x

Iklan

Nizwar Syafaat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

PUJIAN IMF, Fakta atau Ilusi?

Pujian IMF suatu ilusi karena tidak berdasarkan fakta.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bos IMF Christine Lagarde dalam peluncuran Global Policy Agenda 2018  “menilai bahwa Indonesia memiliki prospek cerah terkait potensi pertumbuhan ekonomi ke depan.  Kami melihat Indonesia sebagai negara yang jauh lebih baik dari sekarang.  Indikatornya level pertumbuhan ekonomi yang masih cukup tinggi ( bisa di atas 5%) dibanding dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia”, selanjutnya dia terkesan dengan kebijakan Jokowi yang berhasil memangkas subsidi energi dan mengalihkan kepada infrastruktur dan bidang kesehatan.

          Christine tidak merinci potensi sumber pertumbuhan apa yang dimiliki Indonesia untuk berkembang ke depan? Mari kita jelaskan dengan fakta pujian IMF tersebut sebagai berikut.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

IMF Pro Liberasasi Perdagangan dan Pertumbuhan tapi Kontra Subsidi  

Lembaga internasional seperti IMF, World Bank, WTO dan lainnya adalah lembaga yang ingin mewujudkan liberalisasi perdagangan barang dan jasa untuk melanggengkan hegemoni negara super power seperti Amerika Serikat dalam perdagangan dunia.  Agar liberalisasi perdagangan dunia terwujud, maka semua negara harus meninggalkan atau menghapus  hambatan perdagangan seperti tarif (seperti pajak ekspor-impor) dan non-tarif (seperti subsidi) perdagangan. IMF tugasnya mengidukasi negara-negara di dunia seperti Indonesia agar melakukan penghapusan hambatan perdagangan tarif dan non tarif demi kesejahteraan penduduk bumi. 

Untuk mendorong perdagangan dunia maka perlu pertumbuhan ekonomi. Setiap negara berkembng seperti Indonesia didorong pertumbuhan ekonominya.  Kalau negara tidak cukup dana, disuruh berutang melalui kebijakan APBN defisit yang dibiayai utang.  IMF salah satu kreditornya. 

Dengan demikian IMF memuji pemerintahan saat ini adakah wajar  karena Jokowi mampu menghapus subsidi energi, dan digitalisasi perizinan usaha serta menciptakan utang untuk pertumbuhan ekonominya.  Jokowi adalah satu satunya presiden setelah era reformasi yang menciptakan utang untuk meningkatkan pengeluaran APBN-nya.  Dua tahun terakhir pemerintahan SBY melakukan hal yang sama tapi rata-rata keseimbangan primer selama 10 tahun masih positif Rp 0.7 Trilliun.  Inilah dasar kenapa IMF memuji pemerintahan Indonesia saat ini!!!!

 

IMF menggoyang pilar NKRI

          Prinsipnya IMF tidak ingin suatu negara maju tanpa kendali IMF.  Bagaimana krisis 1998 memaksa NKRI tekuk lutut kepada IMF.  Contoh IMF tidak mau Habibi maju, IPTN dihancurkan. Kalau Habibi maju bahaya karena Indonesia berpotensi menjadi negara berbasis tekonologi tinggi bisa bersaing dengan negara super power.

          Semua presiden Indonesia yang tidak tunduk pada negera super power akhirnya hancur.  Soekarno dan Soeharto contoh jelas.  Habibi, Gusdur, Megawati dan SBY merupakan presiden yang tidak mau disetir IMF tapi mereka mau bekerjasama untuk kepentingan bangsa.  Subsidi energi tidak dicabut oleh SBY demi rakyat kecil yang harus dilindungi dari persaingan pasar domestik, walaupun sadar subsidi juga dinikmati oleh rakyat kebanyakan.  Oleh karena itu jarang IMF memuji-muji berlebihan kepada mereka.  

           

Fakta Pujian IMF Ilusi

Yang layak memberikan penilaian tentang ekonomi Indonesia adalah ekonom lokal yang keluar masuk wilayah pedesaan yang tahu tentang dampak kebijakan pemerintah kepada sebagian besar rakyat Indonesia.  Ekonom-ekonom IMF hanya tahunya garis besarnya aja seperti pertumbuhan ekonmi tapi mereka tidak mau tahu siapa yang menikmati pertumbuhan tersebut.  IFM tidak peduli dengan ketimpangan karena prinsip IFM persaingan, siapa yang kuat itulah yang berhak atas kemenangan.

Rata-rata pertumbuhan ekonomi per tahun era Megawati 4.51%, era SBY 5.74% dan era Jokowi 4.98%. Keseimbangan primer  era Megawati mengalami surplus Rp 45 T per tahun, era SBY tujuh tahun surplus dan tiga tahun terakhir defisit dengan rata-rata surplus Rp 0.7T per tahun, sedangkan era Jokowi tiga tahun terakhir defisit dengan rata-rata minus Rp 132T . Rata-rata defisit anggaran per tahun  era Megawati Rp 31T, era SBY Rp 91T dan era Jokowi Rp 318T. Mana kinerja ekonomi 3 tahun terakhir pemerintahn Jokowi yang dipuji oleh IMF lebih baik dari sebelumnya?

Selama tiga tahun pemerintahan Jokowi, nilai indek gini mengalami penurunan tapi tidak signikan dari 0.408 menjadi 0.393 (BPS).  Data lain menunjukkan bahwa selama periode yang sama telah terjai peningkatan kekayaan secara signifikan  40 orang terkaya di Indonesia meningkat dari Rp 1.127 trilliun (US$ 86.760) menjadi Rp 1.616 trilliun (US$ 119.720) atau meningkat Rp 163 Trilliun per tahun (forbes).  Berdasarkan dua fakta tersebut, saya menyimpulkan bahwa kebijakan ekonomi selama tiga tahun pemerintahan Jokowi menghasilkan ketimpangan yang stagnan. 

Terjadinya penurunan angka kemiskinan selama periode yang sama lebih banyak disebabkan oleh bantuan sosial dan hasil pengentaskan penduduk miskin tidak bersifat permanen.  Jumlah penduduk miskin selama periode tersebut berfluktuatif.  September 2014 sebanyak 27.73 juta naik pada Maret 2015 menjadi 28.59 juta lalu  turun pada September 2015 menjadi 28.51 juta, turun lagi pada Maret 2016 menjadi 28.01 juta dan turun lagi pada September 2016 menjadi 27.76 juta lalu  naik lagi pada Maret 2017 menjadi 27.77 juta dan turun lagi pada September 2017 menjadi 26,56 juta.  Penurunan jumlah penduduk miskin yang tidak stabil menunjukkan bahwa persoalan kemiskinan bukan terletak pada bantuan sosial tapi ada pada struktur ketimpangan ekonomi yang belum mampu diturunkan oleh pemerintah.  Mana fakta pujian IMF?

 

Resiko Tunduk Saran IMF yang Perlu di waspadai !!!

Prinsip IMF tidak mau tahu bagaimana pembagian PDB antar kelompok lapisan masyarakat, yang penting bagi IMF PDB nya bisa naik terus dab besar.  Oleh karena itu IMF mendorong bahwa yang dibanggakan adalah PDB.  Kita bangga bahwa PDB kita masuk G20 tembus  US$ 1 trilliun,  Tapi itu kan tidak bermakna bagi sebagian besar rakyat Indonesia.  Justru suara kebanggaan itu membuat mereka lebih merintih. 

Pendapatan rata-rata penduduk Indonesia tahun 2016 sebesar Rp 47.96 juta jauh di atas garis kemiskinan sebesar Rp 4.6 juta (BPS, 2017).  Kalau kita mau jujur dengan total pendapatan nasional yang demikian besar mencapai Rp12.406,8 trilliun, seharusnya tidak ada masyarakat miskin lagi di Indonesia. Tetapi mengapa dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp 47.96 juta per kapita per tahun masih ada penduduk miskin sebanyak 26.58 juta orang? Itu terjadi karena ada lapisan masyarakat kelas atas memperoleh kue pendapatan nasional terlalu besar, sedangkan masyarakat bawah mendapatkan kue pendapatan nasional sangat sangat kecil.  Ketimpangan ekonomi tersebut yang menyebabkan rakyat miskin.  Dan penyelesaiannya melalui kebijakan pemerintah.  Pertumbuhan yang terlalu akselaratif justru membuat mereka lebih merana karena mereka tidak mampu bersaing.

Apabila pemerintah tetap tunduk pada saran IMF ada resiko yang perlu diwaspadai pemerintah agar eskalasinya tidak meningkat yaitu : oligarki dan ketimpangan ekonomi dalam negeri serta neraca pembayaran dan komponennya dalam pengaruh ekonomi global.  Ketiga faktor tersebut apabila tidak mampu dikelola dengan baik oleh pemerintah, maka bukan tidak mungkin krisis 1998 bisa terulang lagi.

Kondisi sosial ekonomi sebelum krisis 1998 tidak serumit kondisi sosial ekonomi saat ini.  Kondisi sosial ekonomi saat ini memerlukan pengelolaan yang ekstra hati-hati agar tidak menimbulkan gejolak sosial. 

Pemantik utama meletupnya gejolak sosial masyarakat di dalam negeri adalah terjadinya oligarki ekonomi yang akan mempertajam ketimpangan ekonomi.  Hasil studi Megawati Institute (2017) menunjukkan bahwa oligarki ekonomi dengan nilai MPI (Material Power Indeks) mencapai 585 ribu memperkuat cengkraman pengusaha konglomerat terhadap penguasaan  ekonomi domestik sekaligus akan menyulitkan pemerintah dalam mengendalikan ekonomi negara. 

Kondisi ini berdampak pada lambannya perbaikan ketimpangan ekonomi karena oligarki memiliki kemampuan yang luar bisanya dalam memanfaatkan skala ekonomi untuk meningkatkan efisiensi sehingga mereka sebagai pengendali harga, menghambat munculnya bisnisman baru, menciptakan persaingan tidak sehat dan menghambat pertumbuhan ekonomi, pada akhirnya akan menciptakan instabilitas sosial ekonomi politik dan Keamanan.

Oligarki merupakan akar permasalahan bangsa saat ini yang menghambat perbaikan ketimpangan ekonomi.    Ketimpangan ekonomi tersebut akan menciptakan kemiskinan struktural yang akan mendorong gejolak sosial masyarakat.  Juga ketimpangan ekonomi menyebabkan penurunan kapasitas penerimaan negara dan  penurunan pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan setiap upaya perbaikan ekonomi melalui APBN defisit hasilnya tidak maksimal. Oligarki ekonomi dan ketimpangan ekonomi  sebagai pemantik ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan, dan kemungkinan berujung pada gejolak sosial yang mengarah pada terulangnya krisis 1998.

Neraca transaksi berjalan kita mengalami defisit dan eskalasinya terus meningkat dan sekitar lebih 50% dana investasi asing  didominasi oleh investasi jangka pendek surat berharga (SUN, SPN dan Sukuk) dan juga Sukuk global dan merupakan hot money  yang sewaktu-waktu dapat ditarik ke luar Indonesia.  Dengan demikian, kondisi transaksi pembayaran kita rentan terhadap krisis ekonomi apabila ada guncangan ekonomi sedikit baik di dalam negeri maupun di luar negeri.  Ekonomi internasional Indonesia dalam genggaman pemodal asing yang sewaktu-waktu mampu mengguncang pilar NKRI.

Kalau ekonomi domestik dalam cengkraman para konglomerat dan ekonomi internasional dalam  genggaman pemodal asing, lalu dimana pemerintah mengendalikan ekonomi nasional? Kalau kendali ekonomi dikaitkan dengan ketimpangan ekonomi saat ini yang akan menjadi pemantik ketidakpuasan masyarakat, maka kondisi inililah yang sebenarnya  akan mengamcam keutuhan NKRI.  Saya Pancasila, masihkah ruh Pancasila ada dalam raganya, masihkah Pancasila mampu mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia?  Utang kita ke IMF jauh lebih kecil dari utang kepada rakyat, tapi kenapa kita lebih mendengar IMF?.  Apakah ekonom IMF lebih tahu tentang ekonomi Indonesia dibanding ekonom lokal?

 

Ikuti tulisan menarik Nizwar Syafaat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler