x

Ketua MPR RI, Zulkifli Hasan bersama Ketua Umum Muhammadiyah dan Pimpinan Parpol

Iklan

Putra Batubara

staf pengajar di Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT) Seneng Nulis
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Demokrasi Sehat dan Produktif Ala Zulkifli Hasan

Pilihan boleh beda, Merah Putih kita sama, pesan Zulkifli Hasan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak yang diikuti 171 daerah pada tahun 2018 ini merupakan tahap terakhir, sebelum akhirnya pada tahun 2024 mendatang benar-benar dilakukan pemilihan serentak secara keseluruhan. Secara keseluruhan maksudnya, pada tahun 2024 tersebut Pemilihan Presiden, Pemilihan Legislatif dan Pilkada seluruh daerah digelar secara bersamaan.

Namun sebelum sampai pada tahun 2024, kritik-kritik terhadap pemilihan secara langsung oleh rakyat terutama terkait pelaksanaan Pilkada terus bermunculan. Bahkan wacana agar Pilkada dikembalikan ke DPRD mencuat dalam pertemuan Ketua DPR Bambang Soesatyo dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo beberapa hari lalu. Pemikiran tersebut mengemuka setelah melihat berbagai hal negatif yang mengiringi pelaksanaan Pilkada Langsung sejak pertama kali digelar pada tahun 2005 lalu.

Kita memang tidak menutup mata terhadap berbagai masalah yang muncul akibat Pilkada langsung tersebut. Misalnya, mahalnya pelaksanaan biaya pilkada. Ini membuat para calon kepala daerah korupsi karena harus mengembalikan dana yang dihabiskan. Atau menabrak aturan perizinan dengan memberikan keistimewaan kepada pengusaha yang ikut mendanai saat pemilihan. Karena itu tidak heran ada banyak kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Yang tidak kalah merisaukan lagi adalah implikasi sosial di tengah masyarakat. Rakyat menjadi pragmatis, pilkada dianggap momentum untuk mendapatkan fulus dari para calon. Konflik dan perselisihan tidak dapat dielakkan karena berbeda pilihan. Pertemanan menjadi rusak, hubungan keluarga terganggu, malah ada juga suami-istri bercerai karena berbeda jagoan. Bahkan kerap terjadi kerusuhan karena tidak puas atas pelaksanaan atau hasil pilkada yang berujung pembakaran gedung-gedung dan akhirnya memakan korban.

Melihat berbagai ekses negatif tersebut, banyak pihak meminta agar pelaksanaan Pilkada langsung dievaluasi. Karena lebih banyak mendatangkan mudarat dibanding manfaat. Suara-suara kritis tersebut malah sudah disampaikan sejak lama. Termasuk oleh dua organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nadhlatul Ulama.

DPR sendiri sebenarnya pada tahun 2014 lalu sudah sepakat merevisi UU Pilkada dengan mengembalikan pemilihan ke DPRD. Namun, menuai protes dari masyarakat yang membuat Presiden RI saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Akhirnya Pilkada langsung tetap teruskan.

Berbagai perbaikan pelaksanaan Pilkada memang telah dilakukan untuk mengurangi ekses negatif tersebut. Seperti misalnya mengatur iklan dan sosialiasi bahkan penyelenggara Pemilu yang mendanai. Namun harus diakui, persoalan yang muncul masih belum terhindarkan sehingga membuat wacana Pilkada dikembalikan ke DPRD mencuat lagi.

Berbagai persoalan yang menyertai Pilkada langsung tersebut karena para kandidat dan rakyat membelokkan tujuan mulai dari pilkada langsung. Pilkada langsung dimaksudkan agar rakyat bisa menentukan secara langsung pemimpin yang menurut mereka terbaik justru dirusak sendiri. Pilkada langsung dimaksudkan agar muncul-muncul tokoh-tokoh yang amanah juga didistorsi. Pilkada yang memberi peluang kepada tokoh independen juga tidak dimanfaatkan. Karena acapkali tokoh independen juga ingin menempuh jalur pintas yang berusaha maju lewat partai. Bahkan persoalan Pilkada Langsung sering juga karena faktor penyelenggara yang dianggap tidak fair dan netral.

Akibatnya, Pemillihan yang diharapkan menjadi sarana untuk mendapatkan Pemimpin terbaik berubah menjadi arena pertarungan bebas dengan menghalalkan segala cara ala Machiavellianisme. Politik uang, pengkhianatan, fitnah, ancaman, bahkan kekerasan menjadi hal yang lumrah dalam Pilkada langsung. Bahkan bisa lebih buruk dari nasihat-nasihat Niccolo Machiavelli (1469 –1527) tersebut. Karena Machiavelli sendiri menyampaikan saran-saran yang dianggap buruk tersebut masih punya tujuan 'baik'. Yaitu agar Florence menjadi negara kuat, yang akhirnya bisa mengembalikan kejayaan Italia atau Romawi.

Demokrasi memang bukan tanpa cacat. Sistem ini sudah mendapat kritik tajam sejak pertama kali diterapkan di Athena, Yunani. Bahkan kritik tersebut datang dari filsuf besar Plato (427 SM-347 SM). Dia menentang empat tipe konstitusi: oligarki, timokrasi, demokrasi, dan tirani. Dari keempat aspek konstitusi tersebut, Plato paling menyalahkan demokrasi, yang diartikan sebagai bentuk masyarakat yang memperlakukan semua manusia sama, tidak peduli apakah mereka sama atau tidak dan memastikan setiap individu bebas melakukan apa yang dia inginkan.

Komitmen terhadap kesetaraan politik dan kebebasan ini, kata Plato dalam bukunya The Republic, adalah ciri khas demokrasi dan merupakan pangkal dari karateristiknya yang patut disesalkan (David Held, Model of Democracy [terj] 2006). Bagi Plato sendiri, pemerintahan terbaik adalah yang dipimpin oleh orang yang bijaksana (Philosopher King).

Namun, terlepas dari itu semua, kita sudah memilih sistem demokrasi, yang dianggap bukan sistem terbaik tapi belum ada sistem lebih baik darinya. Dan Pilkada langsung sudah di depan mata, yaitu 27 Juni 2018. Menyusul kemudian Pilpres dan Pileg akan digelar 17 April 2019. Bahkan tahapannya mulai tahun ini. Yaitu, pendaftaran calon anggota DPD 26 Maret 2018-17 April 2018; pendaftaran calon anggota DPR/DPRD 4-17 Juli; dan pendaftaran capres/cawapres pada 4-10 Agustus 2018.

Karena itu, agar Pilkada Langsung sekarang dan Pemilu 2019 tahun depan berjalan dengan baik dan lancar, agaknya pendapat dan pengalaman Ketua MPR Zulkifli Hasan layak untuk dicontoh dan dipraktekkan oleh semua elemen masyarakat. Pernyataan yang saya sebut sebagai demokrasi ala Zulkifli Hasan ini dia sampaikan di banyak kesempatan, terutama dia ulangi dalam minggu-minggu ini.

Pertama bagi dia, tujuan demokrasi bukan menajamkan perbedaan, tetapi mencari titik yang mempersatuakan. Karena itu demokrasi jangan digunakan untuk mencari musuh tapi untuk mencari lebih banyak teman. Menurutnya, Pilkada, Pileg, dan Pilpres hal biasa dalam demokrasi. Jadikan kontestasi tersebut sebagai ajang adu gagasan untuk Indonesia yang lebih baik. "Pilihan boleh beda, Merah Putih kita sama," katanya. Apalagi di tengah menghangatnya isu wacana pembentukan koalisi jelang Pilpres, Zulkifli Hasan, terus menyuarakan pentingnya koalisi nasional yang mengedepankan persatuan dan kemajuan Indonesia.

Dengan demikian, kalau rakyat punya pemikiran yang sama tentang makna demokrasi, cara berkontestasi, dan tujuan akhir dari semua tahapan pemilihan harus dimaksudkan untuk kemajuan Indonesia, seperti disampaikan Zulkifli Hasan, insya Allah Pilkada langsung dan termasuk Pemilu 2019 mendatang akan berlangsung dengan baik, sehat, dan produktif.

Ikuti tulisan menarik Putra Batubara lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler