x

Iklan

Michael H. B. Raditya

Antropolog; peneliti musik, seni pertunjukan, dan budaya. Tinggal di Naarm, sesekali mudik ke Jakarta ketika natal.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Etnomusikologi Indonesia dan Tawaran Etnomusikologi Terapan

Membaca Etnomusikologi Indonesia Kini dan Mempertimbangkan Etnomusikologi Terapan (Refleksi Hari Musik Indonesia 2018)

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Pada tanggal 9 Maret lalu, Indonesia merayakan hari musik nasional. Perayaan ini dimaksudkan sebagai penghargaan bagi pelaku musik tanah air—entah pelaku musik tanah air memerlukan hal tersebut atau tidak. Hari perayaan ini terjadi sejak lima tahun belakangan, di mana melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 10 tahun 2013, tanggal 9 Maret diperingati sebagai hari musik guna meningkatkan kepercayaan diri, meningkatkan prestasi serta derajat musik Indonesia dalam pelbagai level, baik regional, nasional, ataupun internasional. Sederhananya, hari musik merupakan momentum apresiasi terhadap musik di Indonesia, tidak hanya musik populer, melainkan segala musik yang ada di Nusantara, seperti musik tradisi sekalipun.

Di tahun 2018 ini, turut digelar Konferensi Musik Indonesia di Ambon, Maluku selama tiga hari, yakni 7-9 Maret 2018. Hal ini kiranya berkenaan dengan program Bekraf yang mencanangkan Ambon sebagai kota musik. Dari berita yang tersebar, tercatat ada beberapa pembahasan yang dilakukan di dalam konferensi tersebut, yakni: ekosistem industri musik era digital; musik pemajuan kebudayaan; musik diplomasi budaya dan pariwisata; serta musik sebagai alat perdamaian dan pemersatu bangsa. Semangat dan gagasan awal yang kiranya perlu diapresiasi, walau keterlibatan scholar musik pada konferensi tersebut perlu digiatkan lebih. Dalam hal ini, mengapa scholar musik menjadi penting? Pasalnya musik dan masyarakat bukanlah hal baru yang dibicarakan dalam bingkai kajian. Tercatat banyak perspektif turut membahasnya, semisal antropologi, sosiologi, folklore, musikologi, dan juga etnomusikologi—belakangan turut terbentuk wacana music studies di Barat dalam mengakomodasi pelbagai hal terkait musik.

Untuk cabang keilmuan yang saya sebutkan paling akhir, etnomusikologi, merupakan cabang keilmuan yang seharusnya paling bertanggung jawab terkait musik dan masyarakat, baik musik tradisi ataupun musik populer sekalipun. Seyogianya etnomusikologi menjelma sebagai ilmu yang dapat membaca praktik musik secara holistik, namun apakah kenyataannya demikian? Agaknya perlu ditilik lebih lanjut. Oleh karena itu, dalam melihat tarik-ulur, saling-sengkarut antara musik dan masyarakat, maka kiranya penting untuk merefleksikan etnomusikologi Indonesia kini. Bukan untuk mencari kesilapan yang lampau, namun mencari pemaknaan kini dan kelak.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

           

Posisi Etnomusikologi Indonesia

Pasca perubahan American Society for Comparative Musicology menjadi Society for Ethnomusicology pada tahun 1955[i], Etnomusikologi—sebagai cabang ilmu yang mempelajari musik dan masyarakat—menemukan formula yang tepat dalam mengakomodasi pelbagai aktivitas riset musik sebelumnya. Jika sebelum tahun 1950-an, kajian musik kerap ditelaah dengan musikologi komparatif, maka setelah terma etnomusikologi muncul, terma tersebut menjadi tawaran yang lekas disetujui oleh pelbagai kalangan terkait. Secara tidak langsung, hal ini menunjukkan bahwa musikologi komparatif sudah tidak lagi dapat mengakomodasi perkembangan pembahasan. Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa terjadi perluasan dimensi penelitian. Bertolak dari momentum pergantian terma tersebut, maka etnomusikologi berkembang pesat dengan landasan pemikiran yang multi bahkan interdisiplin. Semisal kontribusi dari para etnomusikolog-antropolog dan etnomusikolog-musikolog. Saling-silang keilmuan ini menggiring etnomusikologi menjadi ilmu yang akomodatif pada pelbagai fenomena musik di masyarakat.

Di Indonesia, perkembangan etnomusikologi cukup unik. Disiplin ilmu hasil dari perkawinan antropologi dan musikologi ini diacu sekaligus diinterpretasikan sesuai dengan kebutuhan dari institusi pendidikan penyelenggara. Di tempat asalnya—Barat—, ilmu ini berkembang pesat, baik secara teoretis ataupun metodologis. Di mana pelbagai jenis musik yang berada dan hidup bersama masyarakat pun tak arang menjadi material kajian, mulai dari musik noise, musik populer, musik hawaian, house music, dan sebagainya. Dalam hal ini, etnomusikologi tidak hanya membahas musik kuno atau musik—yang dikonsepsikan—eksotis, namun membahas segala musik selama berkaitan dengan konstelasi masyarakat. Secara lebih lanjut, etnomusikologi berupaya membaca manusia melalui musik dan interaksi. Alhasil pelbagai jenis musik—tanpa pandang bulu dan asal—akan dipelajari.

Lazimnya hasil dari etnomusikologi adalah pembacaan musik atas masyarakat yang diharapkan menghasilkan teoritisasi tertentu berdasarkan variabel dari material penelitian. Teoritisasi atas interaksi musik dan masyarakat dengan beragam perspektif kiranya membantu pembaca dan masyarakat bahwa musik tidak hanya  presentasi permainan atau ekspresi semata, melainkan berkaitan dengan pola dan logika masyarakat penggunanya. Masih dengan orientasi etnomusikologi, alih-alih pekerjaan yang dilakukan hanya sebatas teoretis, scholar Etnomusikologi turut melakukan pengembangan metodologi seiring dengan kondisi manusia yang ditelitinya. Di sini terjalin bahwa kesadaran akan material penelitian adalah sesuatu yang terus bergerak, sehingga metoda—sebagaimana dapat disederhanakan sebagai cara—yang digunakan pun harus terus berkembang.

Sedangkan di Indonesia disiplin etnomusikologi mengalami sikap pengguna yang beragam, mulai dari setia merujuk ilmu dan perkembangan ilmu akarnya; dikembangkan dengan adanya fokus tertentu pada teoretis atau metodologi tertentu; ataupun ‘melawan’ fitrah etnomusikologi sebagai pengkajian. Dari beragam interpretasi yang muncul, orientasi beberapa kampus mempunyai kecenderungan tarik ulur antara ketiga hal tertaut. Untuk kecenderungan terakhir yang disebutkan, beberapa kalangan menyebutkan bahwa hal tersebut adalah disorientasi, namun beberapa kalangan pelaku tentu berujar sebaliknya. Entah dimaknai disorientasi atau ‘kreatif’, hal tersebut kiranya dapat dipandang sebagai wujud adaptasi keilmuan. Terlebih, tiga dekade belakangan terjalin kesadaran untuk menggunakan dan mengkritisi keilmuan Barat sesuai dengan kebutuhan kelompok penggunanya.

Hal ini turut berkaitan pada kesadaran melawan ke-inlander-an masyarakat kita, di mana konstruksi Barat lebih tinggi dan Timur sebaliknya. Pun tercatat ranah keilmuan atau aktor intelektual yang menggagas hal ini, di antaranya Antropologi pada fase ketiga yakni tahun 1930 dengan kesadaran di mana sasaran dari penelitian bukan hanya bangsa di luar Eropa, namun Eropa sendiri adalah material penelitian—alhasil terjalin kesadaran di mana setiap kebudayaan sama[ii]; Abraham Maslow (ahli humanistik) di mana sains adalah etno pengetahuan dari orang Barat.[iii] Secara lebih lanjut, adanya kehendak untuk mengakui kesamaan derajat budaya ilmu pengetahuan; atau Edward Said dengan Orientalisme-nya[iv] yang mendudukan persoalan konstruksi Barat dan Timur lebih artikulatif dan setara; dan masih banyak lainnya.

Bertolak dari logika tersebut, kesadaran serupa sebenarnya telah dipacu oleh para pemikir tanah air tiga hingga empat dekade belakangan, semisal Suka Hardjana. Hardjana memulai logika tersebut pertanyaan, sebagai berikut:

 “Dapatkan seluruh aspek perangkat etnomusikologi yang mereka pakai sebagai pisau analisis etnologis terhadap kita, sebagai obyeknya, kita ambil alih keseluruhannya, seperti yang sekarang ini terjadi, untuk kemudian kita pakai sebagai pisau pembedah analisis atas diri kita sendiri? Tak haruskah kita menghadapi ilmu baru ini dengan tujuan-tujuan yang lebih spesifik bagi kepentingan diri kita sendiri yang mungkin lebih bermanfaat? Haruskah para etnomusikolog kita berlagak seperti sarjana-sarjana Amerika dan Eropa yang mempunyai dasar-dasar dan alasan-alasannya sendiri? ataukah etnomusikologi itu sesuatu yang bersifat tradisional dalam kaidah-kaidah kebiasaan telaah dan tujuan-tujuannya, sehinga menjadi klasik dalam tata pikir dan konsep-konsepnya? Atau adakah sesuatu yang masih dapat kita lakukan melalui “etnomusikologi-ekstra” untuk tujuan yang lebih kondisional? Misalnya, semacam etnomusikologi-alternatif atau etnomusikologi-banding yang dapat lebih memacu tumbuhnya produk-produk yang lebih kreatif?[v]

 

Merujuk pertanyaan-pertanyaan Hardjana, kiranya tersemat beragam catatan kritis atas keberadaan ilmu Barat—dalam hal ini etnomusikologi—agar lebih tepat guna sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Pun pertanyaan-pertanyaannya diakhiri dengan merujuk pada terma kondisional dan harapan akan produk keilmuan yang lebih kreatif. Dalam hal ini, impian akan etnomusikologi dapat lebih tepat guna dan bermanfaat terhadap masyarakat terjalin. Namun, karena konsepsi berguna dan bermanfaat cukup abstrak dan mempunyai peluang pemaknaan yang arbitrer, maka bermanfaat di sini dapat dimaknai sebagai kontekstual ataupun kebutuhan masyarakat yang dilandasi pada riset yang jelas. Ingat, bukan sebaliknya.

 

Menilik Etnomusikologi Indonesia

Membahas perihal arah, orientasi, dan dimensi etnomusikologi Indonesia maka akan mengarah pada institusi pendidikan penyelenggara program tertaut. Kendati tercatat beberapa kelompok kajian di luar kampus yang bergiat pada penelitian musik dan masyarakat, salah satunya yang dilakukan oleh LARAS – Studies of Music in Society, dan beberapa kelompok lain, namun agen yang paling bertanggung jawab dalam menentukan etnomusikologi Indonesia ke depan adalah institusi pendidikan. Lantas bagaimana etnomusikologi Indonesia? Suka Hardjana sempat mencatat hal tersebut, sebagai berikut:

Akhir-akhir ini studi etnomusikologi agaknya tambah populer. Dalam sepuluh tahun terakhir [sekitar 1980-1990an] banyak sarjana-sarjana disiplin ilmu ini didatangkan dari luar negeri ke kampus-kampus musik dan ilmu-ilmu sosial dan kesenian di Indonesia. Begitu banyaknya lulusan-lulusan sarjana bidang seni dan budaya dikirimkan ke luar negeri untuk memperdalam pengetahuan etnomusikologi yang lebih tinggi. Beberapa di antara mereka bahkan telah meraih gelar PhD atau Doktor dalam ilmu yang baru kita kenal ini. Universitas Sumatera Utara di Medan bahkan telah membuka jurusan studi ini sejak beberapa tahun berselang. Mata kuliah yang sama juga diberikan di kampus-kampus Sekolah Tinggi Seni Indonesia di Surakarta, Yogyakarta, dan Denpasar.[vi]

Beberapa tahun silam, Hardjana mencatat muasal terbentuknya etnomusikologi di Indonesia. Hingga kini tercatat bahwa USU Medan, Sekolah Tinggi Seni Indonesia yang berubah nama menjadi Institut Seni Indonesia, baik di Yogyakarta ataupun Surakarta, masih aktif menyelenggarakan pendidikan etnomusikologi. Beberapa tempat lain adalah Etnomusikologi di Institut Kesenian Jakarta, jurusan Karawitan di ISI Denpasar, ISI Padangpanjang, ISBI Bandung, dan ISBI Aceh. Bahkan, belakangan turut dibuat etnomusikologi di beberapa kampus, seperti: ISBI Kalimantan Timur dan Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur. Baik menggunakan nama etnomusikologi ataupun tidak, tetapi semangat mengkaji dan meneliti masyarakat melalui musik tersebar dengan baik.

Namun perlu disadari, lagi-lagi terjadi perbedaan orientasi, pengembangan, dan dimensi dari setiap penyelenggara pendidikan tertaut. Atas hal ini, kiranya terdapat empat faktor yang membuat etnomusikologi di Indonesia berkembang: pertama, etnomusikologi Indonesia merujuk keilmuan etnomusikologi Barat. Terlalu naif mengatakan jika etnomusikologi Indonesia tidak bertolak dari keilmuan Barat. Dalam hal ini, menganut paradigma etnomusikologi yang dikonstruksi Barat tetap terjadi di Indonesia. Namun seberapa jauh pemahaman atas paradigma, teori, dan metode etnomusikologi antara satu kampus dengan kampus lainnya berbeda. Kedua, scholar etnomusikologi yang datang atau mengajar di kampus tertentu turut mempengaruhi orientasi kampus tertaut. Semisal kedatangan Margareth J. Kartomi, Philip Yampolsky, Edward C. Van Ness, Marc Perlman, dan sebagainya di Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara, Medan; Shin Nakagawa di Etnomusikologi ISI Yogyakarta; dan lain sebagainya. Tidak dipungkiri bahwa pemikiran scholar luar tersebut mempengaruhi scholar atau tenaga pengajar tanah air.

Ketiga, interpretasi diri—khususnya pengajar setempat—atas etnomusikologi. Interpretasi merupakan hal yang diperlukan seorang individu dalam menangkap fenomena. Dalam jagad antropologi, Clifford Geertz merupakan salah seorang scholar yang menekankan interpretasi[vii] dalam penelitian. Namun dalam hal ini, interpretasi yang dimaksud adalah interpretasi tenaga pengajar setempat dalam menangkap keilmuan etnomusikologi dan menangkap kecenderungan scholar yang datang ke Indonesia. Interpretasi ini kadang mengarahkan etnomusikologi di prodi tertentu semakin baik, dan juga sangat memungkinkan berlaku sebaliknya, buruk. Dalam hal ini, tidak dipungkiri bahwa interpretasi turut berpengaruh pada kapasitas dan kemampuan tenaga pengajar. Keempat, nomenklatur kampus penyelenggara pendidikan tertaut. Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, terma nomenklatur diartikan sebagai (1) penamaan yang dipakai dalam bidang atau ilmu tertentu; tata nama. (2) Pembentukan (sering kali atas dasar kesepakatan internasional) tata susunan dan aturan pemberian nama objek studi bagi cabang ilmu pengetahuan. Nomenklatur lazimnya berlandaskan visi dan misi penyelenggara pendidikan yang diatur oleh tenaga pengajar di dalamnya. Alhasil orientasi kampus yang disesuaikan dengan visi misi tenaga pengajar terlegitimasi Kementerian Riset, Tekonologi, dan Pendidikan Tinggi.

Bertolak dari keempat kecenderungan inilah kiranya program studi atau jurusan Etnomusikologi di Indonesia berkembang. Alih-alih setiap faktor berdiri sendiri atau terpisah satu sama lain, nyatanya setiap faktor berkelindan dan saling tertaut sesuai dengan institusi terkait. Kiranya di atas adalah pembacaan atas etnomusikologi di Indonesia melalui literatur, dan tidak dapat disangkal jika terkadang kenyataan jauh panggang dari api. Namun, saya mendapat sebuah kesempatan baik untuk memahami lebih lanjut atas etnomusikologi secara langsung. Di mana saya menjadi moderator dalam sarasehan budaya pada acara yang bertajuk Etnomusikolpedia#3 pada tanggal 8 Maret 2018, sehari sebelum hari musik Nasional. Acara yang menghadirkan dan mempertemukan beberapa kampus etnomusikologi di Indonesia ini diinisiasi oleh Himpunan Mahasiswa Etnomusikologi ISI Yogyakarta. Dari sarasehan ini, kiranya pembacaan etnomusikologi Indonesia dapat dilakukan secara langsung.

 

Menjajaki Arah Etnomusikologi Indonesia: Posisi Penciptaan Musik?

Sarasehan Budaya Etnomusiklopedia#3 mempertemukan mahasiswa dari pelbagai jurusan atau program studi etnomusikologi atau karawitan dalam bingkai presentasi. Tercatat enam perguruan tinggi terlibat, yakni ISBI Aceh, USU Medan, ISBI Bandung, ISBI Kaltim, ISI Solo, dan tuan rumah ISI Yogyakarta, dari recana undangan empat atau enam program studi yang belum dapat mengirimkan delegasinya. Alih-alih hanya bersifat presentasi hasil penelitian—guna sebuah ide penciptaan—, sarasehan ini turut melibatkan dua pembahas ahli, yakni: G.R. Lono Lastoro Simatupang (antropolog seni) dan Purwanta Ipung (seniman). Dua pembahas ahli ini kiranya memberikan sintesis atas pembahasan dari persoalan yang diangkat para mahasiswa lintas daerah ini.

Kendati kedatangan atau delegasi dari kampus etnomusikologi dari pelbagai tempat di Indonesia berasal dari kalangan mahasiswa, namun bagi saya mahasiswa merupakan representasi dari asal kampusnya. Dalam hal ini, mahasiswa adalah manifestasi dari seberapa mendalam pola pendidikan dikonstruksikan oleh dosen dan sivitas akademika kampus. Sederhananya, seberapa jauh keberhasilan kampus mendidik peserta ajarnya dapat dilihat melalui kemampuan mahasiswa. Alhasil, jika mahasiswa tidak merasa mendapatkan apa-apa, maka melawan dan menggugat kampus bukan hal yang keliru. Kembali pada mahasiswa adalah representasi kampus, dari sarasehan budaya inilah saya dapat kembali memetakan beberapa hal, yakni: pertama, pendidikan etnomusikologi Indonesia; kedua, arah dan orientasi etnomusikologi Indonesia; ketiga, masa depan etnomusikologi Indonesia—pasalnya mahasiswa adalah agen masa depan etnomusikologi. Alhasil dari sarasehan ini, saya dapat melihat gambaran—baik superficial ataupun mendalam—atas wajah etnomusikologi Indonesia kita kini dan mendatang.

Dalam saraseshan budaya tersebut, presentasi hasil penelitian ini akan menjadi bahan dalam menciptakan musik baru—yang akan dipresentasikan keesokan harinya. Dari keenam presentasi tersebut kiranya saya mencatat beberapa hal, pertama, fenomena yang diangkat berkutat pada siklus hidup. Semisal ISI Yogyakarta dengan gejog lesungnya yang digunakan ketika menunggu padi; ISBI Bandung dengan perkawinan masyarakat; dan sebagainya. Kedua, kesadaran kontekstual terjadi namun belum terjalin. Hampir semua mahasiswa dari pelbagai kampus telah menyadari variabel dalam kontekstual, tetapi cukup disayangkan bahwa pertautan antar elemen belum tergali lebih dalam.

Ketiga, adanya wacana yang diangkat. Dari presentasi mahasiswa tersemat bahwa wacana mulai digiatkan, semisal wacana perkembangan teknologi mesin yang mengikis penggunaan gejog lesung dari ISI Yogyakarta; keberagaman dalam kesenian di satu tempat dari ISBI Aceh; epos masyarakat dari ISBI Bandung; interpretasi perempuan oleh ISI Surakarta; dan sebagainya. Dalam hal ini, kita perlu apresiasi baik atas esadaran wacana muncul walau perlu dituntun dengan lebih rapih. Keempat, daya konversi terhadap penciptaan musik. Kecenderungan kebanyakan mahasiswa adalah mengkonversi epos sebagai struktur lagu secara mentah. Dalam hal ini upaya konversi baik, namun tidak serta-merta dipindah atau dicerabut begitu saja. Merujuk Purwanta Ipung sebagai pembahas ahli, kecenderungan dalam mengartikan secara wantah adalah hal keliru. Semisal tradisi yang diartikan fisik semata, padahal tradisi adalah semangat, dan dalam proses pengkajian atau penciptaan, kiranya mahasiswa memahami semangat tersebut.

Kelima, penggunaan teori belum terlalu cakap digunakan. Dalam hal ini, teori lama Allan P. Merriam atas fungsi dan guna masih digunakan dalam membaca masyarakat kini. Pada dasarnya tidak ada masalah dengan penggunaan teori lama, namun yang menjadi soal, mahasiswa belum dapat menggunakan teori dengan sesuai. Selain itu, pemaknaan teori fungsi masih terasa kaku, bahkan dipisahkan satu sama lain. Atas hal ini, Simatupang menegaskan bahwa fungsi seni tidak terpisah satu sama lain, melainkan berkelindan. Satu catatan bahwa adanya pembacaan keliru atau wantah--yang mungkin dilakukan oleh--pihak pengajar. Keenam, kesadaran berkontestasi dengan musik ‘pabrik’ atau populer. Setiap mahasiswa dari keenam kampus mempunyai orientasi bahwa musik tradisi harus bersaing dengan genre musik apapun di belantara musik populer. Catatan di atas kiranya dapat memberikan bayangan peta atas kampus etnomusikologi di Indonesia, terlepas dari pelbagai karakteristiknya masing-masing.

Terkait penciptaan dalam bingkai etnomusikologi—sebagaimana presentasi yang dikemukakan akan digunakan sebagai bahan penciptaan—, ISI Yogyakarta memang salah satu institusi yang mempunyai program penciptaan sejak tingkat strata-satu. Alih-alih hanya ISI Yogyakarta, beberapa kampus yang menyelenggarakan pendidikan etnomusikologi turut menciptakan program serupa, penciptaan. Bahkan USU Medan yang dikenal baik dalam bidang kajian turut membuka program serupa. Sejak tahun 2009, program studi Etnomusikologi FIB USU membuka program studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni.[viii]

Wacana penciptaan dalam jagad etnomusikologi memang menjadi persoalan yang ramai diperbincangkan. Beberapa kalangan mendaulat bahwa penciptaan bukanlah produk etnomusikologi—yang akar ilmunya adalah produk literasi berbasis penelitian. Alhasil penciptaan dianggap bukan etnomusikologi, walau pihak yang dituju tetap bersikeras menjalankan dengan dalihnya sendiri. Bahkan kritikus musik, Suka Hardjana, sempat menyatakan bahwa “Masyarakat pencipta yang kreatif sesungguhnya malah tersebar di luar kampus. Kebutuhan kreatif tersebar di luar kampus, sementara perangkat pengetahuan yang menopangnya masih tertutup dan tersimpan di peti-peti kemas pengetahuan kampus-kampus Indonesia[ix].” Pembacaan Hardjana tersebut memang tidak keliru jika melihat penggunaan musik tradisi di kalangan masyarakat lokal ketimbang penggunaan dalam rangka musik tradisi laiknya yang digunakan di dalam kampus. Itu sama saja mencerabut musik dari masyarakatnya, terlebih jika tidak ada penekanan kontekstual di dalam pengajarannya. Jika merujuk bi-musicality yang ditekankan Mantle Hood, di mana pengalaman dan apresiasi dari memainkan musik dapat menambah kepekaan dalam meneliti kelak. Agaknya bi-musicality yang dimaksud harus turut dimaknai dalam mengalami penggunaan musik di dalam masyarakat penggunanya. Dengan begitu dimensi apresiasi menjadi utuh. Selain itu, pembacaan Hardjana bahwa perangkat pengetahuan terhenti di kalangan kampus saja, bahkan hanya jadi syarat kelulusan demi mendapatkan gelar, memang tidak dapat disanggah.

Atas dasar pernyataan di atas, kiranya saya kembali menautkan pendapat Suka Hardjana dalam mencari jalan keluar, yakni:

Harus ada terobosan etnomusikologis yang bukan saja mengacu pada etnosentrisme sebagai eksistensi masa lampau, akan tetapi juga etnomusikologi pengamatan gejala tingkah laku budaya yang bergerak ke masa akan datang. Perubahan-perubahan etnosentristik, juga dalam tingkah laku budaya musik, sedang bergerak dengan cepat karena perubahan-perubahan ruang dan waktu, mobilitas kependudukan, dan lingkungan.[x]

Dalam hal ini, etnomusikolog perlu menyadari bahwa kesadaran akan pembahasan segala musik, yang tidak hanya berkutat pada musik masa lampau, melainkan masa kini dan ke depan sesuai dengan konstelasi yang terjalin. Dengan cara seperti itu kiranya ungkapan Suka Hardjana dapat diminimalisir.  Pasalnya, Etnomusikolog bukanlah insan yang mengucilkan dirinya untuk suatu lingkaran skolar akademis yang tertutup, tetapi seharusnya tanggap dengan apa yang diperlukan oleh masyarakat sekitarnya[xi]. Kesadaran seberapa jauh etnomusikologi dapat mengakomodasi pelbagai jenis musik kiranya sudah terpantul dari beberapa kampus, semisal Institut Seni Indonesia Surakarta atau USU Medan. Laiknya yang diungkapkan Suka Hardjana, yakni: Dengan demikian, etnomusikologi tidak cukup hanya menelaah dan meneliti apa, yang sudah terjadi, akan tetapi secara fenomenologis juga harus mengamati gejala-gejala perubahan gerak budaya musik yang sedang dan akan terjadi.[xii] Sedangkan beberapa kampus lain masih setia dengan material musik tradisi yang eksotis dan ancient.  

Namun bagaimana dengan wacana penciptaan dalam etnomusikologi? Bersamaan dengan kesadaran bahwa interpretasi penyelenggara pendidikan atau keilmuan dapat menjadi orientasi institusi pendidikan terkait, maka penyelenggara minat atau prodi penciptaan bukan lagi hal yang patut dipersalahkan—seperti yang telah ditautkan sebelumnya, bahkan beberapa prodi yang mengusung pengkajian pada awal kemunculannya pun kini turut mengakomodasi penciptaan—melainkan perlu dikritisi guna bermanfaat bagi masyarakat. Dalam hal ini, mengkritisi merupakan sikap mempertanyakan dan mencurigai akan seberapa jauh tindakan dipertimbangkan sesuai dengan kebutuhan dan kebermanfaatan untuk masyarakat, bukan upaya menyetujui atau melanggengkan.

Pilihan mengkritisi penciptaan dalam etnomusikologi pun turut terstimulasi akan upaya mengkritisi pengkajian yang telah dilakukan selama ini, di mana: pertama, hasil penelitian kurang dapat diakses. Dalam hal lain hasil penelitian hanya teronggok di dinginnya lemari kampus. Kedua, pengetahuan yang diteliti tidak memberikan terobosan yang bermanfaat bagi masyarakat. Ketiga, tidak memberikan pembacaan yang holistik atas konstelasi masyarakat pengguna musik tertaut. Posisi pengkajian hanya teronggok kaku dan jauh dari masyarakat. Bertolak dari hal ini, kiranya kita perlu kembali lagi mengkritisi posisi pengkajian etnomusikologi di Indonesia. Dan salah satu awalan yang baik adalah dengan mempertanyakan, apakah hasil pengkajian etnomusikologi sudah dapat dibaca dengan luas? Semisal dibaca masyarakat, tentu dengan penyesuaian gaya tutur yang lebih ringan dan populer, terlebih kita memahami bahwa ruang atas tulisan sedemikian tersebarnya kini.

Jika menilik kembali posisi pengkajian etnomusikologi, lantas apakah yang seharusnya diproduksi oleh pengkajian? Merujuk pembicaraan pada sarasehan budaya yang dibahas oleh G.R. Lono Lastoro Simatupang, yang perlu dihasilkan oleh etnomusikologi adalah produk pengetahuan. Lantas pengkajian dengan hasil akhir tulisan, dokumentasi dengan hasil akhir film etnografi, ataupun penciptaan karya musik; dapat dilakukan asalkan orientasi atas produk pengetahuan dipegang teguh. Jika demikian, apakah wacana penciptaan sudah dapat diakomodasi sebagai etnomusikologi? Lantas Etnomusikologi yang mana? Dan bagaimanakah penciptaan yang dimaksud?

 

Etnomusikologi Terapan Sebagai Solusi

Bertolak dari kesadaran pengkajian, dokumentasi, penciptaan adalah bentuk produk, dan ideal dari yang dihasilkan pendidikan adalah produk pengetahuan, maka penciptaan dapat diakomodasi sebagai bentuk atau hasil dari etnomusikologi. Namun kita tidak bisa dengan mudah mengatakan bahwa segala bentuk penciptaan dapat diakomodasi. Tentu itu kesilapan! Dalam hal ini terdapat kriteria untuk penciptaan karya musik tradisi dalam bingkai etnomusikologi. Oleh karena basis produk pengetahuan diperuntukkan bagi masyarakat, maka wacana applied atau terapan sangat representatif dan akomodatif.

            Bicara terapan, salah satu disiplin ilmu yang telah galak melakukan terapan adalah antropologi. Koentjaraningrat mencatat bahwa

“Di Eropa Barat, ilmu antropologi mulai memperoleh aspek terapan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20... Pada akhir abad ke-19, terutama di dalam negara-negara penjajah Inggris dan Belanda muncul suatu perubahan sikap dalam kebijaksanaan mereka terhadap negara-negara yang mereka jajah. Sikap yang semula bersifat mengeksploitasi tenaga pendidik serta kekayaan alam di wilayah-wilayah jajahan mereka, berubah menjadi keinginan untuk memajukan serta memperbaiki kesejahteraan penduduk-penduduk tersebut.”[xiii]

Pasca wacana applied anthropology, maka orientasi terapan tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat, semisal membentuk undang-udang yang mengatur reservasi-reservasi Indian di Amerika pada tahun 1934; pasca perang dunia kedua, di mana penelitian ditujukan pada masalah daya kerja kaum buruh dalam industri pada tahun 1953, dan beberapa terapan lainnya yang berlandaskan pengkajian. Bahkan dalam antropologi turut terbentuk Antropologi Pembangunan pada tahun 1960, dengan orientasi ekonomi, kesenjangan, dan pembangunan[xiv]. Bacaan lebih lanjut tentang applied anthropology dapat dilihat pada buku C. Chambers yang dipublikasikan pada tahun 1985, atau dapat dilihat kecenderungan terapan antropologi pada laman https://www.sfaa.net.

Tidak hanya antropologi, beberapa cabang ilmu lainnya turut mempunyai pola serupa. Sebagaimana etnomusikologi adalah ‘anak’ dari antropologi, maka wacana etnomusikologi terapan turut terlontar. Dalam perkembangan etnomusikologi terpan, antropologi memang diakui mempunyai peranan penting. Harrison Kisala mencatat hal tersebut, sebagai berikut:

Harrison Kisala mencatat bahwa tahun 2007, 44 etnomusikolog yang terbentuk dalam ICTM bidang Etnomusikologi terapan, tertarik untuk menyelesaikan persoalan konkret melalui riset dan intervensi praktik. Penyelesaian masalah turut didasarkan pada antropologi terapan. Grup ini menjelaskan bahwa etnomusikologi terapan sebagai “pendekatan yang diarahkan oleh prinsip-prinsip tanggung jawab sosial, di mana perpanjangan dari tujuan akademik yakni perluasan dan pendalaman pengetahuan dan pemahaman melalui penyelesaian masalah yang konkret dan melalui pekerjaan sesuai dengan konteks akademik, baik persis ataupun melampaui. Tidak hanya itu, Svanibor Pettan menambahkan tujuan dari group tersebut adalah mengadvokasi pengetahuan etnomusikologi dalam mempengaruhi interaksi sosial dan pelajaran perubahan kebudayaan, kedua artian tersebut meminjam paradigma antropologi terapan.[xv] Alhasil diputuskan bahwa etnomusikologi terapan—yang terinspirasi dari antropologi terapan—berusan terhadap penyelesaian masalah dan meningkatkan kualitas hidup. Hal ini berdasarkan riset yang memasukan dan menggunakan pengetahuan etnomusikologi, baik sebagai instrumen metode atau aspek penggunaan aspek praktik seperti ketika membuat atau mengorganisasi musik.[xvi]

 

Dari pembacaan Kisala tersebut kiranya kita terbantu dalam merunut alasan dan guna dari etnomusikologi terapan. Dalam hal ini etnomusikologi terapan dapat mengakomodasi praktik yang beragam. Pun dengan bingkai etnomusikologi terapanlah, penciptaan musik etnik dapat terakomodasi oleh etnomusikologi—itupun institusi terkait jika ingin dirunut dari akar keilmuan. Kembali pada sarasehan budaya Etnomusikolpedia#3, di mana hasil penelitian akan dijadikan bahan dalam penciptaan musik etnik tertentu, saya turut membawa wacana etnomusikologi terapan di awal pembicaraan. Stimulasi tersebut lantas direspon oleh pembahas ahli, G.R. Lono Lastoro Simatupang sebagai langkah yang jitu dalam menanggapi posisi penciptaan dalam etnomusikologi.

Dalam sesi pembahasan, Simatupang mengawali pembahasan dengan wacana keberlanjutan dari hasil pengkajian yang—terkadang—tidak dirasakan masyarakat. Atas hal ini, apllied atau terapan merupakan langkah yang tepat dalam memposisikan keilmuan di dalam masyarakat. Pada tahun 2003, Titon mengajukan saran agar etnomusikologi terapan berfokus pada persoalan praktikal, Titon mengatakan, bahwa: “Etnomusikologi Terapan, merupakan aplikasi dari kajian: melampaui dokumentasi, melampaui interpretasi, melampaui pembentukan teori, dan menjadi solusi dari persoalan praktikal dalam dunia di luar akademi atau sekolah.[xvii] Senada dengan Titon, Simatupang menautkan bahwa dalam etnomusikologi terapan membutuhkan penelitian yang cakap sebagai landasan dalam penerapannya. Dari penelitian tersebut, hasil dari temuan diformulasikan pada pelbagai bentuk, dan salah satunya adalah karya seni—dalam hal ini musik. Dengan logika tersebut, Simatupang mengkritisi bahwa karya seni atau tulisan dapat dimaknai sebagai bentuk, karena hal yang lebih penting dari bentuk yang beraneka itu adalah produksi pengetahuan. Alhasil jika penciptaan atau pengkajian sekalipun tidak didasari semangat produksi pengetahuan, maka orientasi pendidikan tinggi tersebut—baik pengkajian, dokumentasi, ataupun peciptaan—perlu dipertanyakan.

Selanjutnya, Simatupang turut menautkan beberapa contoh terkait etnomusikologi terapan, semisal musik tradisi sebagai terapi; musik dan aktivisme; ataupun musik tradisi di ruang praxis masyarakat; musik tradisi untuk konflik, dan sebagainya. Hal ini turut serupa dengan arah pembahasan etnomusikologi terapan di dalam buku Applied Ethnomusicology: Historical and Contemporary Approaches yang disunting oleh Klisala Harrison, Elizabeth Mackinlay, dan Svanibor Pettan, delapan tahun silam [2010]. Singkat kata, musik tradisi digunakan untuk menyelesaikan persoalan di masyarakat. Simatupang menegaskan bahwa etnomusikologi terapan tidak mengakomodasi wacana komersialisasi dari musik tradisi. Dalam hal ini logika komersialisasi adalah ihwal untung rugi, rentan dengan komodifikasi. Sedangkan yang terjadi di institusi pendidikan, orientasi mahasiswa dalam menciptakan musik diarahkan untuk berkontestasi dengan musik populer. Hal ini dianggap sebagai upaya dalam menjaga eksistensi musik tradisi dalam jagad musik populer dan kontemporer. Dan komersialisasi, dianggap sebagai jalan keluar musik tradisi dari globalisasi. Sungguh pemikiran yang keliru.

Dalam hal ini, kontekstualisasi dan aktualisasi musik tradisi lebih tepat dilakukan, dan hal tersebut dapat diakomodasi dengan etnomusikologi terapan. Secara lebih lanjut terdapat empat kategori yang diterapkan dalam etnomusikologi terapan. Terapan tersebut meminjam dan mengapropriasi antropologi terapan yang diperkenalkan oleh Svanibor Pettan. Kategori tersebut adalah:

Pertama, Etnomusikologi Aksi: pengetahuan etnomusikologi guna membuat perubahan yang direncanakan oleh anggota kelompok budaya lokal. Kedua, Etnomusikologi penyesuaian (adjustment): pengetahuan etnomusikologis guna membuat interaksi sosial antara mereka yang menjalankan kode budaya yang berbeda-beda, dapat lebih mudah diprediksi. Ketiga, Etnomusikologi administratif: pengetahuan etnomusikologis guna membuat perubahan yang direncanakan oleh orang-orang yang berada di luar kelompok budaya lokal. Keempat, Etnomusikologi Advokasi: penggunaan pengetahuan etnomusikologis oleh etnomusikolog untuk meningkatkan kekuatan diri untuk kelompok budaya tertentu"(lihat Spradley dan McCurdy 2000, 411; Pettan 2008, 90).[xviii]

Katagorial tersebut kiranya memperlihatkan ke arah mana saja etnomuskologi terapan dapat digunakan. Alhasil jika etnomusikologi terapan sudah dipilih, ada beberapa hal yang perlu dicatat dalam melaksanakannya, yakni:

Pertama, Etnomusikologi terapan tidak bertentangan dengan ranah akademis, namun harus dipandang sebagai perluasan dan pelengkapnya. Etnomusikologi terapan sangat penting untuk etnomusikologi yang memiliki relevansi langsung dengan tanggapan ilmiah terhadap kebutuhan budaya dan sosial. Kedua, terkait, etika etnomusikologi yang diterapkan bukanlah musuh dari domain teoretis (filosofis, intelektual), melainkan perluasan. Etnomusikologi terapan adalah tentang bagaimana praktik musikal dapat memberi informasi tentang teori yang relevan, dan bagaimana teori dapat memberi penjelasan kepada praktik musikal. Ketiga, Etnomusikologi terapan bukan merupakan penentangan terhadap penelitian etnografi, artistik dan ilmiah, namun penyuluhan dan pelengkapnya. Etnomusikologi terapan juga dapat melibatkan praktisi ungkapan musikal, yang didefinisikan secara luas termasuk tari, teater, multimedia, dan lain-lain, sebagai partisipan yang semakin setara dalam menciptakan dan menerapkan hasil penelitian etnomusikologis, dan dalam menginformasikan teori etnomusikologi berdasarkan penelitian.[xix]

 

Dari catatan Harisson dkk, kiranya kita dapat melihat bahwa etnomusikologi terapan tidak tercerabut dari keilmuan etnomusikologi. Tajuk terapan di sini tetap terkoneksi dengan penelitian dan pemikiran. Tujuan dari terapan pun bukan ditujukan sebagai komersialisasi dan bukan untuk pasar, melainkan untuk kebutuhan masyarakat yang lebih esensial. Hal yang kiranya dapat menyelesaikan persoalan di masyarakat.

Kiranya hal—atau rambu-rambu—itulah yang perlu dipahami jika penciptaan diamini masuk dalam etnomusikologi terapan. Dengan begitu, baik penciptaan, pengkajian, dokumentasi yang memproduksi pengetahuan dapat berguna untuk kebutuhan dan persoalan masyarakat. Tidak mencabutnya mentah-mentah dan berjarak dari masyarakat. Oleh karena itu, teruntuk minat penciptaan pada perguruan tinggi, kiranya hal ini perlu dipikir secara mendalam, bukan antipati dan seenaknya menentukan sendiri dengan logika praktis ekonomi semata. Pasalnya jika basis penciptaan hanya sebatas urusan ekonomi, maka perlu diwaspadai tingkat kedalaman penciptaan tersebut.

Bertolak dari pembahasan di atas, kontekstualisasi dan aktualisasi pada kehidupan masyarakat adalah cara terbaik dalam merawat dan mempertahankan musik tradisi. Sesederhana kemunculan musik tradisi dan musik rakyat yang konon kerap diciptakan untuk menyelesaikan persoalan masyarakat.[]

 

 



[i] Supanggah, Rahayu. 1995. Etnomusikologi. Yogyakarta: Pt. Bentang Budaya, halaman 47.

[ii] Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta, halaman 4.

[iii] Via Hardjana, Suka. 2004. Musik Antara Kritik dan Apresiasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

[iv] Said, Edward. 2010. Orientalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

[v] Hardjana, Suka. 2004. Musik Antara Kritik dan Apresiasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, halaman 292.

[vi] Ibid, 294.

[vii] Lihat Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Group.

[ix] Hardjana, Suka. 2004. Musik Antara Kritik dan Apresiasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, halaman 303.

[x] Ibid, 300.

[xi] Ibid, 303.

[xii] Ibid, 303.

[xiii] Koentjaraningrat. 2007. Sejarah Antropologi II. Jakarta: UI Press, halaman 236-237.

[xiv] Ibid, 239.

[xv] Harrison, Kisala. 2016. “Why Applied Ethnomusicology” pada Applied Ethomusicology in Institutional Policy and Practice dalam Collegium Studies Accross Disciplines in the Humanities and Social Sciences 21, Helsinki Collegium for Advanced Studies 1-21, halaman 6.

[xvi] Ibid, 19. 

[xvii] Ibid, 8.

[xviii] Harrison, Klisala, Elizabeth Mackinlay, dan Svanibor Pettan. 2010. “Introduction” dalam Applied Ethnomusicologu: Historical and Contemporary Approaches. Tyne: Cambridge Scholars Publishing, halaman 16.

[xix] Ibid, 16-17.

Ikuti tulisan menarik Michael H. B. Raditya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu