x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

In My Case, Life Begins at Sixty

Sungguh saya masih merasakan gairah hidup seperti ketika masih berusia empat puluh tahun.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: In My Case, Life Begins at Sixty

Penulis: Satria Dharma

Tahun Terbit: 2017

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Eureka Academia

Tebal: xiv + 387

ISBN: 978-602-60602-9-7

Sosok Satria Dharma adalah sosok yang sudah selesai dengan pergulatan hidupnya, teguh dalam mengembangkan cita-citanya dalam membangun literasi di Indonesia dan militan dalam beragama. Sudah selesai dengan hidupnya berarti bahwa ia sudah tidak lagi berkonflik dengan dirinya sendiri. Ia puas dengan dirinya. Apa adanya. Ia puas dengan apa yang dimilikinya, karier, keluarga, harta benda dan sahabat-sahabatnya. Ia teguh dalam memperjuangkan literasi Indonesia, khususnya literasi di sekolah. Cita-cita ini diperjuangkannya jauh sebelum Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan secara resmi mengumandangkan gerakan literasi. Sementara itu dalam beragama (Islam), Satria Dharma adalah sosok yang sangat militan. Ia berpegang teguh kepada kebenaran Islam tanpa toleransi.

Mari kita bahas satu per satu kualitas Satria Dharma. Pertama-tama mari kita perbincangkan tentang damai yang telah didapatnya dalam hidupnya. Ia dengan santai mentertawakan masa mudanya yang penuh perjuangan. Ia tidak mengekploitasi masa mudanya yang miskin sebagai alat balas dendam. Lihatlah cara Satria Dharma menceritakan pengamanannya mencari tumpangan (hal. 19) truk dalam sebuah perjalanan. Atau kecerdasannya “menipu” Kepala Stasiun (hal 30). Dalam hal jodoh pun ia mendapatkannya melalui hadiah langsung dari Allah (hal. 33). Perempuan yang kemudian menemani hidupnya dalam suka dan suka (sepertinya memang tidak ada duka dalam hidup Satria Dharma) itu menjadi partner yang setara. Perempuan itu juga yang menjadi satu-satunya perempuan yang melahirkan anak-anaknya.

Tentang kariernya, Satria Dharma sangat berani menantang dirinya sendiri. Ia meninggalkan posisinya sebagai seorang PNS untuk menjadi guru di sekolah internasional. Ia juga meninggalkan posisinya yang nyaman sebagai guru di sekolah internasional untuk mencari tantangan yang lebih tinggi. Maka Allah pun menganugerahkan tugas yang lebih besar kepadanya. Ia dipercaya Allah untuk mendirikan beberapa sekolah tinggi. Ia juga ditugaskan oleh Allah untuk mengobarkan semangat mencerdaskan bangsanya melalui kiprahnya di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (meski sering kali secara informal). Ia juga adalah pendiri Ikatan Guru Indonesia (IGI) yang sangat fokus kepada peningkatan kompetensi guru daripada selalu mengejar kesejahteraan. Benarlah kiranya bahwa Allah berfirman: “Karena kamu bisa dipercaya dalam hal kecil, maka Aku memberimu tugas untuk mengerjakan hal-hal yang besar.”

Kalau ada orang yang membaktikan hidupnya memperjuangkan literasi di Indonesia, orang itu adalah Satria Dharma. Setidaknya dia adalah salah satu dari sedikit orang yang penuh semangat, terus berapi-api dan tidak peduli kendaraan apa yang dipakainya. Yang penting, isu literasi terus bergema di telinga para pengambil kebijakan dan para pegiat. Ia tak segan-segan menggunakan uang pribadi untuk membiayai hobinya ini. Ia berkunjung ke hampir semua pelosok negeri untuk “jualan” literasi. Ia kunjungi provinsi, kabupaten dan sekolah-sekolah untuk mengobarkan semangat membangun literasi. Khotbahnya tentang “Iqra” menyentuh para pengikut Islam untuk berliterasi. Pidatonya tentang tokoh-tokoh dunia pendidikan, seperti Farr, menyadarkan para intelektual akan pentingnya literasi. Komentarnya tentang praktik baik yang dilakukan oleh praktisi, kepala sekolah, guru dan para siswa membuat api berliterasi di akar rumput terus menyala.

Satria Dharma adalah seorang Islam militan. Ia seorang fundamentalis yang sangat intoleran terhadap pembelokan kebenaran ajaran Islam. Baginya Islam adalah “rahmatan lil alamin.” Pembawa berkah dan kedamaian bagi sekalian umat. Hal-hal yang menghalangi Islam menjadi pembawa damai akan dimusuhinya. Ia tak segan-segan menyuarakan pendapat yang berbeda dari para penganut Islam yang suka marah dan suka murka. Ia juga sangat keras kepada para politisi yang memelintir Islam untuk kepentingan politisnya. Dalam kasus pilkada DKI misalnya, ia tidak setuju dengan cara-cara politisi yang memperalat Islam untuk kepentingan pilkada DKI.

Dalam buku ini Satria Dharma secara panjang lebar menentang Hizbut Tahrir Indonesia. Baginya Hizbut Tahrir bukanlah ajaran agama. Hizbut Tahrir adalah partai politik (hal. 283). Ia menggunakan 48 halaman untuk mengulas betapa bahayanya HTI. Ia membeberkan pandangannya tentang HTI yang menurutnya tidak penting bagi Indonesia. Bahkan HTI adalah berbahaya bagi Indonesia dan Islam di Indonesia.

Kebanyakan orang berpikir bahwa setelah memasuki usia 60 adalah saatnya beristirahat. Usia 60 adalah usia pension; usia untuk meninggalkan hingar-bingar kehidupan duniawi dan mulai menyingkir untuk memikirkan sorga. Bagi Satria Dharma pendapat tersebut tidak berlaku. Usia 60 sama baiknya dengan usia 30 atau 40. Usia 60 justru harus semakin produktif. In my case, life begins at sixty, katanya. Di usia 60 semangatnya untuk menikmati hidup dengan istrinya, anak-anaknya, kariernya dan cita-citanya tak harus surut. Bahkah harus terus berkobar. Saya doakan supaya 40 tahun ke depan semangat Pak Satria Dharma dalam berliterasi dalam berdakwah tentang Islam yang rahmattan lil alamin, dalam memperjuangkan pendidikan Indonesia dan dalam membangun politik yang santun terus membara. Tentu saja saya tidak akan berdoa untuk beliau dalam hal mendapat istri baru dan anak-anak (biologis) baru.

 

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler