x

Iklan

Ranang Aji SP

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dramaturgi Politik dan Hoax Struktural

Sejarah praktik politik kekuasaan memperkenalkan seni drama dalam panggung politik. Praktik drama ini sering melahirkan hoax struktural.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setyo Novanto menyebut nama-nama penerima uang kasus E-KTP. Politisi dan masyarakat kemudian meresponnya dengan pelbagai cara. Situasi lain, SBY mengatakan kemungkinan besar akan berkoalisi dengan pihak Jokowi. Politisi Gerindra kemudian menyebut itu sebagai drama. Sahutan politisi Gerindra tersebut lantas direspon balik pihak Partai Demokrat. Bahwa Prabowo pada faktanya tak pernah memenangkan pilihan presiden. Situasi tersebut punya kesan alur ketegangan awal atau rise of action menuju suspense yang kita kenal dalam sebuah plot novel atau drama. Masyarakat kemudian, terbawa dalam arus situasi yang mencekam. Menuduga-duga dan terbentuklah opini.

Dua peristiwa tersebut  diyakini orang sebagi bagian plot dari skenario drama politik 2019. Makna drama yang dimaksud politisi Gerindra tersebut, bermaksud mengatakan pihak SBY atau Partai Demokrat tengah berlakon peran pura-pura demi tujuan tertentu yang bersifat artifisial. Sama halnya dengan Setyo Novanto mengatakan sesuatu untuk tujuan tertentu. Tentu demikian pula pihak Gerindra atau partai lainnya. Drama politik seolah merupakan tindakan manipulatif untuk tujuan stratergis. Membuat kesan, dimana kesan itu kemudian membuat musuh politik atau masyarakat terbawa dalam kesimpulan tertentu yang diinginkan.

Di dalam disiplin drama, ada seperangkat instrumen yang dikenal sebagai dramarturgi, dengan tujuan mencapai tingkat dramatik yang diinginkan. Teknik ini meliputi persiapan skenario, tata panggung, cahaya dan teknik akting. Dalam seni drama kuno, pertunjukan drama menurut Aristoteles, bertujuan tidak saja untuk menghibur, tetapi terutama mengahadirkan katarsis (pembersihan jiwa). Lakon-lakon tragedi semacam Oidipus Rex (Sophochles, 429 SM) kita mendapatkan sebuah kesadaran katarsis tentang nasib atau takdir manusia. Namun, dalam drama politik, apa yang hendak dituju adalah kesan dan nilai tawar.

Erving Goffman dalam bukunya The Presentation of Self in Everyday Life (1959) mengadopsi dramaturgi untuk melihat pola  interaksi sosial agar seseorang mencapai citra atau kesan yang diinginkan. Ia meletakkan politisi (misalnya) sebagai aktor yang  membutuhkan dua ruang. Pertama, Front Stage dan kedua Back Stage. Ruang atau panggung depan adalah moment di mana ia harus menampilkan posisi tertentu yang menghadirkan citra atau nilai tawar. Sementara panggung belakangadalah ruang di mana ia bisa membebaskan diri dari peran artifisialnya, sembari mempersiapkan diri untuk tampil bagus selanjutnya. Permainan peran demikian juga diperkenalkan oleh Niccolo Machiavelli dalam The Prince (1532 ). Machivelli mempostulatkan seorang politisi harus tampil bak pangeran agar wibawanya muncul dan berkesan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hoax Struktural

Aksi panggung politik tersebut tentu tidak akan selesai sampai di sana. Sebelum semua menjadi kenyataan politik. Bahkan setelah usai perhelatan demokrasi selesai. Selama itu masyarakat akan terus melihat panggung politik dipenuhi dengan akting para politisi. Aksi  (drama) para politis ini juga berangkat dari upaya membentuk opini publik.

Jalinan dan efek aksi dramaturgi para politisi ini, bila kita menggunakan dalil Charles W.Mills dalam The Power (1956) kita akan menemukan potensi hoax yang saat ini tengah menjadi populer. Mills menyatakan bahwa semua aksi yang dilakukan oleh para politisi tersebut adalah upaya pergerakan sejumlah elite politik (politisi, pengusaha, militer) untuk mencapai tujuannya secara vertikal. Para elit ini melalui kekuatan akses modal, ekonomi dan kekuasaan mendominasi semua akses informasi dengan cara mengindokrinasi pada masyarakat subordinasinya. Langkah-langkah pembentukan opini menjadi lebih efektif bila terjalin komunikasi satu arah. Dari sinilah kemudian hoax struktural bisa kita asumsikan bersumber. Dramaturgi politik dan elit politik. Masyarakat awam, dengan serba keterbatasannya, menjadi pijakan para elit politik untuk mencapai kekuasaan, kekayaan dan aksesbilitas lainnya.

Asumsi realitas ini, setidaknya, pada aras-aras terntentu, harus menghadirkan kesadaran penguatan masyarakat sipil. Terutama pada level pengetahuan, moral dan kebudayaannya. Dengan pembenahan pengetahuan, moral dan kebudayaaan –setidaknya, 20 tahun ke depan masyarakat menjadi lebih awas dan mampu membentuk masyarakat kebangsaan yang lebih berkarakter dan tak mudah keblinger. Sehingga demokrasi mampu melahirkan tujuan politik sebenarnya. Tatanan masyarakat yang adil dan beradab, serta sejahtera dan berbudaya. Mungkin demikian.[]

smbr gmbr:http://iphannews.blogspot.co.id

Ikuti tulisan menarik Ranang Aji SP lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler