x

Iklan

robbi sunarto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Rindu yang Diadatkan

Di balik adat merantau itu ada rindu yang di-adatkan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Bayang-bayangan rindu nan tumbuah di hati samakin manjadi

Antah apo panyababnyo, mangko angan-angan manyeso di badan

Ndeh rusuah den kini, ndeh padiah di hati

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tiga baris tulisan di atas adalah lirik lagu minang berjudul “bayang-bayang rindu”. Di dalam lirik lagu itu rindu menjadi peristiwa yang telah mendorong si pencipta menulis lirik lagu tersebut. Selain lirik bayang-bayang rindu, ada banyak lirik lagu lain yang menjadikan rindu sebagai peristiwa, salah satu yang paling terkenal tentu saja lagu yang berjudul “pulanglah uda”.

Fenomena rindu yang banyak menjadi tema lagu-lagu minang menimbulkan pertanyaan di dalam hati saya. Di antara pertanyaan itu: mengapa rindu menjadi tema yang sering dijadikan sebagai peristiwa dalam lagu-lagu minang? Apakah ini kebetulan saja atau memang sesuatu yang berakar di alam pikiran orang minang itu sendiri?

Setelah mengumpulkan berbagai referensi, saya menemukan bahwa fenomena rindu di dalam lagu-lagu minang itu bukanlah sesuatu yang kebetulan melainkan sesuatu yang sudah di adatkan.

Apa itu rindu? Di dalam rindu ada dua pihak, pihak yang merindu dan pihak yang dirindukan. Di dalam rindu ada jarak, yang terbentang antara kedua pihak. Akibat jarak itu membuat salah satu pihak atau kedua pihak memiliki keinginan yang kuat untuk segera bertemu. Jadi secara sederhana rindu dapat diartikan sebagai suatu perasaan yang terbentuk akibat terbentangnya jarak, lalu menimbulkan keinginan kuat untuk bertemu.

Jika kita ambil defenisi rindu menurut KBBI maka rindu berarti “sangat ingin dan berharap sekali bertemu.”

Defenisi apapun yang kita baca, ada benang merah yang disepakati oleh seluruh defenisi itu. Seluruh defenisi itu sepakat bahwa rindu itu terjadi akibat terbentangnya jarak. Seluruh defenisi itu sepakat akibat jarak yang membentang itulah yang membuat salah satu atau kedua belah pihak sangat ingin bertemu. Tapi rindu itu juga menyiratkan adanya persatuan sebelum perpisahan, sehingga rindu itu menjadi masuk akal untuk dirasakan.

Dengan seluruh benang merah itu dapat kita telusuri bahwa rindu itu adalah suatu perasaan yang diadatkan dalam budaya minang.

Ketika berbicara tentang jarak maka terlintas dalam pikiran saya kata “merantau”. Sebagaimana yang sudah kita ketahui sejak lama, merantau adalah budaya minang. Budaya ini diadatkan sehingga terbukti dengan adanya petatah petitih yang dijadikan landasan untuk melakukan budaya merantau. Salah satu petatah-petitih itu berbunyi:

Ka Ratau madang di hulu

Babuah babungo balun

Marantau bujang dahulu

Di rumah paguno balun

Dengan petatah-petitih inilah para mande, para mamak, bahkan jati diri anak minang itu sendiri menganggap merantau adalah sebuah keharusan yang harus dijalani. Setiap mande, mamak, dan anak minang itu sendiri seolah merasa belum menjadi orang berguna, bahkan belum menjadi manusia seutuhnya jika belum pernah pergi merantau.  

Ketika orang minang membudayakan, menjadikan merantau sebagai adat maka ketika itu pulalah orang minang membudayakan, menjadikan rindu sebagai adat. Mengapa bisa seperti itu? Sebab sudah terpenuhi seluruh unsur dari batang tubuh rindu itu sendiri, yang membuat rindu menjadi konsekuensi langsung akibat dari adanya budaya merantau.

Dengan mendengar lagu-lagu minang bertemakan rindu itu, yang seringkali terdengar pedih saat di dengar telinga dan dirasakan oleh hati, akhirnya saya memahami bahwa sesungguhnya budaya merantau itu tidak pernah diterima sepenuh hati sebagai sebuah kenyataan, di dalamnya juga tersirat unsur keterpaksaan.

Adanya kesan terpaksa ini bukanlah sebuah kekurangan, justru terlihat sebagai kelebihan. Tidak menerima sepenuh hati anak, kemenakan, rakyat merantau, ini sangat manusiawi sebab siapa yang dapat dengan mudah melepaskan anak, kemenakan, dan rakyatnya dari pandangan mata mereka yang merupakan penyejuk mata.

Hal itu menjadi kelebihan sebab meskipun terpaksa, tetap saja mereka bersedia melepaskan orang yang mereka cintai. Apalagi jika dipandang ke dalam niat, alasan mereka bersedia melepaskan maka semakin kita dapati bahwa itu adalah sebuah pengorbanan, dan demi tujuan yang mulia, supaya yang mereka cintai itu menjadi sesuatu yang lebih baik.

Sampai di sini saya sudah menangkap di balik budaya merantau yang di adatkan itu ternyata ada rindu yang di adatkan. Pertanyaan yang menarik untuk saya tanyakan adalah mengapa rindu itu sampai diadatkan; apa falsafah di balik rindu yang diadatkan itu?

Jika kita kaji perasaan yang bernama rindu itu ternyata menyimpan banyak hikmah. Seperti oksigen, ketika tidak terjadi sesuatu yang menganggu lalu lintas masuk keluarnya oksigen di tenggorokkan kita maka kita merasa oksigen itu sesuatu yang biasa saja, bukan apa-apa, bahkan sengaja atau tidak sengaja kita seolah memperlakukan oksigen sebagai sesuatu yang tidak ada.

Apa buktinya? Membakar hutan yang menimbulkan bencana asap adalah bukti konkrit bahwa kita memperlakukan oksigen itu sebagai sesuatu yang tidak berharga, bahkan tidak ada. Dan ketika bencana asap itu terjadi dan tak tertanggulangi, kitapun menjadi rindu dan menimbulkan kesadaran bahwa oksigen itu ada dan berharga.

Begitulah rindu, salah satu hikmahnya dapat membuat seseorang sadar secara konkrit bahwa apa yang selama ini ada di dekatnya adalah sesuatu yang ada, sesuatu yang berharga bagi kehidupannya. Dalam hal ini, setiap anak minang yang merantau akan benar-benar disadarkan ketika di sampingnya tidak ada lagi mande, mamak dan nagari yang mencukupinya, menjaganya sehingga ia harus berjuang sendiri untuk dapat mengurus dirinya sendiri.

Sebelum berhasil, perjuangan itu tentu merupakan sesuatu yang melelahkan bahkan tidak jarang menyakitkan. Ketika lelah dan rasa sakit itu terasa di dalam hati maka timbul bayang-bayang masa lalu, teringat mande, mamak dan nagari sehingga pikiran terdorong untuk membandingkan dua keadaan yang pernah dan sedang dilalui.

Sebagaimana ilmu lahir dari perbedaan dan perbandingan, maka akibat dari perbedaan dan membanding-membandingkan rantau dan kampung halaman maka menimbulkan ilmu pengetahun, dan puncaknya kebijaksanaan. Tidak jarang akhirnya mereka sampai mengetahui hakikat dunia, diri, dan menemukan Tuhan.

Ketika saya menyadari rindu yang diadatkan, dan mulai mengetahui ada kebijaksanaan di balik adat itu, ketika itulah saya tidak lagi menolak rindu. Saya mulai memamfaatkan rindu itu sebagai saat-saat saya berusaha mengenal diri, dunia, dan pencipta alam raya. Semoga saya tidak terlambat.

Pekanbaru, 27 Maret 2018

Ikuti tulisan menarik robbi sunarto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler