x

Iklan

Ranang Aji SP

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Logika Kritik Puisi Esai

Kritik terhadap munculnya puisi esai hadir sebagai proses berpikir yang naif. Pikiran tentang jalannya kritik lebih diwarnai oleh emosi yang terasa naif.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejak kehadirannya, puisi esai yang digagas Denny J.A telah menimbulkan kontroversi. Kontroversinya terutama lebih pada kecurigaan beberapa sastrawan terhadap kehadiran Denny JA dalam wilayah sastra. Terutama ketika hadirnya buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh di Indonesia dan menempatkan Denny JA menjadi salah satu tokohnya.

Tulisan ini bermaksud menanggapi tulisan Ahda Imran di Koran Tempo berjudul “Puisi Mbeling, Puisi Esai” (KT, 3-4 Februari) sekaligus Ryan Racmad (SM, 11/3). Ahda menulis: Puisi mbeling ditulis karena kegembiraan. Puisi esai ditulis karena pesanan. Ahda Imran menyimpulkan puisi esai lahir atas sebuah paksaan dengan tendensi tertentu. Sementara Ryan Racmad menulis, “Persoalannya ada kekuatan hegemoni financial untuk membuat pengakuan..” Di sini, saya pikir, kritik keduanya menjadi sesuatu yang naïf dalam konteks pemikiran kebudayaan.

Dinamika kebudayaan dalam arus sepanjang zaman, merupakan sebuah tradisi yang dibentuk. Dalam kelompok-kelompok sosial atau kelompok besar dalam sistem politik, kebudayaan lahir sebagai gagasan dan diteruskan melalui media kepada publik sebagai tradisi. Baik media berupa cetakan atau lembaga sosial. Munculnya genre sastra adalah niscaya dalam sebuah proses kreatif dalam masyarakat sastra yang kreatif. Tapi sepertinya mereka tidak berbicara soal ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ahda dan Ryan di sini, berbicara seolah sebagai polisi moral yang memberikan batas-batas nilai apa yang benar dan apa yang salah. Ahda memandang kelahiran genre puisi esai merupakan tindakan politik yang memaksa keadaan untuk diterima. Berbeda, menurutnya seperti lahirnya puisi mbeling yang diterima oleh masyarakat secara rela dan dinikmati. Tanpa perangkat-perangkat tertentu. Apalagi makerting.

Dalam konteks realitas kebudayaan, mereka mungkin lupa bahwa semua kelahiran kebudayaan (baca:sastra), tidak lepas dari peran sponsor atau media. Artinya ada media di belakangnya yang kemudian menyebarkannya. Budaya media menjadi tulang punggung pembentukan identitas atau yang kita pahami sebagai kebudayaan. Puisi mbeling yang sempat popular di tahun 1980-an juga tidak lepas dari media, pun wibawa Remy Sylado sebagai salah satu tokoh sastra yang menyebarkan gagasan itu.  

Karya-karya sastra koran pun juga dibentuk oleh media yang di dalamnya ada otoritas subyektif redaktur –yang seringkali membuat banyak penulis geram karena merasa karyanya baik tapi tidak dimuat. Demikian pula dengan puisi esai Denny J.A, ia menggunakan perangkat media dan kekuatan modalnya untuk diperkenalkan sebagai sebuah genre baru. Dan tentu saja, itu sah. Termasuk ketika Denny J.A memesan karya puisi esai pada sejumlah sastrawan, hal itu –tentu harus kita baca sebagai upaya memperkenalkan pada publik selama tidak diakui sebagai karyanya. Perkara karya tersebut bisa dinikmati atau tidak  sebagai karya seni oleh publik, itu soal lain. Semua karya punya nasibnya sendiri.

Puisi mbeling pada faktanya hanya berusia pendek. Demikian pula dengan kredo Sutardji Calzoum Bahri –yang mencoba membebaskan kata dari maknanya. Ia toh selesai dengan pertobatan si penyair yang merasa tersesat di kegelapan kata tak bermakna. Namun, setidaknya semua itu menunjukkan betapa proses kreatif dalam sejarah sastra Indonesia ada.

Saya sendiri lebih setuju, bila arah kritik masyarakat sastra ditujukan pada mutu karya itu sendiri sebagai produk sastra. Kita bisa membahas puisi esai sebagai entitas karya mandiri yang bisa dibedah dari pelbagai sudut secara ontologis maupun epistemologi. Mungkin kita bisa membahas definisi puisi dan esai. Kita bisa juga membahas secara hukum seninya. Adakah kebebasan, kejujuran dan keindahan yang melahirkan apa yang kita sebut sebagai karya yang Unik Otentik atau sebaliknya sebagai karya yang bermutu Unik Eksentrik.

Membuat kritik yang tak obyektif dan bukan pada intinya, saya kira justru akan menjadi kesalahan langkah dalam berkebudayaan dan bisa menjadi bencana bagi peradaban. Kritik terhadap pribadi Denny J.A, saya yakini tak pantas secara moral, kecuali pada kasus plagiat karya yang jelas terbukti. Bukankah, kita mesti adil sejak dalam pikiran? Akhirnya, sebaiknya mari kita kritisi puisi esai sebagai entitas karya –atau biarkan saja bila tak sudi.[]

 

 

Ikuti tulisan menarik Ranang Aji SP lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB