Jari jemari itu menari-nari dan melentik lincah mengembara di antara petak-petak nada di sekujur leher (neck) gitar. Lentur seperti lentur dan gemulainya gerakan tubuh dan tangan wanita penari flamenco, yang meliuk-meliuk mengikuti nada rendah-sedang-tinggi, yang diciptakan jemari lentur melalui senar gitar.
Telingaku hanya mampu menangkap seolah ada tiga nada yang dipetik berbarengan. Dan tiap satu petikan terdengar belum juga selesai, disusul lagi oleh nada berikutnya. Sungguh di telinga terdengar syahdu dan merdu. Sesekali ditingkahi tepuk tangan tanggung yang juga berirama, yang membaur dengan nada gitar dan lekukan tubuh penari flamenco. Menambah suasana makin menggoda.
Kepekaan feeling-ku yang amatiran, hanya terbuai menikmati dan menikmati saja. Tak peduli atau tak mampu lagi membedakan antara petikan five strike tremelo, ficado, arpeggio, golpe, alzapua, legato. Dan tentu saja, keributan petikan rasgueado yang berirama dan memberontak. Bagiku semuanya adalah gairah yang menggairahkan.
Dan ritme hentakan dua kaki penari flamenco di lantai seakan menghentak jiwa dan mendesak telinga agar tak jeda menikmati alunan irama, yang mendayu-dayu, kemudian meninggalkan dayuannya, untuk segera mengeras dan mengeras lagi, sebelum akhirnya kembali melamban dan mendayu-dayu lagi.
Tak ada lirik lagu atau suara biduan yang terdengar. Tapi alunan yang muncul dari gitar itu terdengar seperti suara yang menyanyi dan bersenandung. Nada menjelma menjadi kata dan kalimat, yang hanya bisa dipahami justru ketika dinikmati. Pemain gitar tunggal. Hanya seorang. Namun telingaku mendengar seperti ada dua-tiga orang yang memetik senar gitar secara berbarengan.
Syarifuddin Abdullah | 28 Maret 2018 / 12 Rajab 1435H.
Sumber ilustrasi: vebma.com
Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.