x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Cik Hwa

Kumpulan Cerpen dengan tokoh-tokoh yang tidak sempurna.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Cik Hwa

Penulis: Gunawan Budi Susanto

Tahun Terbit: 2018

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Cipta Prima Nusantara dan OPSJ

Tebal: xii + 171

ISBN: 978-602-6589-24-8

 

Kehadiran kumpulan cerpen berjudul “Cik Hwa” ini adalah seperti hujan di musim kemarau panjang dalam khasanah sastra Jawa. Sastra Jawa yang mulai merana beberapa tahun terakhir ini seperti kembali bersemi. Memang beberapa surat khabar masih memuat cerpen berbahasa Jawa, seperti Solo Pos yang terbit di Solo. Namun tidak banyak lagi yang mampu menulis karya sastra dalam Bahasa Jawa. Setelah Suparto Brata berpulang, kita seperti kehilangan orang yang secara serius dan konsisten menulis sastra dalam Bahasa Jawa. Memang masih ada beberapa penulis seperti Suwignyo Adi yang terus berkarya. Namun jumlahnya memang tidak banyak. Berkurangnya karya sastra dalam Bahasa Jawa juga disebabkan menurunnya para pembaca karya sastra dalam Bahasa Jawa. Bahasa Jawa sekarang ini tinggal menjadi Bahasa cakap sehari-hari. Tidak banyak yang masih membaca dan menulis dalam Bahasa Jawa; meski menggunakan tulisan latin sekalipun.

Gunawan Budi Susanto bukanlah seorang penulis yang mengkhususkan dirinya berkarya dengan Bahasa Jawa. Setahu saya, buku kumpulan cerita pendek “Cik Hwa” ini adalah buku pertamanya yang ditulis dalam Bahasa Jawa. Buku-buku sebelumnya ditulis dalam Bahasa Indonesia. Gunawan Budi Susanto adalah seorang cerpenis yang produktif. Setidaknya ia telah menulis 4 buku yang kebanyakan adalah berisi cerita pendek.

Tak beda dengan cerpen-cerpen sebelumnya, Gunawan Budi Susanto melontarkan kritik yang sangat tajam tentang tragedi kemanusiaan yang tercipta karena peran negara. Kisah tentang tergusurnya rakyat kecil karena pembangunan, kesewenang-wenangan pejabat, dan pejabat yang memperkaya diri atas nama pembangunan menjadi tema dalam cerpen-cerpen Gunawan Budi Susanto. Kisah pembangunan pabrik semen di Rembang yang dianggapnya memperkosa rakyat kecil dan lingkungan tidak luput dari pokok cerita yang ditulisnya.

Tokoh-tokoh yang rekaan Gunawan Budi Susanto bukanlah tokoh-tokoh orang baik atau orang sempurna. Tokoh-tokoh yang mengisi kisah-kisahnya adalah orang-orang biasa. Bahkan sering ia menggunakan tokoh yang “kurang baik secara sosial.” Tokoh Lek Nar yang suka omong jorok misalnya. Tokoh dalam cerpen “Tembang Saka Sor Andha” ini meski suka omong jorok namun jujur dalam mengungkapkan kondisi wong cilik yang terlindas. Tokoh lain adalah Warsi, seorang gila yang hamil. Dalam cerpen “Tangis Bayi Tengah Wengi” ini Gunawa Budi Susanto mengungkapkan betapa beratnya menjadi rakyat kecil yang sampai gila karena tidak berani melawan penguasa yang semena-mena. Masih ada tokoh-tokoh seperti Murdani dan Sukron yang juga orang-orang “cacat” secara sosial dalam cerpen lainnya.

Pemilihan tokoh-tokoh yang tidak sempurna secara sosial ini justru menjadi kekuatan cerpen-cerpennya. Tidak ada hitam putih dalam dunia ini. Tidak perlu menjadi orang baik untuk bisa membuat perubahan. Tokoh seperti Murdani yang menjadi calo tanah toh bisa bertobat dan akhirnya berperan dalam melawan kesewenang-wenangan.

Dalam kumpulan cerpen ini, selain dari kisah-kisah yang menyangkut masalah orang kecil yang tersisihkan, Gunawan Budi Susanto juga berkisah tentang asmara. Meski beberapa cerpennya berkisah tentang asmara, Gunawan Budi Susanto berhasil memasukkan nilai-nilai kemanusiaan. Cerpen Cik Hwa yang dijadikannya sebagai judul buku misalnya. Cerpen ini berkisah tentang seorang perempuan tionghoa yang karena ketionghoaannya dan penyakit yang diderita oleh orangtuanya menjadi terancam tidak memiliki jodoh. Melalui cinta tulus seorang pemuda Jawa akhirnya Cik Hwa bisa berbahagia menjadi seorang istri. Cinta tulus yang membawa kebahagiaan, meski berbeda suku, berbeda agama dan beda budaya.

Biasanya karya sastra dalam Bahasa Jawa ditulis dalam Bahasa Jawa versi Mataraman yang dianggap paling halus dan paling sempurna. Gunawan Budi Susanto memilih Bahasa Jawa versi Blora yang dianggap kasar bagi mereka yang masih menekuni Bahasa Jawa. Namun pemilihan Bahasa Jawa versi Blora ini justru menjadi kekuatan dalam cerpen-cerpennya. Sebab dengan Bahasa Jawa yang dekat dengan tema-tema yang ditulisnya membuat kisahnya menjadi lebih kuat. Diksi yang diisi kata-kata  lokal Blora membuat penokohan dan pengisahan menjadi sangat tajam.

Semoga Gunawan Budi Susanto terus menulis dalam Bahasa jawa. Semoga banyak sastrawan Jawa Tengah yang mau menekuni menulis dalam Bahasa Jawa. Semoga ada penerus swargi Suparto Brata.

 

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler