x

Iklan

Egy Massadiah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Putu Wijaya, Teater Mandiri dan Sumbangan Untuk Bangsa

"Bahwa tegak di kaki orang lain,betapapun sejahteranya, tak pernah lebih indah dari perih curah dari luka telapak kakimu yang telanjang..."

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh Egy Massadiah

Segalanya bermula tahun 1983. Itu menjadi babak baru dalam kehidupan saya. Masih melekat dalam ingatan perkenalan dengan Putu Wijaya, awal saya bergabung dalam latihan Teater Mandiri, setelah sebelumnya saya ikut Teater Anak Anak “Belinda” bentukan Yose Marutha Effendi (alm). Mas Yos, orang Jawa Timur yang sangat baik hati itulah yang menjembatani saya melangkah ke Teater Mandiri.

Saat itu saya sehari-hari jadi “gelandangan” dan nongkrong di Taman Ismail Marzuki (TIM), tepatnya di Sanggar Tari Huriah Adam, yang kini sudah berubah menjadi Teater Jakarta yang megah. Mas Yos memberi kabar bahwa Teater Mandiri akan pementasan, dan membuka kesempatan bagi yang mau ikut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya langsung tertarik dan segera bergabung. Nama besar Putu Wijaya yang saya hanya sempat baca di buku-buku menjadi magnet kuat. Inilah saatnya perantau dari Tanah Bugis ini berjabat tangan dan bertatap muka dengan seniman kesohor kelahiran Tabanan, Bali, itu.

Awalnya saya kaget ketika para anggota senior mengumumkan, bagi anggota yang baru bergabung di Teater Mandiri, harus datang lebih cepat, pukul 6 sore, sementara latihan baru dimulai pukul 8 malam. Kami adalah golongan para yunior. Senior mewajibkan anggota baru menyapu, mengepel, dan menyiapkan air terlebih dahulu.

Dalam hati saya menggerutu, “Lho kok teater begini, kita disuruh-suruh seperti kuli”. Tapi karena kita masih baru, ya ikutin apa saja yang disuruh oleh senior.

Saat itu Teater Mandiri sedang menyiapkan pementasan berjudul Front. Turut dalam latihan pementasan itu grup lawak legendaris Warkop DKI (Dono,Kasino,Indro).

Putu Wijaya bak tukang sulap. Bagaimana tidak, kami dengan latar belakang berbeda-beda mulai dari tukang parkir, pengangguran, guru, wartawan, ibu rumah tangga bahkan ada yang buta huruf, bisa “hidup rukun” serta berinteraksi dalam peran-peran yang diberikan Putu Wijaya.

Sentuhan midas dan intuisi Putu mengubah yang biasa-biasa menjadi luar biasa. Distorsi perbedaan latar belakang diantara kami “dimanfaatkan” dengan jenius oleh Putu menjadi sebuah keunikan.

Awal perkenalan dengan Putu Wijaya mungkin tidak lebih kental kalau tanpa sentuhan kehidupan personal antara saya dengan Putu. Pada mulanya saya diajak Putu ikut dimobilnya. Saya ingat Toyota Hardtop warna cokelat. Putu minta saya menemaninya, merangkap menjadi supir pribadinya. Saat itu Putu menjabat sebagai Redaktur Pelaksana Majalah Zaman berkantor di Pasar Senen Jakarta Pusay (grup majalah Tempo).

Di sela-sela menjadi supir pribadi Putu, saya belajar menulis. Awalnya saya meminjam mesin tik Putu merek Erika. Setelah punya uang, saya pun akhirnya memiliki mesin tik sendiri yang saya beli di pasar loak sekitar Galur, Jakarta Pusat.

Saya beruntung karena sekalian mendapat tempat tumpangan tidur di rumah Putu di Jalan Mimosa I/1 Sunter, Jakarta Utara.

Tiada malam tanpa bunyi suara sentakan mesin tik tua ditemani dengung nyamuk yang gigitannya luar biasa pedas. Saya sedang berjuang menjadi seorang penulis, di bawah bimbingan langsung Putu Wijaya.

Saya ingat, pertama kali Putu mengajari saya menulis. Dia mengajak saya duduk di ruang tengah rumah dan memadamkan lampu hingga gelap gulita. Putu pun ngoceh dan menyuruh saya menulis ocehannya itu. Intinya kira-kira: menulis itu menggorok leher, mencurahkan makna hingga moksa, dan juga Egy harus kejam pada tubuhmu. Ya, kira-kira begitulah ocehannya.

Kekejaman pertama pun saya nikmati dari gigitan nyamuk di rumah Putu.

Ketika Putu Wijaya mendapat beasiswa Fulbright ke Amerika tahun 1984, saya ditawari Putu menjaga rumahnya. Saya menjalani tugas baru layaknya seorang pembantu rumah tangga: saya mengepel, membersihkan taman, menyapu serta memberi makan anjing kesayangan yang bernama si Front.

Hal tersebut tidak menggangu aktivitas saya di teater, karena siang saya jadi pembantu, malam saya latihan teater.

Sehari setelah Putu berangkat ke Amerika bersama Dewi Pramunawati, istrinya yang berasal dari Tanah Sunda, saya baru sadar: Putu, pergi ke luar negeri menitip rumah untuk dijaga, tapi tidak meninggalkan bekal sepeser pun.

Bagaiman saya makan? Saya kan belum punya penghasilan tetap. Yang lebih menyayat hati, anjing kesayangan Putu malah ditinggali beras, sedangkan saya tidak dikasih apa-apa.

Pikir saya saat itu, ada ketidakwarasan cara berpikir Putu, karena saya sebagai manusia tidak dihargai, dalam hal diberi makan, dibanding seekor anjing.

Belakangan saya baru menyakini, gara-gara urusan beras dan anjing itulah yang menjadikan saya tangguh, tidak cengeng serta tahan banting. Putu tidak menghidangkan ikan, ia lebih suka memberikan kail. Tidak ada hasil tanpa usaha, tidak ada manis tanpa merasakan kepahitan.

Saya mamanfaatkan apa saja yang ada, sebagaimana paham Teate Mandiri, "Bertolak dari yang Ada".

Pernah karena saking laparnya dan tidak punya uang, saya masak jatah beras anjing untuk saya makan, sementara anjing saya petikkan buah pepaya mengkal yang tumbuh dihalaman rumah Putu.

Karena sang anjing lahap, akhirnya saya memutuskan untuk "mengkorupsi" beras jatah anjing dan anjing saya kasih pepaya mentah.

Dalam perjalanan panjang fase-fase hidup saya berikutnya, saya tetap meyakini dan menggunakan konsep "Bertolak dari yang Ada".

Mulai saya jadi wartawan, pengusaha, hingga berkecimpung di urusan sosial dan politik. Bahkan saat saya mencalonkan diri sebagai anggota DPR dari Daerah Pemilihan Jakarta II, tidak lepas dari nilai-nilai kehidupan berteater yang diinjeksikan Putu Wijaya melalui Teater Mandirinya.

Sejak 1983 hingga sekarang, saya masih menjadi anggota Teater Mandiri kelompok yang didirikan Putu Wijaya. Tidak mungkin rasanya meninggalkan dunia Teater.

Bahkan saat ini saya masih diminta membagi pengalaman-pengalaman cara mengelola manajemen teater di beberapa kelompok. Salah satunya di Prodi Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

Ilmu itu tidak lepas dari pengalaman saya ikut Putu Wijaya, khususnya bagaimana membuat dan menyiapkan A sampai Z nya pementasan baik di dalam maupun di luar negeri.

Saya jadi ingat ketika Teater Mandiri diundang pada Festifal Yangju di Korea (2008). Setelah sukses menggebrak panggung di kota Praha, Ceko, dan Bratislava, Slovakia, pada bulan Juni 2008, Teater Mandiri mendapat undangan tampil di Korea Selatan.

Direktur International Folk Art Festival Yangju di Korea, Mr. Sohn Jin Chaek, setelah bertandang ke markas Teater Madiri di Astya Puri Cirendeu, melihat potongan pertunjukan, dan bersidkusi tentang eksistensi Teater Mandiri, langsung meminta Teater Mandiri berpartisipasi dalam festival yang akan diikuti oleh beberapa negara itu - antara lain Thailand dan Jepang - berlangsung pada 2-5 Oktober.

Teater Mandiri pun berangkat pada hari Lebaran, 1 Oktober 2008.

Waktu itu pihak festival hanya menyediakan akomodasi untuk 8 orang, sementara Putu ingin memboyong sekitar 14 orang anggota. Hal tersebut kemudian menjadi PR yang harus saya tuntaskan.

Maka harus ada dana ekstra agar kami dapat memboyong lebih banyak personel. Beruntunglah atas kebaikan silaturahmi dengan beberapa pihak, saya berhasil mengupayakannya, sehingga jumlah personel ditingkatkan menjadi 14 orang. Mereka adalah: Putu Wijaya (jadi pemain dan sekaligus sutradara), Yanto Kribo, Alung Saroja, Ucok Hutagaol, Wendy Nasution, dan Hermini, Bambang Ismantoro, Sukardi Djupri, Agung Wibisana (Almarhum), Dewi Pramunawati, Taksu Wijaya, dan Egy Massadiah dengan Wahyu Sulasmoro sebagai pemusik.

Sebagaimana biasa, Teater Mandiri juga meminta beberapa orang di Korea ikut bermain, berkolaborasi, sehingga bukan hanya tontonan yang tercipta, tetapi juga persentuhan kultural.

Ini memang merupakan bagian dari misi Mandiri sejak dulu. Kami tak pernah lupa menempatkan tontonan sebagai alat untuk diplomasi publik. Menambah pengertian mancanegara pada Indonesia dan sebaliknya mencoba lebih memahami mancanegara untuk membina persahabatan.

Kami berharap kiranya itu dapat ikut membantu menegakkan kembali citra Indonesia di mata mancanegara. Dari pengalaman-pengalaman semacam itu, saya menyadari bahwa belajar, hidup, dan menghidupkan Teater Mandiri adalah semacam petuah tidak tertulis dari Putu Wijaya kepada kami.

Bagi saya, maqom seorang Putu Wijaya dalam seni pertunjukan teater sangat istimewa. Tidak berlebihan jika saya menyebutnya sebagai manusia setengah dewa. Semua konsekuensi dalam pergulatan dunia kesenian telah ia hadapi, mungkin lebih tepatnya sudah ia resapi sedalam-dalamnya. Intuisinya mengarahkan pemain menjadi pembelajaran bagi bagi segenap pekerja Teater Mandiri.

Pemain dan kru dalam Teater Mandiri kami sebut pekerja. Putu mengajarkan bahwa semua bisa berperan , sebagaimana saya sampaikan di awal bahwa orang buta huruf saja bisa bermain teater di tangan Putu.

Jadi kru, pemain, dan semua elemen yang ada merupakan pekerja yang menghidupkan teater dan menjadi satu kesatuan.

Apa yang dipersembahkan Putu Wijaya kepada murid-muridnya tentu bukanlah materi. Putu mewariskan bahwa seluruh ujung perjuangan adalah untuk membangun sebuah sejarah baru tentang arti pengabdian. Tak hanya tujuannya yang harus mulia, tetapi juga cara mengusungnya yang tak boleh sedikit pun kenal menyerah. Tak setetespun boleh ternoda oleh rasa lelah dan putus asa, apalagi cela.

Semangat Putu Wijaya selalu mengapung , mengalir. Walaupun tak cepat , tetapi abadi keluhurannya bersinar bagi seluruh anak bangsa.

Semua itu meresap dalam diri saya dan kini dengan sepenuhnya yakin bahwa dengan kerja keras di balik kesulitan dan kemalangan selalu ada janji dan harapan.

Komunitas teater bukan hanya tempat bermain dan bertemu, melainkan juga tempat mengasah dan menempa manusia menjadi mandiri , disiplin, punya arah dan paham bekerja sebagai sebuah tim.

Kiprah saya bersama Teater Mandiri menembus panggung-panggung bertaraf Internasional di New York Off-Off Broadway, Seattle, Connecticut, San Francisco, Singapura, Kairo, Tokyo, Ceko, Slovakia, Hong Kong, Taiwan, dan lain-lain adalah kisah gembira di antara segambreng pelajaran kepahitan bergumul bersama Putu Wijaya.

Pementasan pertama saya di luar negeri bersama Teater Mandiri adalah di Amerika, sekitar tahun 1990. Saat itu Teater Mandiri mendapatkan undangan mengisi Festival Indonesia- Amerika. Kami tidak sendirian, ada teater lain yang juga diundang, yaitu Teater Ketjil pimpinan Arifin C.Noer.

Teater Mandiri saat itu menampilkan pementasan penuh gerak dan musik, tanpa dialog dengan judul Yel. Sedangkan Teater kecil mementaskan lakon Sumur Tanpa Dasar. Kami mendapatkan apresiasi luar biasa dari publik di Amerika Serikat.

Ada hal yang menarik ketika kami mentas di Amerika. Ceritanya, ketika kami baru landing di Los Angeles, setelah terbang dengan pesawat Garuda Indonesia melewati transit Biak dan Honolulu, kami dihadang petugas imigrasi Amerika.

Dua koper peralatan yang isinya kardus , tali rafia, dan barang-barang rongsokan lainnya mendapat perhatian khusus dari petugas. Barang bawaan kami persis seperti sampah yang dimasukkan ke koper dan kami daratkan di negara maju. Petugas imigrasi langsung mempertanyakan.

Mereka heran dan aneh, langsung kami jawab ini properti untuk keperluan pementasan. Mungkin dalam pikiran mereka, properti kami dianggap barang-barang antah-berantah yang datang dari negara yang sangat terbelakang.

Namun, saat itu Putu mengatakan pada kami,bahwa kami tidak boleh membawa yang serba canggih karena kami akan berpentas di negara maju.

Kami datang dengan “kebodohan dan ketololan” serta “bertolak dari yang ada” . Putu melihat keterbelakangan, kepolosan dan kebodohan sebagai kekuatan. Properti “busuk” menjadi menarik dan istimewa apalagi saat cahaya lampu panggung menerpanya.

Itulah Putu, bisa menyulap kelemahan menjadi kekuatan dan daya tarik yang luar biasa.Semua yang tersaji di panggung menjadi magis di mata penonton Amerika.

Perjalanan itu kemudian makin meyakinkan saya,bahwa saya sedang belajar sebuah ilmu “istimewa”. Saya menjadi manusia langka yang terpilih memetik hikmah teater dari seseorang maestro besar. Seni teater kemudian menjadi peraduan menempa kreativitas terus-menerus.

Dalam satu waktu, saya dituntut menjaga eksitensi saya dipanggung. Sementara saya tahu kalau semua telah selesai saya akan kembali pada kenyataan. Teater menuntut saya terus mengasah kreativitas ,menghayati peran diatas panggung dan kemudian juga menjadi manusia bermanfaat di dunia nyata.

Akhirnya saya harus menutup tulisan saya ini dengan sepotong kalimat pendek dari Putu yang dikirim lewat BBM sebelum tulisan ini selesai: “Bahwa tegak di kaki orang lain,betapapun sejahteranya, tak pernah lebih indah dari perih curah dari luka telapak kakimu yang telanjang, ketika kau jatuh-bangun berjuang melawan keterbatasanmu tanpa sekejap pun pernah ragu : bahwa kau pecundang.Tidak! Angkat jiwamu, yakini tidak! Kalah pun adalah kemenangan gemilang karena jiwamu membuatnya berkilauan sehingga cahayanya memberi inspirasi bangsa yang sedang diuji ini.”

Catatan tentang penulis.

Egy Massadiah, sudah lebih 30 tahun bersama dengan Putu Wijaya dan Teater Mandiri. Sebagaimana diuraikan diatas,ia menjadi anggota Teater Mandiri sejak 1983 dan sampai kini masih tetap anggota Teater Mandiri, meskipun sudah menjadi eksekutif muda yang berhasil serta pernah memproduseri film layar lebar, di antarnya Lari dari Blora yang dibintangi Rendra dan ketika Bung di Ende sebuah kisah pengasingan Bung Karno di Ende tahun 1934-1938.

Dulu di sela tugas jurnalistik,Egy juga menulis cerpen, puisi, esai. Prestasi atas kreativitasnya juga telah ia buktikan dengan memenangi lomba penulisan esai Diplomasi Kebudayaan Indonesia-Amerika dalam rangka KIAS 1987.

Ia menulis buku,antara lain Srikandi: Sejumlah Wanita Indonesia,Top Eksekutiif Indonesia ,Top Pengusaha Indonesia, Buku terbarunya ia susun bersama Roso Daras, Soekarno ata Ende.

Kini Egy mendukung kegiatan teater yang bernaung dibawah Prodi-Jurusan Teater Institut Kesenian Jakarta. ”Dunia Teater memiliki potensi yang dahsyat untuk berkembang asal semua bekerja sungguh-sungguh dan bersatu,”ujar Egy.

Tulisan ini pernah dimuat dalam buku "Bertolak Dari Yang Ada - kumpulan esai untuk Putu Wijaya. Hari ini 11 April 2018 saya tayangkan kembali sebagai ucapan ulang tahun untuk Putu.

Ikuti tulisan menarik Egy Massadiah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu