x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sekolah dan Pendidikan Karakter

Penyakit-penyakit di sekolah yang menghambat perannya sebagai institusi yang mengemban mandat menumbuhkan karakter bangsa

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Kurikulum Untuk Kehidupan

Penulis: Zulfikri Anas

Tahun Terbit: 2017

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Al-Mawardi Prima Press

Tebal: xii + 244

ISBN: 978-602-9247-83-1

 

Persekolahan adalah institusi yang mendapat mandat dan kepercayaan untuk menyiapkan generasi muda bangsa. Tidak ada institusi lain yang diberi wewenang sedemikian besar dan dibiayai negara untuk tujuan mulia ini. Selain menyiapkan generasi mudah secara akademik, persekolahan juga diberi tugas untuk membangun karakter anak bangsa supaya kuat bersaing di dunia global. Siapkah sekolah mengemban amanat pendidikan karakter?

Apakah sekolah kita baik-baik saja? Apa yang salah dengan sekolah kita? Apa yang salah dengan guru-guru kita? Bukankah semuanya baik-baik saja? Ternyata kondisi pendidikan kita sungguh belum siap untuk mengemban amanah pendidikan karakter. Dunia pendidikan kita dihinggapi berbagai penyakit. Penyakit-penyakit yang sangat berbahaya bagi dunia pendidikan.

Dengan menggunakan nilai-nilai Islami, Zulfikri Anas membedah persoalan-persoalan persekolahan dalam mengemban tugas pendidikan karakter. Zulfikri menunjukkan berbagai penyakit yang dihadapi sekolah dalam mengemban amanat agung ini. Di bab 1 “Membangun Fatamorgana,” Zulfikri membahas tentang kurangnya guru (dan kepala sekolah) yang bisa menjadi teladan bagi siswanya. Kebohongan masih sering terjadi di ruang-ruang kelas. Sistem reward dan punishment yang diterapkan di sekolah membuat anak-anak berlomba untuk rela berbohong untuk mendapatkan pujian. Sekolah lebih memfasilitasi mereka yang pandai daripada mereka yang membutuhkan bantuan. Sekolah bangga jika ada satu dua muridnya juara. Itulah sebabnya sekolah lebih memberikan fasilitas kepada anak-anak yang berprestasi daripada kepada mereka yang biasa-biasa saja. Sebab gengsi sekolah akan naik karena prestasi satu dua anak tersebut. Praktik sekolah yang demikian itu telah mencederai tujuan utama sekolah.

Semangat berbuat baik dan berbuat lebih gigih yang dianggap sia-sia. Sering kali kita mendengar bahwa kita tidak perlu berbuat baik, karena hal itu akan membuat kita lebih sulit dalam hidup. Berlaku baik sering dianggap menyimpang dari kebiasaan yang ada. Hal tersebut membuat guru atau kepala sekolah malah dianggap aneh. Daripada dianggap aneh, lebih baik ikut saja kebiasaan yang sudah ada. Untuk apa kita harus bekerja keras? Bekerja keras atau tidak toh gajinya sama saja. Jadi lebih baik menjadi guru dan kepala sekolah yang biasa-biasa saja daripada menyiksa diri.

Penyakit-penyakit di atas menjadi hambatan besar bagi sekolah untuk mengemban tugas menumbuhkan karakter yang baik bagi generasi muda yang menuntut ilmu (dan membangun karakter) di ruang-ruang kelas. Dengan penyakit-penyakit yang menempel di persekolahan, maka sulit bagi persekolahan untuk mengemban tugasnya menumbuhkan karakter anak bangsa.

Zulfikri tidak hanya menuduh dan mengeluh. Di bab 2 “Kurikulum Sebagai Skenario” ia tidak hanya membongkas kebusukan. Ia juga memberikan gagasan bagaimana memecahkan masalah tersebut. Ia mengusulkan sebuah kurikulum baru. Kurikulum baru yang dimaksud bukan mengganti kurikulum pembelajaran seperti yang sering dilakukan oleh mereka yang ditunjuk menjadi Menteri Pendidikan. Zulfikri mengusulkan sebuah fondasi. Kurikulum hakiki. Kurikulum kehidupan. Kurikulum yang mengantar anak-anak menjadi juara kehidupan. Bukan mengantar anak-anak juara akademik tetapi loyo dalam menghadapi kehidupan (hal. 114). Kurikulum yang ramah untuk semua anak; yang menumbuhkan bakat dan minat anak sehingga menjadi unik dan kuat dalam samodra hidup.

Apa yang disajikan oleh Zulfikri dalam buku ini bukanlah sebuah bangunan teori nan indah. Ia menunjukkan bagaimana cara melaksanakannya di bagian 3 “Kurikulum Untuk Menata Kehidupan.” Ia mengusulkan cara-cara sederhana, meski tidak mudah. Disiplin, jujur, kerja keras, fokus kepada kemampuan kembang masing-masing individu anak adalah beberapa tips yang dianjurkan oleh Zulfikri dalam menjalankan persekolahan. Proses belajar mengajar hendaknya memperhatikan nilai-nilai di atas tersebut. Dengan menerapkan nilai-nilai di atas maka persekolahan akan mampu mengemban tugasnya dalam membangun karakter anak bangsa.

Persoalannya, karakter persekolahan tidak saja ditentukan oleh mereka-mereka yang bekerja di sekolah dan ruang-ruang kelas. Banyak pihak di luar sekolah yang ikut serta membangun (dan merusak) sekolah. Kadang Kepala Sekola dan guru tidak mempunyai kemampuan untuk melawan kekuatan dari luar yang sungguh dahsyat tersebut. Kita semua tahu bahwa dunia pendidikan kita belum kalis dari korupsi. Kita pun tahu bahwa pengatrolan nilai, terutama hasil Ujian Negara sering kali diperintahkan oleh para pejabat yang malu kalau anak-anak di wilayah mereka mendapatkan nilai yang jelek. Belum lagi orangtua yang acuh tak acuh terhadap perkembangan belajar anaknya. Orangtua yang bisanya marah kalau anaknya tidak berhasil.

Sayang sekali Zulfikri tidak membahas faktor-faktor di luar sekolah yang juga sangat berpengaruh tersebut. Namun harus diakui bahwa perubahan bisa terjadi oleh mereka yang memiliki otoritas untuk mengubah. Zulfikri fokus kepada guru dan kepala sekolah dan hal-hal yang mereka bisa ubah tanpa perlu menunggu perubahan dari pihak yang lebih tinggi. Zulfikri yakin bahwa perubahan “dari bawah” ini cukup dahsyat untuk mengubah kesiapan sekolah dalam mengemban tugasnya menumbuhkan karakter anak bangsa. Namun perubahan dari bawah hendaknya juga diikuti oleh perubahan dari atas. Persoalan korupsi di dunia pendidikan misalnya. Persoalan ini sulit bisa dihilangkan jika hanya berharap kepada perubahan di level guru dan kepala sekolah. Sebab sering kali guru dan kepala sekolah tidak bisa menghindar dari atasannya. Atau beliau membahasnya di bukunya yang lain?

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler