x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kasus Dokter Terawan dan Logika Feodal

Bagian sebagian pasien, prinsip dasar yang selalu dijadikan acuan tiap kali berobat adalah sembuh dan kesembuhan. Sesederhana itu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bagi sebagian pasien, prinsip dasar yang selalu dijadikan acuan tiap kali berobat adalah sembuh dan kesembuhan. Sesederhana itu. Pasien umumnya tidak terlalu peduli dengan mekanisme dan tahapan pengobatan. Jika perlu, sekali berobat langsung sembuh.

Prinsip berobat ini mengemuka ketika muncul kasus dokter Terawan, Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), yang dipecat sementara oleh Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK), dengan tudingan melakukan praktek pengobatan yang dianggap salah prosedur. Dia dipecat dari keanggotan IDI (Ikatan Dokter Indonesia) selama setahun (26 Februari  2018 – 25 Februari 2019). Artinya selama periode itu, dokter Terawan tidak boleh berpraktek.

Alasan pemecatan itu, karena dokter Terawan mengobati pasien stroke (atau terduga stroke) dengan metode “cuci otak”: menggunakan mesin digital subtraction angiography (DSA). Kalau digambarkan, metode ini kira-kira sama dengan kerjabakti membersihkan selokan biar drainase lancar. Pengobatan DSA dilakukan dengan memasukkan cairan bernama haperin melalui keteter di pangkal paha, untuk membersihkan pembuluh darah ke otak. Sumbatan dibersihkan sehingga pembuluh darah kembali bersih agar aliran darah normal. Cairan Heparin juga bisa menimbulkan efek anti-pembekuan darah di pembuluh darah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi menurut MKEK, metode pengobatan DSA itu belum teruji secara klinis. Karena itu, dokter Terawan dipecat selama setahun.

Namun ada beberapa catatan ganjil dan menarik terkait kasus dokter Terawan ini:

Pertama, dokter Terawan mengaku telah mempraktekkan metode DSA sejak 2005. Artinya sudah berlangsung sekitar 13 tahun, dan telah menangani sekitar 40.000 (empat puluh ribu) pasien. Ini kan luar biasa. Dan konon tidak banyak muncul komplain dari masyarakat (pasiennya), dan itu bisa menjadi bukti validitas metode yang diterapkannya. Pertanyannya, kemana dan kenapa MKEK baru bertindak.

Tidak jelas memang apakah semua pasien yang banyak itu sembuh. Tetapi sejumlah testimoni pasien, sebagian di antaranya adalah tokoh atau pejabat nasional, mengaku pernah diobati oleh dokter Terawan. Sekedar menyebut di antaranya: Jusuf Kalla, Rizal Bakrie, Makhfud MD, Butet Kertadjasa. Bahkan dalam suatu rapat kabinet terbatas, dihadiri 10 orang menteri, ketika masing-masing dari 10 meteri itu ditanya, ternyata 6 di antaranya pernah menjadi pasien dokter Terawan.

Kedua, secara keahlian, dokter Terawan memang menyandang gelar dokter radiologi (Sp. Rad), yang biasanya bertugas membaca hasil roentgen. Namun dokter Terawan juga meraih S3 di Universitas Hasanuddin Makassar yang mengkaji soal DSA (biasa disebut brain flushing), dengan disertasi bertajuk “Efek Intra Arterial Heparin Flushing Terhadap Regional Celebral Blood Flow, Motor Evoked Potensial, dan Fungsi Motorik pada Pasien dengan Stroke Iskemik Kronis”.

Kayaknya, dari istilah brain flushing itulah muncul nama populer metodenya sebagai metode “cuci otak”. Sebab mirip istilah brain washing (cuci otak). Dalam bahasa Inggris, brain flushing bermakna membilas (membersihkan) otak. Konon metode pengobatan tersebut sudah diterapkan di Jerman dengan nama paten “Terawan Theory”. Kereen. kan?

 

Tapi Prof DR dr Hasan Machfoed, ketua Persatuan Dokter Saraf Seluruh Indonesia (Perdossi), dalam wawancaranya melalui sebuah televisi swasta pekan lalu, menilai ada yang salah kaprah dari penerapan metode dokter Terawan (saya tidak begitu memahami penjelasan teknis medisnya)

Ketiga, kira-kira pada Agustus 2017, ada dua kawan bercerita ke saya setelah menjalani metode pengobatan brain flushing dokter Terawan, badannya terasa segar dan ringan. Sehat bugar. Dan beberapa hari kemudian, teman tadi juga merasakan efek sampingannya yang sangat luar biasa (sambil tertawa cengengesan): dia mengalami peningkatan stamina libido. Padahal usia keduanya sudah kepala lima. Poin ini yang membuat saya tertarik. Tapi belum sempat berobat, ehhh, dokter Terawan sudah keburu diskors.

Keempat, kasus dua teman tadi juga menunjukkan bahwa pasien dokter Terawan tidak semuanya penderita stroke. Sebab dua teman itu bukan penderita stroke. Keduanya memposisikan metode brain flusing sebagai terapi kebugaran.

Kelima, seorang teman yang lama bermukim di negara tetangga bercerita bahwa beberapa rumah sakit di negara itu, yang khusus menangani penderita stroke, sempat kaget kenapa jumlah pasien stroke asal Indonesia berkurang drastis sekitar lima tahun terakhir. Setelah dicari penyebabnya, ditemukan bahwa di Indonesia ada seorang dokter, yang cukup efektif mengobati pasien stroke. Tapi memang tidak pernah ada publikasi bahwa dokter yang dimaksud adalah dokter Terawan.

Namun jika benar, pasien dokter Terawan mencapai 40 ribu pasen, selama periode sekitar 12-13 tahun terakhir, memang sangat berpotensi mengurangi “pasar kesehatan” di negara tetangga itu. Dan juga pasar pasien stroke dalam negeri. Jangan-jangan skors setahun terhadap dokter Terawan adalah bagian operasi fedoalisme monopolistis. Hehehehe.

Keenam, apapun itu, sekali lagi, bagi pasien, prinsip utama dalam berobat adalah sembuh dan kesembuhan. Mungkin logika inilah yang menyebabkan munculnya simpati dan dukungan terbuka kepada dokter Terawan, yang notabene adalah salah satu anggota dokter kepresidenan.

Syarifuddin Abdullah | 07 April 2018 / 21 Rajab 1439H

Sumber foto: nasional.kompas.com

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler