x

Iklan

Nizwar Syafaat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Neraca Pembayaran dan Eksistensi NKRI

Defisit neraca pembayaran mampu mengguncang pilar NKRI seperti kasus krisis 1998

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dua komponen penting neraca pembayaran yang mampu mengungcang pilar NKRI adalah transaksi berjalan (current account)  dan transaksi capital (capital account).  Neraca transaksi berjalan mencakup transaksi barang, jasa, pendapatan faktor produksi (dari aset dan tenaga kerja), dan juga transfer uang. Apbila sebuah negara mencatat defisit transaksi berjalan ini berarti negara ini menjadi peminjam neto dari negara-negara lain di dunia dan karenanya membutuhkan modal atau aliran finansial (capital atau financial inflows) untuk membiayai defisit transaksi berjalan tersebut.       

Transaksi modal dan finansial keluar (outflows) dan  masuk (inflows) suatu negara disebut dengan transaksi modal dan finansial atau cukup disebut  transaksi capital (capital account).

Menurut International Monetary Fund (IMF) bahwa defisit transaksi berjalan sebesar 1,5% dari PDB adalah normal untuk Indonesia. Meskipun begitu, walaupun defisit dapat menjadi suatu kenormalan, defisit ini tetap menyebabkan tumpukan liabilitas neto pada luar negeri dan hal ini mungkin memperbesar risiko krisis ekonomi seiring dengan waktu.  Suatu negara yang dibebani defisit transaksi berjalan sangat rentan pada capital outflows pada masa-masa guncangan perekonomian.  Saat ini Indonesia mengalami defisit transaksi berjalan lebih dari 1.5% dari PDB dan memburuk lima tahun terakhir termasuk tiga tahun pemerintahan Jokowi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tiga  tahun sebelum krisis 1998, defisit  transaksi berjalan mengalami peningkatan.  Pada tahun 1994 sebesar minis US$ 2.960 million, meningkat menjadi minus US$ 6.760 million lalu meningkat lagi menjadi minus US$ 7.801 million dan sedikit turun pada tahun 1997 menjadi minus US$ 5.001 million.    Sebaliknya  modal masuk (capital inflows) untuk investasi langsung maupun tidak langsung jangka pendek mengalami peningkatan. Pada tahun 1994 sebesar positif  US$ 3.701 million, meningkat menjadi positif US$ 10.252 million lalu meningkat lagi menjadi positif US$ 11.511 million dan pada tahun 1997  terjadi modal keluar (capital outflows) hanya sebesar minus US$ 338 million. 

Pada saat terjadi krisis 1998, terjadi penarikan besar-besaran modal ke luar negeri (capital outflows) sebesar minus  US$ 13.846 million yang mengakibatkan pemerintah tidak mampu menutup capital outflow tersebut walaupun pemerintrah telah mendatangkan modal dengan menarik utang luar negeri sebagi capital inflows sebesar positif US$ 9.971 million, sehingga neraca pembayaran  mengalami minus US$ 3.875 million.  Akhirnya NKRI tunduk kepada IMF dan IMF mendikte kita.  NKRI tidak berdaya.

Ada gejala sebelum krisis 1998, terjadinya capital inflows sangat besar sehingga membuat kita percaya diri terhadap kondisi perekonomian nasional karena kepercayaan pemodal asing kepada kita makin meningkat, walaupun defisit transaksi berjalan terus meningkat.  Ketika terjadi gejolak sosial akibat ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah saat ini, maka mereka menarik modalnya besar-besaran sehingga Indonesia mengalami krisis neraca pembayaran.  Nampaknya gejala seperti ini muncul lagi era Jokowi.

Selama 1981-2017 kondisi transaksi berjalan terus memburuk utamanya pada 2 tahun akhir pemerintahan SBY dan tiga tahun pemerintahan Jokowi.  Pada tahun 2015 transaksi berjalan defisit minus US$ 17.519 dan transaksi capital dan finansial positif US$ 16.950.  Pada tahun 2016 transaksi berjalan defisit minus US$ 16.952 billion dan transaksi capital mencapai US$ 29.305 billion.  Pada tahun 2017 transaksi berjalan defisit minus US$ 17.3 billion dan transaksi capital mencapai US$ 29.880 billion.

Peningkatan  transaksi modal dan finansial selama 3 tahun terakhir pemerintahan Jokowi selalu didengungkan sebagai manifestasi kepercayaan pemodal asing harus diwaspadai, karena capital inflows tersebut sebagian besar didominasi oleh investasi jangka pendek surat berharga (SUN, SPN dan Sukuk) dan juga Sukuk global dan merupakan hot money  yang sewaktu-waktu dapat ditarik ke luar Indonesia.  Dengan demikian, kondisi transaksi pembayaran kita rentan terhadap krisis ekonomi apabila ada gunjangan sedikit baik di dalam negeri maupun di luar negeri.  Ekonomi internasional Indonesia ada pada genggaman pemodal asing yang sewaktu-waktu mampu mengguncang pilar NKRI.

Untuk memperkecil defisit transaksi berjalan, maka pemerintah sebaiknya segera meninggalkan APBN defisit karena tidak ada bukti bahwa APBN defisit mampu memperbaiki kondisi ekonomi dalam negeri, sekaligus akan mampu memperbaiki kondisi transaksi berjalan; dan pemerintah perlu melakukan penyesuaian akselerasi pembangunan dengan kemampuan kapasitas produksi dalam negeri untuk mengerem impor barang dan capital sehingga hal tersebut juga mampu memperbaiki transaksi berjalan. Kita menjaga pilar NKRI agar tetap tegak berdiri dalam kondisi ekonomi internasional yang demikian.

Nizwar Syafaat, Ekonom pengamat Kebijakan Publik

Ikuti tulisan menarik Nizwar Syafaat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

28 menit lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB