x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Relasi Kuasa dalam Penerjemahan

Kegelisahan psikologis mendorong sarjana Barat di masa Renaisans untuk menghapus jejak nama ilmuwan Muslim dari sejarah ilmu pengetahuan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Mengapa saat ini hanya sebagian kecil sarjana Barat yang mengenal ilmuwan Muslim seperti Hasan ibn al-Haytham dan Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi—untuk menyebut dua nama di antara sekian banyak sarjana dan ilmuwan dari masa keemasan ilmu pengetahuan Muslim? Bukankah ibn al-Haytham yang dengan tegas menyanggah pandangan Aristotel bahwa mata manusia memancarkan cahaya dan karena itu mampu melihat benda-benda. Bukankah ibn Musa al-Khwarizmi yang memikirkan tentang algoritma—yang berabad kemudian menjadi landasan bagi ilmu komputasi dan pemrograman?

Setelah di masa-masa awal kebangunan Eropa dari abad kegelapan, ketika para sarjana awal mereka masih berbicara terbuka tentang ilmu pengetahuan yang dikembangkan sarjana Muslim dan Yunani, tibalah waktunya nama-nama seperti ibn al-Haytham dan ibn Musa al-Khwarizmi perlahan menghilang dari ruang-ruang diskusi. Di masa awal Renaisans itu, karya-karya ilmuwan Muslim, seperti ibn Sina—al-Qanun fi al-Tibb—diterjemahkan ke dalam bahasa Latin (yang merupakan ‘bahasa resmi’ ilmu pengetahuan masa itu) oleh Gerard dari Cremona pada abad ke-12 Masehi. Karya ini menjadi rujukan pokok (buku babon) bagi perintisan dan pengembangan studi kedokteran dan kesehatan di Barat serta digunakan hingga abad ke-17.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seiring dengan perkembangan ilmu medis Barat, karya ibn Sina mulai jarang dirujuk, lalu dilupakan, dan bahkan disangkal oleh beberapa pemikir Barat. Secara faktual, para sarjana dan ilmuwan Muslim itu telah memberi kontribusi penting bagi perkembangan sains Barat, yang berlanjut hingga kini, walaupun dalam penulisan sejarah ilmu pengetahuan banyak nama mereka yang tidak ditulis secara sengaja. Betapa tidak, nama Aristoteles, Plato, atau Euclidus yang berasal dari masa sebelum kaum Muslim selalu disebut-sebut, tapi tidak dengan ibn al-Haytham (yang di Barat lebih dikenal dalam nama Latinnya, Alhazen). Baru tiga tahun yang lampau, nama ibn al-Haytham memperoleh pengakuan selayaknya sebagai ilmuwan yang memberi kontribusi penting dalam ilmu fisika, optika khususnya, dan metode eksperimen ilmiah. Tahun 2015 dirayakan secara internasional sebagai The Year of Light (Tahun Cahaya).

Menarik apa yang diutarakan Glen M. Cooper, sejarawan lulusan Columbia University yang kini mengajar di Claremont McKenna College, AS. Dalam Annual Medieval Academy of America Meeting ke-93, 3 Maret 2018, di Atlanta, AS, Cooper menyampaikan pandangannya bahwa proses historis penerjemahan karya intelektual melibatkan hubungan kekuasaan antara ‘budaya penerima’ dan ‘warisan budaya yang diterima’ (asal karya yang diterjemahkan). Dalam konteks relasi Barat-Muslim, budaya penerima adalah Barat dan warisan budaya itu karya ilmuwan Muslim. Cooper meminjam pendekatan Harold Bloom dalam karyanya yang terbit 1973, The Anxiety of Influence: A Theory of Poetry. Bloom merujuk pada perjuangan psikologis dari penulis yang hidup di lingkungan budaya penerima untuk mengatasi kegelisahan yang ditimbulkan oleh pengaruh karya yang mereka terjemahkan.

Dalam pandangan Cooper, penerjemah yang berasal dari budaya yang ‘menang’ (dalam konteks ini masyarakat Muslim di masa keemasannya) cenderung menangani materi sumber (karya-karya yang diterjemahkan) yang diperoleh dari budaya yang ‘kalah’ (dalam hal ini Yunani, yang ketika itu sedang menurun) dengan kepercayaan diri yang lebih besar bila dibandingkan dengan penerjemah yang berasal dari budaya yang ‘kalah’ (dalam hal ini Barat masa kegelapan), yang cenderung bersikap rendah diri karena khawatir jika meniru (karya sarjana Muslim) dan cemas harus mengejar ketertinggalan mereka, atau takut kehilangan warisan yang mereka anggap lebih dekat (dalam hal ini Barat merasa lebih dekat kepada Yunani).

Kegelisahan inilah, menurut Cooper, yang mendorong sarjana Barat di masa Renaisans kemudian mulai menghapus jejak nama sarjana dan ilmuwan Muslim dari sejarah pengetahuan, walaupun para sarjana Barat ini telah menerjemahkan banyak karya ilmu pengetahuan Muslim dan terpengaruh. Ketika perkembangan pengetahuan Barat semakin menanjak, para pemikir Barat mulai melihat diri mereka sebagai ‘ahli waris’ pemikir Yunani dan mulai menghapus jejak yang diwariskan pemikir Muslim.

Cooper berupaya mengelompokkan para pemikir Barat itu ke dalam dua grup. Pertama, kelompok yang terus mencari wawasan berharga dari tradisi intelektual Muslim dan melihatnya sebagai kesinambungan dari pemikiran Yunani-Romawi, hingga kemudian sampai ke Eropa Latin. Mereka mengakui sebagai penerima manfaat dari tradisi yang kaya ini. Kelompok kedua berusaha menghilangkan jejak pengaruh tradisi intelektual Muslim serta menempatkan diri sebagai pewaris pemikiran Yunani. Kelompok kedua inilah yang kemudian dominan dalam penulisan sejarah ilmu pengetahuan dan peradaban.

Betapapun masih sedikit sarjana dan ilmuwan Barat yang mengetahui dan mengakui kontribusi sarjana dan ilmuwan Muslim abad 8-12 Masehi, namun yang sedikit itu semakin menegaskan posisinya dalam perdebatan yang berlangsung akhir-akhir ini. Mereka mengatakan, kontribusi Muslim terhadap perkembangan ilmu pengetahuan tidak bisa dihapus, sebab itu bagian dari sejarah yang faktual. (Foto: Terjemahan salah satu karya ibn al-Haytham (kiri) dan kumpulan esai tentang kontribusi ibn al-Haytham (kanan))**

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB