x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jejak Kedokteran Muslim yang tak Terpungkiri

Pengakuan terhadap kontribusi sarjana Muslim di ranah kedokteran semakin kukuh dengan terbitnya buku baru: 1001 Cures.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Ibn Sina adalah satu tonggak di antara sejarah perkembangan ilmu kedokteran di sepanjang apa yang disebut sebagai ‘kemajuan peradaban Muslim’. Terdapat nama-nama lain yang ikut memberi kontribusi penting terhadap ilmu kedokteran pada masa itu, yang kelak kemudian meninggalkan jejaknya di Eropa selama beberapa abad.

Pengakuan terhadap kontribusi para ilmuwan dan sarjana Muslim di ranah kedokteran semakin kukuh dengan terbitnya buku baru: 1001 Cures: Contributions in Medicine and Healthcare from Muslim Civilisation (penerbit Foundation for Science, Technology, and Civilisation). Karya yang disunting Peter E. Pormann ini memuat tulisan 13 orang dokter dan sejarawan sains masa sekarang, yang memberi penilaian relatif obyektif mengenai kontribusi peradaban Muslim terhadap kedokteran dan perawatan kesehatan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Momen penerbitan buku ini sungguh tepat, sebab belum lama ini dunia internasional merayakan sains Hasan ibn al-Haytham—seorang fisikawan Muslim abad ke-11 Masehi yang menguasai optika dan perintis serta penganjur metode eksperimentasi. Para ilmuwan dalam bidang-bidang tertentu serta sejarawan sains di dunia Barat semakin menyadari bahwa kontribusi ilmuwan Muslim pada masa kejayaan mereka tidak dapat dipungkiri. Kontribusi mereka penting untuk diakui sebagai fakta sejarah yang tak lagi dapat diabaikan.

Buku suntingan Pormann ini secara umum menyingkapkan kisah generasi demi generasi dokter dari berbagai negara Muslim masa itu dalam menciptakan tradisi medis yang diakui baik oleh kawan maupun lawan. Pengetahuan maupun pengalaman praktis para dokter Muslim ini kelak memengaruhi perkembangan dunia kedokteran Timur dan Barat di masa-masa kemudian.

Bermula dari aktivitas penerjemahan karya-karya Yunani, serta menarik warisan pengetahuan dari peradaban Mesir, Persia, India, maupun Cina, para sarjana kedokteran Muslim kemudian membangun orisinalitasnya sendiri. Mereka menulis kritik terhadap pengetahuan sebelumnya, mengambil yang bermanfaat, dan berinovasi dalam banyak praktik medis, seperti bedah, ginekologi, pediatrik, serta farmakologi—untuk menyebut beberapa.

Kelak, pengetahuan dan pengalaman praktis mereka yang tumbuh menjadi tradisi ini bertindak sebagai fondasi bagi sekolah-sekolah kedokteran di Eropa abad pertengahan dan periode awal modern. Al-Qanun fi al-Tibb (The Canon of Medicine), karya ibn Sina, diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12 Masehi dan digunakan sebagai rujukan di universitas Eropa hingga akhir abad ke-17 Masehi. Dampak pengetahuan yang dikembangkan para dokter Muslim ini masih terasa hingga kini.

Judul buku 1001 Cures ini mengingatkan pada cerita 1001 Malam, yang merujuk pada masa kekhalifahan Harun al-Rasyid, sosok yang dianggap patron bagi perkembangan seni, matematika, maupun sains pada masa itu. Figur ini mewakili semangat masyarakat pada zamannya yang memandang seni dan sains dapat berjalan beriringan dengan spiritualitas, bahkan menjadi fondasi bagi kemajuan masyarakat. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler