x

Iklan

Ranang Aji SP

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Di Bawah Titik

Cerpen surealis ini tentang manusia yang tersingkirkan akibat pertarungan zaman (modernisme)

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kutatap pria jahaman itu. Sorot matanya antara rasa takut dan kebingungan. Mungkin ia melihatku sebagai sosok malaikat maut yang hendak menjemputnya. Namun, kegelisahannya  membuatku ragu. Aku termangu. Setelah mengamatinya, kukatakan padanya agar berdoa pada siapa pun tuhannya. Tapi, ia mengabaikan kata-kataku seolah aku tak ada. Ia menatapku terus dari atas kursinya. Ada giliran, dimana perasaanku merasa kasihan. Tapi semua itu sia-sia. Ada yang kupikirkan waktu itu. Semua harus berjalan sesuai rencana. Menimbang bahwa terlalu banyak menimbang hanya akan membawaku pada persoalan yang sama saja dan melemahkanku. Perang toh sudah terlanjur dikobarkan. Pilihannya adalah membunuh atau menjadi bangkai dalam kehidupan. Dan pilihanku jelas, aku tak mau kembali dalam keadaan gagal.

Iya, aku memang punya alasan mengapa harus mengambil tugas ini. Aku sebenarnya tak punya pilihan. Tak ada pekerjaan yang bisa memberiku harapan selain membunuh. Orang tak boleh sekedar hidup di sini. Jika, jiwamu hidup di antara para pemangsa yang menciptakan surga-surga di sekitarmu, namun tak tersentuh oleh hasratmu –kau tak boleh melemah.

Di sini, aku juga punya alasan moralnya seperti halnya alasan membunuh dalam karakter film Miss Meadow. Semuanya tampak luar biasa. Kota kecil yang harmonis, para tetangga yang ramah menyapa, bahkan burung-burung yang menjadi jinak. Semua dilakukaan demi semua itu. Membunuh adalah sisi kecil yang wajar dan tak lagi mengerikan ketika harus dilakukan. Dan bukan bersoal tentang uang semata. Membunuh hanyalah sebuah kondisi moral untuk menghadirkan perdamain dan kesejahteraan dunia –seperti diyakini Machievelli dan diteruskan dengan suka cita oleh para pemimpin dunia ini. Kita menjadi terbiasa dengan kematian dimana-mana. Setidaknya, kau harus membiasakan diri untuk menerimanya. Bukankah kau ingin kedamaian? Kesejahteraan? Maka perang harus diadakan. Bagaimana kau bisa hidup damai, ketika ketidakadilan, kesenjangan dan kemiskinan yang berubah menjadi ancaman kehidupan dan melahirkan terorisme itu tidak dimatikan. Kita semua melakukannya demi keadaan. Maka kutatap pria jahanam itu yang tengah terpekur di atas kursinya, gigil dalam kekalutan. Pria ini –keadaannya yang payah saat ini, persis ketika aku dimurkai ibuku.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Aku juga selalu mengingat ibuku yang telah menua. Aku tidak sanggup menatap ibuku selama ini. Harapannya terhadap anaknya mungkin sederhana, tetapi datang padanya tanpa memberinya sesuatu, sungguh aku merasa tidak menjadi anak yang berbakti. Bagaimana aku bisa merawatnya tanpa uang sedikitpun, sementara selama ini aku hanya menjadi seperti parasit yang menyerap kerentaannya. Ibuku selalu berharap aku menjadi orang yang sukses dan bahagia. Tapi, aku selalu dikhianati oleh nasib. Harapan itu tumbuh seperti kabut dan membuatku menjadi monster dalam kehidupan normal. Membuatku berjarak dengan kerinduan dan harapan ibuku. Setelah lima tahun tak bertemu, aku hanya mendengarnya berharap aku datang mengunjunginya. Tapi, sungguh –aku tak sanggup menerima kepedihannya –menatapku prihatin dengan mata tuanya –yang aku paham, semua itu bersumber dari keadaanku. Aku rasa, aku harus datang padanya dengan sesuatu yang membuatnya bahagia. Pria tak bergerak di atas kursinya. Aku tahu ia mungkin juga mengingat ibunya sebelum mati. Jadi kubiarkan saja ia bersama pikirannya.

Sebelum bertemu pria malang tak kukenal ini, aku sempat menginap di sebuah losmen. Seorang perempuan yang kubayar untuk menemaniku beberapa jam sebelum kutemui pria ini. Perempuan itu, mungkin saja sepertiku. Memilih jalan pintas untuk kehidupannya yang putus asa. Tentu saja, ia melayaniku dengan sepenuh kepalsuan. Senyumnya, kemanjaanya, mungkin hanya didorong oleh kebutuhan. Bisa saja dikasihani, tapi tak apa juga jika tak perlu dipikirkan. Semua hanya pilihan hidup. Malam itu, kami hanya melakukan untuk sesuatu yang sepele dan menyenangkan, yang tak tandas hingga ke relung jiwa. Tapi kami saling membutuhkan. Perempuan, maksudku, di sekitarku di masa lalu, adalah luka yang tak lagi bisa kunikmati sepenuhnya seperti halnya kerinduan yang berputar dalam awang-awang dan ketidakpastian yang terus berharap. Masa-masa itu telah lewat dan menjadi sirna. Masa di mana perasaan menjadi seperti deru gelombang lautan yang berdesir terbawa badai. Di mana hujan deras menjadi paradok alam yang paling sunyi dan mencekam dalam gemuruh cinta. Atau, tiba-tiba, perasaan ditakjubkan oleh pesona bunga berwarna-warni yang kemudian muram semuram-muramnya oleh badai hati yang masgul oleh realitas yang tersadari. Bahwa cinta, aku lantas meninggalkannya, sebagai sesuatu yang tak ada. Percayalah, semua itu hanya karena ilusi kehidupan. Sesuatu yang membuat kita berharap. Membuat  kita tak berdaya dan putus asa. Seperti memasuki ceruk jurang curam sebagaimana halnya tamasya yang menyengsarakan. Mereka –para pria dan wanita, tentu saja, saling khianat atas nama cinta yang menjadi rumit didefinisikan.

Di zaman ini, aku terbiasa melihat dan merasakan orang mengabaikan cinta yang semurni-murninya. Orang hidup dalam hasutan kebutuhan yang tiba-tiba, seperti sihir yang mengubah keadaan biasa menjadi luar biasa. Sesuatu yang tak dibutuhkan, tiba-tiba secara ajaib harus menjadi kebutuhan. Orang-orang lantas menjadi ringkih, rapuh. Mereka dibayangi rasa takut yang sangat akan sesuatu yang tak mendasar. Cinta, akhirnya, serupa komoditi semata. Kau harus selalu siap menikmati kepura-puraan itu. Di zaman ini, jangan berani-berani kau menjadi miskin, karena kemiskinan membuatmu tak dicintai. Hidupku, kau tahu, mengalami semua itu. Aku meninggalkan semua itu –berlari di antara kekosongan padang pasir kehidupan. Menuju sesuatu dari kebebasan yang dibelenggu kepalsuan.

Aku menatap pria malang itu. Mencermati dengan seksama setiap detail wajahnya yang berkeringat dan pucat. Mencoba melihatnya dari cahayanya yang gelap. Mungkin ia memang jahanam yang sepantasnya dilenyapkan. Apa ruginya bagi dunia ini bila ia mati, toh setiap hari manusia selalu mati. Jika ia mati, ia akan lenyap dan dilupakan seperti manusia-manusia yang lain. Rasa suka atau duka tak pernah menjadi abadi. Keluarganya, anak-istrinya, akan segera melupakannya. Waktu selalu membawa badai persoalan yang membuat kita semua lupa akan kedukaan atau kesukaan. Tumpang tindih antara suka dan duka, cinta dan kebencian, tuntutan hidup keseharian, rasa lapar dan kepenuhan. Hasrat manusia selalu memikirkan dirinya sendiri. Waktu adalah samudra yang bergelombang dan membuat kita harus memilih mana yang harus dikenang. Ia, pria yang mungkin jahanam ini, tak sepantasnya ditangisi oleh siapapun juga. Tapi, di sini, aku hanya memandanginya dari cahayanya yang muram. Ketegangan ini membuatku gerah dan nelangsa.

Kulihat ia menyalakan sebatang rokok tanpa izinku. Asapnya mengepul dari mulut tengiknya, menari-nari dalam ruangan, seperti ritual untuk menguatkan para pahlawan yang hendak maju berperang. Sesaat, kulihat tubuhnya beringsut. Suaranya terdengar bergetar. Katanya, tak seharusnya aku mengejarnya. Aku mendengarkan saja apa yang ia ocehkan.

Di ruangan itu hanya ada perabot yang seadanya. Sebuah kursi yang ia duduki, satu meja berdebu dan satu kursi yang tersungkur dibalut cahaya kelabu. Ia tampak sekali gelisah dan menghisap rokoknya dengan tangan gemetar.

“Aku benci membunuh,” katanya kemudian. Suaranya sunyi tapi bergema dalam ruangan. Mahluk malang ini mungkin ketakutan. Ia memandangku dengan perasaan yang campur aduk dan itu membuatku merasa muak dan ingin tertawa. Ia seharusnya target yang harus aku tamatkan. Tapi sulit sekali rasanya bergerak dan aku hanya menatapnya seolah teman lama yang tengah mengobrol.

“Tak seharusnya kamu mengejarku, “ ulangnya kemudian. Aku katakan padanya semua sudah menjadi tugasku dan tak ada yang bisa melarangku. Tapi ia tak peduli. Ia abaikan semua kata-kataku. Dan justru mulai bicara panjang lebar dan mengacuhkanku. Ia menyebut-nyebut nama-nama yang tak kukenal sebelumnya. Bercerita masa lalunya, masa depannya yang berantakan dan keluarganya yang ia impikan –yang kemudian kuketahui ia memiliki seorang putri usia lima tahun. Aku termangu. Mulai sadar, ia bukan sejahanam pikirku. Ia masih punya rasa kasih sayang. Menurut informasi yang kudapatkan, ia durjana yang lari dari tugas yang diberikan dan membawa sejumlah uang milik bosnya –yang saat ini menjadi bosku.

“Aku hanya ingin kembali pada putriku, “ suaranya seperti menghiba. Wajahnya melihatku dengan tatapan sedih dan tangannya membuang putung rokoknya. Tepat di samping kakiku. Lalu, pria itu berdiri. Agak sempoyongan. Menghela nafas berat dan sekali lagi memperhatikanku. Suaranya bergema ketika ia mengatakan, “aku tak ingin membunuhmu. Tapi kau memaksaku.” Aku tertegun. Menyadari sesuatu atas diriku sendiri dan memandangnya dalam tirai kabut. Sejenak kemudian ia beranjak pergi, membuka pintu dan menghilang. Aku mencoba beranjak, tapi tubuhku seperti tertahan dalam dekapan cahaya yang tiba-tiba merenggutku –menjauhkanku dari jasadku yang tergolek berdarah di antara kursi yang tersungkur. Aku mencoba memberontak tapi sia-sia. Aku diseret oleh sesuatu yang tak terlihat dan semakin menjauhkan dari kehidupan. Dalam keadaan tak berdaya, aku hanya mengingat ibuku yang menua dan pasti merindukanku.[]

 [Diterbitkan pertama oleh Pikiran Rakyat]

Ikuti tulisan menarik Ranang Aji SP lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB