x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pergolakan Politik dan Budaya di Jawa

Kajian Sejarah pergolakan Kerajaan Pajang dari sisi politik agama dan budaya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Pajang: Pergolakan Spiritual, Politik dan Budaya

Penulis: Martin Moentadhim S.M.

Tahun Terbit: 2010

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Genta Pustaka                                                                                            

Tebal: xvi + 269

ISBN: 978-6029597-15-8

Pajang adalah sebuah kerajaan di Jawa yang berumur sangat singkat. Umurnya tak lebih dari 50 tahun. Pajang hanya memiliki satu raja saja, yaitu Sultan Hadiwijaya. Bahkan dalam pelajaran sejarah nasional di sekolah, Pajang tidak dibahas secara khusus. Selain Sriwijaya dan Majapahit yang dibahas secara luas, hanya Tarumanegara, Mataram Hindu, Mataram Islam dan Demak. Yang dipelajari di sekolah. Jadi apa pentingnya membahas Pajang dalam sejarah Jawa dan sejarah Nusantara?

Pajang memiliki peran yang sangat penting karena Pajanglah yang memindahkan pusat kerajaan dari pesisir (Demak) kembali ke pedalaman. Ada banyak alasan mengapa Sultan Hadiwijaya memindahkan keratonnya ke pedalaman. Beberapa sejarahwan mengatakan bahwa perpindahan ini karena pertentangan antara Islam futi’ah (putihan) dengan Islam aba’ah (abangan). Konflik antara ajaran para wali dengan ajaran Syeh Siti Jenar yang dianggap sesat. Namun sejarahwan lain berpendapat bahwa Sultan Hadiwijaya melihat bahwa kekuatan-kekuatan pantai utara Jawa sedang surut karena kedatangan Portugis dan faktor lain, misalnya B. Schrieke dan H. M. Vlekke (hal. 237). Seandainya pusat kekuasaan tetap berada di pesisir, maka kerajaan akan sibuk dengan peperangan yang membuat kekuatannya semakin kecil. Perpindahan pusat kerajaan ke pedalaman ini membuat orientasi pembangunan berubah ke arah agraris dan ternyata berhasil mendirikan kerajaan besar sesudahnya yaitu Mataram Islam.

Namun demikian Pajang juga sering dipersalahkan karena membuat kekuatan maritim Nusantara menjadi surut. Kejayaan Sriwijaya, Majapahit dan Demak menjadi sirna karena pemindahan pusat kekuasaan ke pedalaman.

Dari sisi perkembangan agama Islam di Jawa, harus diakui bahwa Pajang mempunyai peran yang sangat strategis. Pada saat kerajaan Demak, sebagian besar pedalaman Jawa masih menganut Hindu. Pengislaman pedalaman mengalami kesulitan dan sedikit terabaikan karena kesibukan Demak dengan peperangan. Dengan pindahknya pusat kekuasan ke pedalaman, dan membawa Islam yang sinkretis (manunggaling kawula gusti), maka Islam (Jawa) mulai diterima oleh masyarakat pedalaman Jawa.

Membicarakan Pajang berarti membicarakan konflik kekuasaan yang penuh intrik antar keluarga. Itulah sebabnya dalam sambutannya, Agung Laksono sebagai Menko Kesra (mewakili pandangan pemerintah pusat) mewanti-wanti bahwa membicarakan Pajang haruslah dimaksudkan untuk mempelajari sejarah supaya kita tidak mengulang kesalahan-kesalahan masa lalu. “Sejarah kesalahan masa lalu, …, tidak terulang lagi (di masa yang akan datang) adanya kesalahan-kesalahan yang sama (hal. 225).” Artinya Pemerintahpun menganggap sejarah Pajang adalah sejarah konflik yang penuh dengan kesalahan masa lalu.

Martin Moentadhim merekonstruksi sejarah Pajang dan menempatkan semua aktornya dalam kronologi yang lebih logis. Moentadhim juga menunjukkan konflik agama, politik dan intrik-intrik antar tokoh yang terlibat di dalamnya. Dengan mengkombinasikan penelitian-penelitian yang telah lebih dulu dilakukan dan sumber-sumber cerita rakyat, Moetadhim berhasil membuat Pajang menjadi lebih jelas posisinya dalam sejarah Jawa.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler