentu sangat mengejutkan, karna terjadi di tengah upaya penjajakan koalisi antara Demokrat dan PDIP. Tapi saya menyesalkan pernyataan Hasto tersebut terlebih karena kontra produktif dengan upaya-upaya pendidikan politik di Indonesia.

Butuh Kecerdasan Politik

Kita sekarang sedang menikmati kehidupan politik yang lebih bergairah dibanding periode-periode sebelumnya. Kelompok anak-anak muda semakin menunjukkan minat mereka terhadap politik sebagaimana tampak dalam diskusi-diskusi di media sosial. Demikian juga dengan kelompok masyarakat yang lebih tua. Dulu banyak dari antara mereka yang “antipati” dan berusaha menjauhkan diri dari perbincangan-perbincangan seputar politik. Sekarang kita menyaksikan kebalikannya. Diskusi politik menjadi konsumsi masyarakat baik di dunia maya, maupun dalam kehidupan sehari-hari (dunia nyata). Suasana ini pantas kita sambut dengan positif dan para tokoh-tokoh politik sebaiknya menyajikan wacana-wacana serta argumentasi yang bersifat mendidik dan cerdas. Politik membabi-buta akan segera kehilangan daya tarik dan mengundang antipati dari masyarakat yang semakin melek politik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan pertimbangan di atas, saya sungguh menyesalkan pernyataan Sekjen PDIP yang melemparkan begitu saja tanggungjawab sengketa e-KTP ke pemerintahan SBY. Hasto seakan-akan menggiring opini masyarakat bahwa sebuah rejim pemerintahan pantas dipersalahkan terhadap segala penyimpangan yang terjadi di era rejim tersebut. Dengan demikian, partai politik yang berada di luar rejim tersebut tidak mungkin terlibat dalam penyimpangan tersebut dan karena itu tidak bisa dipersalahkan. Argumentasi yang terlalu dangkal.

Masyarakat yang baru belajar politik sekalipun dapat memahami bahwa sebuah pemerintahan dapat dinilai berdasarkan kebijakan yang dihasilkannya. Tentang bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan di lapangan, ada banyak kekuatan yang menentukan dan ikut terlibat aktif. Oposisi sekalipun ambil bagian secara aktif dalam menentukan implementasi sebuah kebijakan terutama jika kita pertimbangkan sistem pemerintahan Indonesia yang tak sepenuhnya dapat disebut Presidensial. Partai-partai politik dapat menentukan kesuksesan sebuah kebijakan terutama lewat politik penganggaran, pengawasan dan legislasi yang dimiliki wakil-wakil mereka di Senayan. Karena itu, e-KTP sebagai kebijakan pemerintahan SBY dengan bangga mesti diakui sebagai sebuah terobosan penting. Tapi berbagai penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaannya merupakan konsekuensi dari adanya berbagai kepentingan kekuatan-kekuatan politik di masa itu. Dalam konteks ini tidak relevan lagi membuat dikotomi oposisi dan koalisi pemerintah sebagaimana dilontarkan Hasto. Dengan logika yang sama, pantaskah sepenuhnya menyalahkan rejim pemerintahan Megawati dalam dugaan skandal BLBI?

Komitmen Pemberantasan Korupsi

Pernyataan Hasto juga seakan-akan mempertanyakan komitmen SBY dan Partai Demokrat terhadap pemberantasan korupsi. Sesuai dengan alur pemikiran di atas, adakah kebijakan SBY sebagai seorang Presiden yang tidak mencerminkan semangat pemberantasan korupsi? Kita dapat dengan mudah menelusuri berbagai upaya penguatan KPK dan lembaga-lembaga penegakan hukum lain untuk terus menyukseskan agenda pemberantasan korupsi di masa pemerintahan SBY. Bahkan SBY berkali-kali mendapat pujian berkat dukungannya yang nyata terhadap KPK dalam berbagai kemelut berat. Semua itu adalah bentuk komitmen yang tidak tergoyahkan untuk menyukseskan agenda pemberantasan korupsi di Indonesia.

Komitmen itu juga ditegaskan oleh SBY secara terus menerus kepada semua kader PD. Bahwa di kemudian hari beberapa menteri di era pemerintahan SBY dan kader-kader PD terjerat kasus korupsi, tidak serta merta dijadikan pembenaran untuk mempertanyakan komitmen SBY dan PD. Sebagai pemimpin SBY telah membuat prinsip-prinsip yang jelas dan tegas baik sebagai Presiden maupun sebagai tokoh sentral PD. Siapapun yang melanggar prinsip-prinsip tersebut mesti menerima konsekuensi hukum dan konsekuensi politik (keluar dari pemerintahan dan PD). Keputusan SBY untuk mengambil alih kepemimpinan PD hingga sekarang adalah bagian dari upaya untuk memastikan prinsip-prinsip tersebut terlaksana dan meminimalisir penyimpangan. Karena itu, sangat tidak tepat menarik contoh-contoh korupsi kader PD dan menteri di era SBY sebagai legitimasi mempertanyakan komitmen terhadap pemberantasan korupsi.

Rakyat Indonesia semakin cerdas dalam mencerna informasi serta argumentasi-argumentasi politik yang terjadi dalam berbagai media. Karena itu, tokoh-tokoh politik dituntut untuk semakin cerdas dalam memberikan pernyataan.

Ikuti tulisan menarik Putu Suasta lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler