x

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

#SeninCoaching: Kita Gladi Resik untuk Panggung Abadi

Tension menimbulkan kreativitas. Apa versi terbaik diri Anda hari ini?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Leadership Growth: We are Rehearsing Now, to Reach the Infinite

 

Mohamad Cholid

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Practicing Certified Business and Executive Coach.

 

Hari itu 9 September 1965. Begitu lepas landas dari USS Oriskany, James Stockdale, Komandan Skuadron Tempur 51 US Navy memasuki langit Vietnam Utara untuk suatu misi khusus. Penerbangan ini kemudian menjadi perjalanan memasuki tahapan perjuangan baru baginya.

Pesawat yang diterbangkannya, Douglas A-4 Skyhawk, lumpuh ditembak musuh. Stockdale ambil keputusan loncat dari pesawat dan mendarat dengan  parasut di sebuah desa kecil. Ia disambut dengan siksaan, lalu dikirim sebagai tawanan perang ke “Hanoi Hilton”, julukan untuk penjara Hoa Lo.

Selama tujuh setengah tahun dalam sekapan Vietnam Utara, 1965 – 1973, Stockdale sempat disiksa lebih dari dua puluh kali tanpa sekalipun menyerah untuk membuka informasi mengenai tugas-tugasnya. Bahkan ketika dia diberitahu akan diparadekan dan direkam untuk kampanye bahwa para tawanan perang diperlakukan baik, Stockdale sengaja melukai kepalanya agar dirinya tidak dijadikan obyek propaganda musuh.

Stockdale menjadi satu-satunya perwira tentara AS berpangkat tertinggi yang ditahan Vietnam Utara. Selama menjalani kehidupan di “Hanoi Hilton” itu, Stockdale memimpin gerakan pembandelan para tawanan, berkomunikasi dengan bahasa sandi yang mereka sepakati. Tujuan upaya itu untuk memberikan semangat para tawanan bahwa mereka tidak sendirian dan wajib bertahan hidup – kendati tanpa kejelasan nasib, apakah ada peluang dibebaskan dan kapan.

Sebagian tawanan meninggal, di antaranya akibat penderitaan fisik dan psikis berkepanjangan.

Sesuai hasil Paris Peace Accords antara AS dan Vietnam Utara, 591 orang tawanan perang mulai awal 1973 dibebaskan. Sebagai bagian dari Operation Homecoming itu, Stockdale dipulangkan 12 Februari 1973, dalam kondisi tidak diizinkan terbang lagi mengingat kakinya cacat akibat siksaan selama dalam tahanan.

Stockdale menjadi perwira tiga bintang pertama dalam sejarah Angkatan Laut AS yang memperoleh sekaligus aviator wing dan the Congressional Medal of Honor, disematkan oleh Presiden AS mewakili Kongres, bagi para personel militer atas pertimbangan “conspicuous gallantry and intrepidity at the risk of life above and beyond the call of duty.

Pertanyaannya, kenapa ada tawanan perang yang mampu bertahan dan kenapa sebagian lembek dan meninggal?

Pada suatu siang di lingkungan Stanford University, Jim Stockdale memberikan jawabannya kepada Jim Collins, konsultan bisnis dan profesor pascasarjana bidang company sustainability and growth.   

“I never lost faith in the end of the story,” kata Stockdale. “Saya tidak pernah ragu tidak hanya suatu saat akan bebas, tapi juga akan unggul. Lalu mengolah pengalaman itu menjadi event yang menentukan hidup saya, yang kalau direnungkan kembali, tidak dapat dipertukarkan.”

Bagaimana dengan yang tidak sanggup bertahan? “Itu golongan orang yang optimistis,” jawab Stockdale. Maksudnya? “Itulah orang yang mengatakan bahwa kita akan keluar saat Natal. Dan Natal berlalu tanpa ada apa-apa. Lalu mereka bilang, kita akan bebas saat Paskah. Saat Paskah lewat tanpa ada perubahan, mereka mengatakan kita bakal bebas pada Thanksgiving, lalu kembali lagi ke Natal. Dan mereka meninggal patah hati.”

Stockdale menegaskan, “Ini pembelajaran penting. Jangan Anda bingung antara keyakinan akan unggul  -- tidak pernah sanggup menerima kalah – dengan sikap disiplin menghadapi the most brutal facts of your current reality, whatever they might be.”

Dari perbincangan mendalam tersebut lahir rumus Stockdale Paradox, yaitu keyakinan untuk menang mengatasi tantangan berparadok dengan sikap legowo, qona’ah, menghadapi kenyataan, fakta apa pun. Menurut Jim Collins, ini indikasi sikap kepemimpinan yang mampu menghasilkan greatness. Winston Churchill saat Perang Dunia II menjalani proses semacam itu.

Dalam penelitiannya selama beberapa tahun untuk menghasilkan buku Good to Great (2001), Jim Collins bersama tim menemukan sejumlah bukti, perusahaan-perusahaan yang berhasil menjadi hebat, from good to great, dikelola dengan pola kepemimpinan seperti itu.

Para eksekutif dan leaders mereka mampu menepis kehebohan dan kekusutan aktivitas yang tidak penting, untuk fokus pada upaya-upaya yang memberikan impact paling signifikan bagi organisasi. Mereka dapat meraih prestasi itu dengan menerapkan perilaku kepemimpinan Stockdale Paradox secara seimbang, tidak membiarkan satu sisi melebihi sisi yang lain. “And once you have that simple, unifying concept, you will be very close to making a sustained transition to breakthrough results,” kata Jim Collins.

Dalam kenyataan hidup kita sehari-hari, saat memimpin keluarga, sebagai kepala lingkungan, dalam memimpin organisasi bisnis dan non-bisnis, atau berperan dalam posisi strategis lainnya yang memberikan impact kepada banyak orang, kita merasakan ketegangan yang timbul akibat perbedaan antara tantangan kenyataan saat ini dan keyakinan dapat meraih sukses lebih hebat. Benar, kan?

Tension, hasil tarik-menarik antara realitas hari ini dengan keyakinan dapat meraih goal lebih baik esok hari, jika dikelola dengan cermat akan menambah bobot eksistensi kita, menghasilkan kreativitas.

Menyadari strategic context keberadaan kita di dalam organisasi dan di bumi ini menjadi sangat penting.

Rasanya perlu pula menyimak pertanyaan ini: Apakah di antara kita ada yang kurang yakin bahwa umat manusia mendapatkan jatah karcis yang sama dari Tuhan Pencipta Alam Semesta, yaitu one-way ticket menuju akhirat?

Dalam proses itu, jumlah usia berdasarkan kalender terlihat bertambah, seperti jarak tempuh perjalanan. Namun sesungguhnya jatah waktu kita di dunia ini berkurang – excuse me, apa ada yang keberatan, terutama di antara orang-orang yang masih bersikap defensif untuk melakukan perbaikan diri?

Kata orang-orang bijak, di dunia ini sesungguhnya kita semua tengah melakukan gladi resik, agar kelak, dengan izin Tuhan, bisa hadir di panggung abadi (alam akhirat) dengan lebih baik. Sebagaimana lazimnya gladi resik, sekarang yang sepatutnya kita lakukan adalah berupaya mengoptimalkan diri kita untuk setiap peran.

Kalau diri ini masih di level biasa saja, atau bahkan sudah bagus dalam beberapa hal, tapi terengah-engah menggapai prestasi di bidang lain, apa itu sudah cukup? Apakah tidak mau masuk golongan orang-orang yang bersyukur dengan cara mengoptimalkan kecerdasan dan kompetensi menjadi lebih baik, menurut perspektif para stakeholders kita, lebih dari sekedar menurut kita sendiri?

Karena para stakeholders – keluarga, kolega, direct supports, dan atasan – adalah yang terkena impact langsung tindakan kita.

Praktik pengembangan efektivitas kepemimpinan metode Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching sebenarnya untuk mengajak para eksekutif dan leaders lebih mensyukuri kecerdasan dan peluang yang diberikan Tuhan, mengoptimalkan diri dengan melibatkan orang-orang yang menjadi pasak (stakeholder) tegaknya kepemimpinan kita. Mereka adalah mitra akuntabilitas.

Kata salah seorang eksekutif senior di sebuah korporasi, “Program coaching ini memanusiakan kami. Kami merasa di-uwongke.” Maksudnya, diberi peluang naik ke next stage kehidupan profesional dan pribadinya. Bukankah hari ini sepatutnya lebih baik dari kemaren dan esok lebih baik lagi dibandingkan hari ini?

Tiga kebajikan dasarnya adalah courage (bertanya ke stakeholder untuk evaluasi efektivitas diri, berani menjelajahi wilayah kecerdasan baru, siap tidak nyaman), humility (rendah hati mengakui ketidaksempurnaan diri dan perlu pertolongan), dan discipline (follow up mengukur efektivitas menurut perspektif stakeholders).

Itu seperti mempraktikkan Stockdale Paradox, dengan sistematis dan terukur, untuk meraih greatness.    

Kita punya pilihan bagaimana mewarnai konteks strategis keberadaan kita di dunia ini, dengan cara menjadi pribadi, eksekutif, dan leader yang lebih efektif. Mampu memberikan kontribusi lebih positif bagi organisasi, keluarga, dan kemanusiaan. Ini merupakan an active process of constant practice and self-reminder. Setiap pagi cobalah menanyakan diri sendiri, apa versi terbaik diri kita hari ini? Tim Anda berhak mendapatkan the best version of you, day in day out.

 

Mohamad Cholid  adalah Head Coach di Next Stage Coaching.

n  Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching

n  Certified Marshall Goldsmith Global Leader Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

(www.nextstageconsulting.co.id)   

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler