x

Iklan

Ranang Aji SP

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dua Sumber Pembentuk Kebudayaan Indonesia

Dua narasi besar kebudayaan Indonesia modern adalah sosialisme dan liberlisme. Dua sumber itu bertarung dan menghasilkan kebudayaan Indonesia kini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 Ketika perang dingin terjadi antara Blok Timur dan Barat sekitar 1941 hingga 1991, perang sesungguhnya adalah perang kebudayaan. Kebudayaan membawa beban perjuangan ideologi. Selama kurun waktu itu, perang yang melibatkan militer hanya beberapa titik dengan bobot isu regional. Pertama Perang Korea (Utara dan Selatan). Kedua, Perang Vietnam dan beberapa lain. Kedua perang melibatkan kekuatan Negara adi daya Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Selebihnya adalah perang hegemoni melalui politik kebudayaan. Politik kebudayaan meliputi ideologi dan kesenian (termasuk sastra).

Di Indonesia sendiri, di masa Orde Lama, perang secara praksis meliputi medan politik dan kebudayaan. Medan politik diisi oleh paham nasionalisme-komunisme, nasionalisme-Islamis dan liberalisme. Sementara di wilayah seni dan sastra, medan pertempuran melibatkan apa yang kita kenal sebagai realisme-sosialis dan humanisme universal. Pertama melibatkan Lembaga kebudayaan Rakyat (Lekra) dengan tokoh antara lain Pramoedya Ananta Toer dan kedua sejumlah sastrawan dan seniman yang tergabung dalam Manifesto Kebudayaan (Manikebu) dengan salah satu tokohnya Goenawan Mohamad.

Secara formal historis, kebudayaan Indonesia modern mandiri bersamaan dengan berdirinya Republik Indonesia 1945. Atau bersamaan dengan proses perang dingin berlangsung. Dua ideologi modern sosialisme-komunisme dan liberalisme-neoliberalisme menjadi dua paham yang menjadi pondasi kebudayaan Indonesia. Paham pertama, sosialisme, tentu memilki akar pada tradisi geokultur nusantara. Di mana, masyarakat Indonesia lama mengenal hidup dalam kesadaran kolektif. Di jawa (misalnya) terdapat tradisi gotong royong. Di masa lalu, ketika anggota masyarakat desa hendak membuat rumah, maka anggota masyarakat lain membantu mendirikan tanpa dibayar.

Sementara, liberalisme mengacu konsep semangat individual dan masuk melalui kolonialisme akibat revolusi industry. Pemikiran kebudayaan ini memberi pesona Sutan Takdir Alisabana (STA). Ia menulis sebuah artikel berjudul Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru: Indonesia-Pra-Indonesia (Pujangga baru, 2 Agustus 1935).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Muatan pemikiran STA ini merangsang reaksi para sastrawan dan budayawan lainnya. Sanusi Pane merespon dengan sebuah artikel yang dimuat Suara Umum (14 September 1935) berjudul Persatuan Indonesia. STA menggagas konsep Indonesia yang harus lepas dari akar tradisi Timur, sementara Sanusi Pane dan beberapa yang lain menggagas konsep moderat yang ekletisme. Mencampurkan Timur-Barat.

Pada pergolakan kebudayaan di masa Orde Lama, kaum Lekra mendominasi proses hegemoni kebudayaan dengan mangacu pada realisme-sosialis. Marxim Gorki menyebut realisme sosialis (sastra) adalah karya yang populer. Karya yang mampu memberikan kesadaran pada masyarakat. Aristoteles menyebut sebagai pencapaian katarsis. Karya-karya realisme sosialis pada makna sesungguhnya adalah bertujuan untuk memberi kesadaran pada masyarakat terhadap adanya ketimpangan sosial, ketidakadilan atau penindasan. Kubu ini kemudian mewakili apa yang dikenal sebagai Seni Untuk Rakyat.

Di pihak lain, para seniman, sastrawan dan budayawan yang kelak dikenal sebagai Manikebu (1963), melakukan perlawanan  dengan mengusung humasnisme universal. Sebuah paham kebudayaan yang berlatar semangat liberalisme. Tokoh-tokohnya antara lain Mochtar Lubis, Arif Budiman dan Goenawan Mohamad. Humanisme universal berpikir bahwa manusia memiliki hak dan kebebasan untuk berkarya sesuai kepentingan sendiri (individualisme). Kubu ini kemudian mewakili Seni Untuk Seni.

Di masa itu, di Amerika (1950-an) lahir karya lukisan abstrak-ekspresionisme dengan tokoh Jackson Pollock. Kemudian hari, aliran itu diketahu didanai oleh CIA (The Independent, 1995). Dua paham itu memiliki sisi kebenarannya secara norma. Keduanya juga memiliki kebenaran, bahwa masing-masing disponsori oleh kekuatan besar dunia. Satu merujuk pada Timur (Uni Sovyet), dan satunya merujuk pada Barat (Amerika Serikat). Pertarungan hegemoni kebudayaan, praksis selesai setelah masuk masa Orde Baru (1967).

Para budayawan, seniman dan sastrawan realisme sosialis banyak masuk penjara, seperti halnya Pramoedya Ananta Toer. Seni dan sastra Indonesia kemudian memasuki era humanisme universal. Karya-karya abstrak dalam lukisan berkembang. Sastra-sastra dengan beban filsafat eksistensialisme menjadi tren.

Sementara itu, orang menyebut karya-karya sastra tersebut sebagai sastra gelap. Istilah ini untuk mengatakan bahwa penikmat kesulitan memahami pesan. Jean Paul Satre, Albert Camus, Frans Kafka menjadi tokoh-tokoh sastra rujukan utama di Indonesia (meskipun Camus karya-karyanya berbicara soal orang-orang yang terasing akibat modernisme yang industrial). Belakangan realisme magis Amerika Latin, seperti Gabriel Gracia Marquez menjadi rujukan baru yang diminati.

Sementara pertarungan kebudayaan untuk merebut posisi identitas modern berlangsung di Indonesia –dunia pemikiran melalui Sekolah Frankurt mengembangkan kritik ideologi yang berbasis pada pemikiran Karl Marx (1930-an). Berpijak dari pemikiran kritik ideologi Sekolah Frankurt, berkembanglah apa yang kita kenal sebagai pemikiran posmodernisme.

Posmodernisme melakukan dekontruksi estetika, arsitektur dan sastra (1970-an). Pada pijakan pemikiran, posmodernisme mengkritik kegagalan modernitas mencapai pencerahan yang dicita-citakan sejak awal dari kaum rasonalisme, sepeti Descrates (Aku berpikir maka aku ada). Pada realitasnya, modernitas tak menjawab pesoalan kehidupan manusia secara tuntas (Karya Albert Camus, Satre banyak bicara soal ini). Tetapi justru menciptakan pemusatan modal (ekonomi) yang membuat kesenjangan dan penjara estetika ( seni arsitektur) serta teralineasinya (terasing) manusia.

René Descartes ( 1596-1650) di sini berlawanan dengan  Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844 – 1900). Cogito ergo sum (Aku berpikir maka aku ada) Descrates ditumbangkan dengan kesimpulan Nietzshe, Tuhan telah meninggal. Nietzsche mengajarkan bahwa tidak ada kebenaran mutlak. Bahwa akal tak bisa dipercaya sepenuhnya. Skeptisme radikal ini yang kemudian membunuh keberadaan tuhan. Keduanya adalah akar pemikiran modernisme (Descrates) dan posmodernisme (Nistzsche).

Perilaku posmodernisme awal di tahun 1970-an itu ditandai dengan perubahan seni arsitektur. Pola atau gaya modern yang bertumpu pada gaya masa pencerahan, didekontruksi menjadi pola-pola yang retro, polivokalitas. Charles Jencks (1975) mengatakan posmodern adalah upaya pembebasan gaya arsitektur dari belenggu satu gaya setelah ratusan tahun. Posmodernisme juga merambah pada sastra. Umberto Eco menjadi salah satu sastrawan yang melahirkan karya The Name of Rose yang dikategorikan sastra posmo.

Tahun 1983, di Solo, Arif Budiman, salah satu tokoh Manikebu dan humanis universal tiba-tiba menyatakan pertobatannya terhadap pemikiran humanisme universal. Katanya, keindahan tak bisa dikurung oleh satu konsensus yang sama. Atau hanya dinilai oleh pusat kuasa sastra seperti Nobel. Keindahan itu relatif. Setiap daerah memiliki persepsinya sendiri. Pemikiran monovakalitas (modern) menjadi polivokalitas (posmo) Arif adalah pengaruh pemikiran posmodernisme tersebut.

Kebudayaan Indonesia pada tahap berikutnya menjadi terseret arus tanpa menyadari dan tak mampu membedakan tengah berada pada kehidupan modernitas atau posmodernitas. Identitas kebudayaan Indonesia mengalir saja seperti apa yang menjadi tren dalam media. Ketika pemilik otoritas media menganggap sastra gelap sebagai bagus, maka masyarakat sastra mengikutinya. Ketika kolektor menunjuk karya rupa modern bagus, maka pelukis mengikutinya. Pada tingkat tertentu ia modern, tetapi pada perilaku lain ia posmodern.

Identitas kebudayaan Indonesia, dengan demikian tergantung pada kekuatan hegemoni kebudayaan yang dominan dan hegemonik. Posisi demikian, dalam konteks zaman now, maka, masyarakat sesungguhnya terjebak dalam istilah Marcuse, desublimasi represif (Marcuse, Eros and Ciivilation, 1963). Masyarakat hidup dalam kesadaran semu akibat peran kapitalisme akhir.

Semua yang nyata menjadi simulasi, demikian Jean Baudrillard katakan. Masyarakat hidup dalam dunia yang melampaui realitasnya (hiperrealitas). Kehidupan sosial media yang bebas dan terbuka melengkapi dunia simulasi dan hiperrealitas tersebut. Seseorang tiba-tiba menjadi bak ratu dan pangeran dengan foto latar dan menu makanan. Padahal realitasnya dipenuhi masalah hutang.

Hoax berkeliaran dari segala arah dan bersumber dari mana saja dan dianggap kebenaran. Isu intoleransi berkembang pesat seolah meliputi seluruh wilayah. Padahal hanya ada di satu titik yang berasal dari dunia yang tak pernah diverifikasi kebenarannya secara mendalam. Jadi, saat ini seperti pujangga Ronggowarsito katakan, kita hidup di zaman edan. Wolak-walike jaman (dunia yang terbalik-balik). Demikianlah kebudayaan Indonesia kini bersumber. Semoga kita semua bahagia. [] 

(sumber gambar: Medium.com)

Ikuti tulisan menarik Ranang Aji SP lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler