x

Iklan

Ketut Budiasa

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

2030

Ada yang memprediksi Indonesia bubar di tahun 2030. Tapi ada yang memprediksi sebaliknya, Indonesia akan menjadi kekuatan dunia. Mana yang kita percayai ?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hari Sabtu, 24 Maret 2018, di sebuah gruop WA, saya membaca copy-paste sebuah tulisan pendek : “PRABOWO : KAJIAN STRATEGIS DAN INTELEJEN ASING, SUPAYA KITA TIDAK ANGGAP REMEH PERSOALAN BANGSA”. Intinya, tulisan ini menelisik “sisi ilmuwan” sang penulis novel Ghost Fleet yang menginspirasi Pak Prabowo mengutarakan kecemasannya akan kehancuran Indonesia di tahun 2030. Bahwa PW Singer adalah nama yang asing di dunia penulisan fiksi. Sebaliknya, Singer adalah seorang ilmuwan politik Amerika. Dia adalah sarjana hubungan Internasional, khususnya dalam pembahasan peperangan abad ke-21. Dia saat ini menjadi ahli strategi untuk New America Foundation, sebuah lembaga think tank nirlaba, dan editor untuk Popular Science, majalah ilmu pengetahuan ternama di AS. Bahwa Singer pernah menjadi Direktur Pusat Keamanan dan Intelegensi Abad ke-21. Sebelum itu, ia pendiri Proyek Kebijakan AS di Dunia Islam pada Pusat Kebijakan Timur Tengah di Brookings. Dia juga bekerja untuk Pusat Ilmu dan Urusan Internasional Belfer di Universitas Harvard, Satuan Tugas Balkan di Departemen Pertahanan AS, dan Akademi Perdamaian Internasional. Singer menerima gelar Ph.D. dari Harvard University dan A.B. dari Woodrow Wilson School of Public and International Affairs di Princeton.

Masih banyak informasi lainnya soal Singer yang — bila itu benar — ternyata memang sungguh sangar. Sangar dalam artian keren, tak banyak orang sekeren itu di dunia. Lalu sang penulis menutup analisanya dengan pertanyaan pada paragraf terakhir : “Jadi, marilah sudahi saja dengan pertanyaan mengganggu: Kenapa seorang ilmuwan politik dan ahli strategi menulis sebuah novel?”. Lalu sang penulis mengajukan hipotesa, kira2 begini : “novel itu sesungguhnya bukan sembarang novel. Itu adalah hasil kajian intelijen, yang, demi alasan menghindari kehebohan dunia, lalu disamarkan dalam bentuk novel”. Sampai disini, saya merasa Singer sangat berbaik hati. Ia rela kajian ilmiahnya didegradasi menjadi sebuah novel, demi ketenteraman masyarakat dunia. Di titik ini pula, saya tiba2 berharap tokoh2 bangsa kita belajar dari kearifan seorang Singer. Jangan dibalik : Singer menyamarkan, kita membuka sambil menakut-nakuti. Singer menjadikan karya ilmiah menjadi novel demi ketenteraman masyarakat, kita malah menjadikan novel sebagi kajian intelijen demi meraih kekuasaan. Masak kita tidak malu sama Mr Singer ?

Itu baru sebatas problem etis. Belum lagi problem substansi. Substansi, antara kita memilih membangun ketakutan atau membangun keberanian. Pesimisme atau optimisme. Mungkin karena membaca penjelasan sebuah karya sastra, saya jadi ingat film “Clash of the Titans” yang bercerita tentang persaingan dua dewa : Zeus yang menguasai langit dan Hades yang menguasai “alam bawah”. Zeus, karena cintanya pada manusia, selalu ingin memberi rasa aman, mensejahterakan dan juga memaafkan kesalahan2 manusia. Sementara Hades, ia hidup dari ketakutan manusia. Manusia yang berani mempertanyakan segala sesuatu adalah ancaman bagi eksistensinya. Sebaliknya, semakin manusia ketakutan, semakin ia memperoleh kekuatan. 2 karakter dewa yang bertentangan ini membawa mereka pada konflik, yang menyeret-nyeret manusia. Untunglah ada Parseus, manusia setengah dewa yang menjadi penyelamat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kembali ke substansi. Bagaimana pendapat saya mengenai karya sastra yang mengandung muatan analisa intelijen ?

Begini.

Pertama. Penjelasan siapa Singer sangat informatif dan mencerahkan. Jujur saja, saya bukan penikmat novel. Pun tak banyak mengikuti teori-teori kontemporer terkait peta kekuatan dunia dan potensi2 konfliknya. Ribut2 angka 2030 ini adalah satu2nya dan pertama kalinya membawa saya mendengar nama PW Singer. Sebelum ini, satu2nya buku sejenis yang saya baca adalah thesis Samuel Huntington, The Clash of Civilization, dimana dalam buku tersebut — tidak berbaik hati seperti Singer — Huntington justru terang2an meramalkan konflik “dunia barat” di satu sisi berhadapan dengan “dunia islam” disisi lain. Tapi thesis ini kurang sexy untuk dikutip, mungkin karena tidak meramalkan kehancuran Indonesia.

Kedua. Bahwa karya PW Singer itu adalah sebuah novel tetaplah faktanya demikian. Semua orang bisa membuat analisa tentang latar belakang, teori konspirasi dan sebagainya terkait penulis dan novelnya, tapi faktanya buku itu tetap sebuah novel.

Ketiga. Indonesia hancur adalah pandangan pesimistis. Dan itu bukanlah satu2nya ramalan, karena banyak ramalan yg menyatakan sebaliknya : indonesia akan menjadi poros kekuatan dunia bersama BRIC : Brasil, Rusia, India dan China. Pergerakan PDB indonesia cukup menjanjikan untuk mencapai itu. Tahun ini, untuk pertama kalinya, Indonesia masuk dalam “club elite dunia” dengan PDB sebesar USD 1 T. Tak lebih dari 15 (lima belas !!) negara di dunia yang masuk club ini.

Keempat. Pandangan pesimis tetap diperlukan sebagai reminder. Tapi tidak boleh menjadikan pesimistis sebagai tulang punggung dan spirit bangsa. Spirit pembangunan bangsa harus berlandaskan keyakinan kuat, pemikiran positif, visi cemerlang dan diwujudkan dengan kerja keras.

Kelima. Kesimpulannya, menurut saya pribadi : untuk mengatur dan menggerakkan bangsa ini, berikanlah pada mereka yang berfikir positif, memiliki kepercayaan kuat bahwa bangsa ini akan menjadi bangsa besar, dan bersedia bekerja bekerja dan bekerja untuk mewujudkannya. Ingat ilmu lawas 7 habits : when you change what you believe, you change what you do. Kita butuh orang2 yg memiliki believe indonesia akan menjadi raksasa dunia, karena keyakinan itu yang akan men-drive tindakannya. Yang pesimis tetap dibutuhkan, sebagai reminder. Dalam sistem perpolitikan, peran reminder itu adalah tugas oposisi. Keduanya baik dan perlu, tapi harus ditempatkan di posisinya yang sesuai.

Ini hanya analisa partikelir dari bukan pakar, tapi tetap seorang anak bangsa yang mencintai tanah airnya dengan sepenuh jiwa, yang bergetar kalbunya setiap kali mendengar lagu Indonesia Raya, yang percaya bangsa ini memiliki segala potensi untuk menjadi pemenang dalam persaingan global, dan, tentu saja, juga seorang anak bangsa yang punya hak pilih pada pemilu mendatang.

Ikuti tulisan menarik Ketut Budiasa lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler