x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mendadak Ngebet Jadi Calon Wapres

Dengan mendukung calon petahana, partai-partai ini merasa yakin dapat duduk (kembali) di lingkaran-dalam pemerintahan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Menyadari sukarnya jalan menuju kursi RI-1 dalam konstelasi politik sekarang hingga saat berlangsungnya Pilpres 2019 nanti, fokus perhatian sebagian elite politik lebih tertuju pada kursi RI-2. Apa lagi peluang Jusuf Kalla untuk menempati lagi jabatan wakil presiden menjadi kontroversi—sebagian pakar legal berpendapat boleh, yang lain mengatakan tidak boleh, sebab JK sudah pernah menjabat sebagai Wapres SBY.

Meskipun partai pendukung Joko Widodo sepakat bahwa penentuan siapa calon wapres mereka dilakukan setelah pilkada usai, tapi hasrat untuk menempati posisi itu sudah terlihat sejak kini. Dua partai politik, PPP dan PKB, terlihat menyorongkan nama ketua umumnya: Romy dan Muhaimin. Bahkan, kedua elite partai asyik berbalas pantun dan sindir-menyindir tentang peluang mereka jadi calon wapres-nya Jokowi. Keduanya tampak ngebet jadi calon wapres dan berusaha menunjukkan kedekatan dengan Jokowi. Sementara itu, ketua umum Golkar Airlangga Hartanto memilih untuk menahan diri—boleh jadi, ini dianggap jurus yang lebih pas untuk mendekati Jokowi yang orang Solo; tidak tampak ambisius jadi calon wapres.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagai orang yang sudah pasti dicalonkan kembali, Jokowi tidak terlihat antusias merespon keinginan kedua partai itu. Ia justru jaim dengan membiarkan elite kedua partai itu saling menyindir. Tak ada komentar apapun, apa lagi komentar yang terkesan berpihak kepada salah satu di antara mereka. Malah, di balik layar, berkembang isu bahwa istana menawari Prabowo Subianto agar mau jadi pasangan Jokowi biar tidak perlu ada ‘pertandingan ulang’ dari Pilpres 2014.

Sejauh ini, jika akhirnya ‘pertandingan ulang’ Pilpres 2014 berlangsung tanpa ada calon alternatif pengganti Prabowo atau tanpa ada calon ketiga selain Jokowi dan Prabowo, kompetisi Pilpres 2019 sepertinya sudah dapat diduga siapa pemenangnya (walaupun, dugaan bisa juga meleset, misalnya karena ada skenario luar biasa lain). Berbekal kalkulasi ‘ramalan pemenang 2019’ itu (yang tetap saja bisa meleset), sebagian partai memilih untuk mendukung petahana. Inilah advantage yang menjadi bekal calon petahana dan partai pengusungnya untuk melangkah maju. Mereka memahami ‘psikologi kekuasaan’ dan suasana batin para elite partai pendukung.

Dengan mendukung calon petahana, partai-partai ini berharap (dan bahkan yakin) dapat duduk kembali di lingkaran-dalam pemerintahan, syukur-syukur bila ketua umumnya digandeng jadi calon wapres. Ketimbang berjuang dan berkompetisi melawan calon petahana dengan peluang lebih besar bakal kalah, partai-partai tertentu lebih suka memilih jalan aman. Jika persekutuan mereka menang, setidaknya kursi menteri sudah di tangan. Di sinilah terlihat sikap pragmatis elite partai politik.

Hanya sedikit partai politik yang memiliki keberanian untuk tidak bergabung dengan petahana. Hanya sedikit elite politik yang melihat gelanggang kontestasi pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden sebagai forum perjuangan cita-cita ideologis dan ladang untuk memperebutkan peluang berkuasa secara pragmatis. Bagi sebagian politikus, berubah sikap dalam semalam dari mengkritisi pemerintah menjadi memuji-muji bukanlah kemustahilan. Menyedihkan memang, tapi inilah realitas demokrasi kita, bahkan 73 tahun setelah negeri kita diproklamasikan telah merdeka. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler