x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menggoreskan Gagasan di Kedai Kopi

Di kedai kopi, beragam manusia bertemu, ngobrol, dan menuangkan gagasan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Saat berada di sebuah kedai kopi, apa yang kamu lakukan selain memesan secangkir kopi dan 1-2 kudapan? Bila kita buka tipe orang yang cuek pada dunia sekitar, kita mungkin saja dihampiri rasa was-was terlihat oleh orang lain bengong tanpa tujuan (padahal orang lain belum tentu memperhatikan atau mereka sekedar mengedarkan mata ke sekeliling). Namun, kitapun ingin terlihat sibuk: memeriksa layar telepon, chatting di WA, memasang status terbaru di instagram, merespon kabar lewat Line, atau nge-twit—yah, mumpung bisa ngakses wi-fi.

Bagi sebagian orang, dua jam untuk secangkir kopi barangkali terlampau lama. Mungkin benar, jika ia tak ada teman ngobrol. Bagi banyak penulis, justru tanpa teman ngobrol, ia bisa jadi produktif: membuat outline tulisan, kerangka, membuat sketsa, atau bahkan menulis sebuah kolom. Secangkir kopi dan kudapan cukuplah untuk mendapat tiket duduk di sudut kedai dan membuka layar laptop.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejak lama, kedai kopi menjadi area yang menawarkan aura tersendiri yang, katakanlah, dapat menstimulasi daya kreatif sebagian orang, penulis di antaranya. J.K Rowling, pencipta dongeng Harry Potter, mengingat pesona kedai semacam itu: “Ketika mengunjungi sebuah kafe dengan membawa notebook, ide pun mulai mengembara.” Di Elephant House, sebuah kedai kopi di Edinburgh, Rowling merajut mimpi-mimpinya yang kelak membawanya kepada kemashuran dan kemakmuran.

Secangkir kopi panas, dalam hemat saya, memang menguarkan sejenis stimulan aneh sejak kita mencium aromanya yang khas. Kehangatannya sanggup mengusir kegelisahan. Bila kita ngobrol dengan teman-teman, kopi menghidupkan suasana. Kehangatannya menyesap ke dada. Penulis memang kerap memerlukan kesendirian, tapi sedikit keramaian di kedai kopi tidaklah menimbulkan gangguan yang mengalihkan perhatian.

Barangkali itulah sebagian alasan Ernest Hemingway untuk sering bertandang ke Cafe La Rotonde ketika menetap di Paris. Di sini, penulis novel Lelaki Tua dan Laut ini senang bersua dengan Gertrude Stein, Francis Scott Fitzgerald, maupun T.S. Eliot—orang-orang Amerika dan Inggris ini menyukai suasana Paris. Di kedai ini pula, Hemingway memperoleh ide untuk menulis The Sun Also Rises. Kedai lain di Paris yang menjadi favorit penulis ialah St. German-des-Pres. Penyair Arthur Rimbaud maupun sosok-sosok mashur setelahnya, seperti Andre Gide, Picasso, maupun Jean Paul Sartre dan Simone de Beauvoir menyukai kedai ini.

Aroma kopi memang sanggup memantik keluarnya ide-ide. Bukan hanya indera penciuman dan rasa yang terstimulasi, tapi juga kepekaan kreatif. Di kedai Karnak, Mesir, penulis Naguib Mahfouz terbiasa menikmati kopi hangat. Minum kopi menjadi rutinitas yang menyertai ikhtiarnya menangkap kegelisahan, kecemasan, ketidakpastian, dan disilusi yang menyertai transisi politik dan revolusi di negeri tepi Sungai Nil itu.

Revolusi Mesir tahun 1952 baru saja terjadi, dan mulai memakan anaknya sendiri. Mahfouz meminjam sosok narator tak bernama untuk mengeksplorasi kisah dua aktivitas, penahanan mereka dan penyiksaan yang mereka alami setelah revolusi pecah. Kompleksitas situasi Mesir ketika itu, seusai penggulingan Raja Farouk, menginspirasi Mahfouz dalam menulis karya mashurnya, Trilogi Kairo.

St. Petersburg adalah kota yang menawan Fyodor Dostoevsky, yang datang ke kota ini mula-mula untuk belajar teknik militer, tapi kemudian hatinya terpikat oleh sastra. Setelah melewati periode pengasingan di Siberia karena aktivitas revolusioner, Dostoevsky kembali ke St. Peterberg. Ia banyak menghabiskan waktu di Kafe Literaturnoe untuk menulis dan melahirkan sejumlah karya, di antaranya Crime and Punishment dan The Brothers Karamazov. Dostoevsky meninggal dan dikuburkan di kota ini, 1881. Di bawah kafe ini terdapat ruang bawah tanah yang kabarnya di dalamnya tersimpan mesin ketik Dostoevsky.

Bagi Franz Kafka, kultur kedai kopi Praha—ibukota Ceko sekarang—merupakan unsur penting bagi kehidupannya, juga tempat mengail ilham untuk tulisan-tulisannya. Kafka kerap mengunjungi kedai Montmartre. Karater dalam novel dan cerita pendek Kafka seringkali peminum kopi. Meski begitu, Kafka diketahui bukan penyuka kopi. Bagai mensugesti, Kafka kerap menanamkan ke dalam benak pembacanya rasa gelisah karena meminum kopi, satu cangkir sekalipun—baginya—sudah terlampau banyak.

Di kedai-kedai kopi, momen-momen literer dikail dan dituangkan ke dalam tulisan. Para penulis berbagi kisah, mengail ide, membangun cerita, dan tentu saja makan dan minum. Tapi kini, di kedai-kedai kopi, barang-barang elektronik bisa menjadi pengalih perhatian yang menguapkan pertukaran gagasan. (sumber foto: pexels.com) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler