x

Iklan

Putra Batubara

staf pengajar di Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT) Seneng Nulis
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Zulkifli Hasan, Kartini, Dan Perjuangan Untuk Bangsa

Kartini membawa kita dari gelap terbitlah terang. Begitu juga guru yang membuat kita tidak tahu menjadi tahu

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Raden Ajeng Kartini merupakan satu-satunya pahlawan yang namanya dijadikan sebagai nama hari nasional yang diperingati setiap tahun lewat Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 1964 pada 2 Mei 1964 ditandatangani Sukarno, Presiden RI saat itu. Hal ini karena tak lepas dari pemikiran dan perjuangannya untuk memajukan pendidikan kaum perempuan.

Karena itu sangat tepat ketika Ketua MPR Zulkifli Hasan memperingati Hari Kartini bersama sekitar seribu kaum wanita, para guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dari seluruh Indonesia di Perpustakaan Nasional Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat pada Sabtu, 21 April 2019 kemarin. 

"Kartini membawa kita dari gelap terbitlah terang. Begitu juga guru yang membuat kita tidak tahu menjadi tahu," katanya. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kartini Sebagai Pendidik

Penilaian Ketua MPR tersebut bahwa guru sebagai penerus perjuangan Raden Ajeng Kartini tidak bisa dibantah. Karena Kartini merupakan seorang pendidik wanita pada masanya. Dan cita-cita menjadi guru tersebut sudah diidamkannya sejak lama. Karena menurutnya, perempuan memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan.

"Aduhai, ingin sekali rasanya mendapatkan kesempatan untuk mendidik hati anak-anak, membentuk watak, mencerdaskan otak anak muda, mendidik perempuan untuk masa depan, yang nantinya akan terus dikembangkan dan disebarkan lagi," tulis Kartini dalam surat pada Agustus 1901 kepada Nyonya Nellie van Kol. Pengarang dan penulis di majalah wanita, De Hollandse Lelie, ini merupakan istri Ir Henri Hubert van Kol yang pada zaman penjajahan bertugas membangun pengairan. Kartini pelanggan majalah tersebut.

Keinginan untuk mengajar tersebut terealisasi pada bulan Juni 1903 setelah dia gagal berangkat ke Belanda untuk sekolah, dan saat bersamaan suratnya kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk sekolah di Batavia belum dibalas.

Dalam buku Sisi Lain Kartini yang diterbitkan Museum Kebangkitan Nasional disebutkan bahwa sekolah tersebut menekankan pada pembinaan budi pekerti dan karakter anak. Pengelolaan sekolah lepas dari pengaruh pemerintah. Karena Kartini mengatur sekolah sesuai dengan gagasan yang ada dalam dirinya. Murid-murid yang umumnya anak-anak priyayi belajar membaca, menulis, menggambar, tata krama, sopan-santun, memasak, serta membuat kerajinan tangan.

Yang menarik, saat menerima lamaran Bupati Rembang Adipati Djojo Adiningrat, dia mengajukan syarat agar pemikirannya dan keinginannya untuk terus mengajar didukung. Dua syarat tersebut adalah Bupati Rembang menyetujui dan mendukung gagasan-gagasan dan cita-cita Kartini dan Kartini diizinkan membuka sekolah dan mengajar puteri-puteri bangsawan di Rembang.

Wanita Pendobrak

Raden Ajeng Kartini yang lahir dari keluarga bangsawan, yaitu Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, membuatnya hidup di bawah pengekangan dan aturan yang membatasi ruang gerak dan cita-citanya. "Kami, anak-anak gadis yang masih terantai pada adat istiadat lama, hanya boleh mendapatkan sedikit kemajuan di bidang pendidikan," kata Kartini dalam surat tertanggal 25 Mei 1899 kepada Nona E.H. Zeehandelar, juga ia kenal lewat majalah De Hollandse Lelie.

Kartini sendiri ingin lepas dari semua belenggu tersebut. Bahkan dalam surat yang sama kepada sahabat Belandanya yang ia panggil Stella tersebut, Kartini menulis, "Jauh semenjak saya masih kanak-kanak, ketika kata 'emansipasi belum ada bunyinya, belum ada artinya buat saya, tulisan dan karangan tentang itu jauh dari jangkauan saya, muncul dari diri saya keinginan yang makin lama makin kuat, yaitu keinginan akan kebebasan, kemerdekaan, dan berdiri sendiri."

Namun, meski tradisi kaum bangsawan melarang keras puteri-puteri mereka ke luar rumah, apalagi ke sekolah setiap hari belajar bersama anak laki-laki, Kartini masih berkesempatan mengenyam pendidikan di sekolah dasar Eropa atau Europesche Lagere School (ELS). Tapi selepas ELS tersebut, dia tidak lagi diperkenankan menempuh ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sesuai tradisi ketika, Kartini kemudian memasuki masa pingitan, yang ia gambarkan sebagai masuk 'kotak, terkurung di rumah, terasing dari dunia luar.'

Meski begitu, dia masih merasa beruntung karena diperbolehkan membaca berbagai buku Belanda dan berkorespondesi dengan kawan-kawannya yang ada di Belanda. Dalam surat-surat tersebutlah dia menyampaikan keinginannya untuk memajukan perempuan kaum pribumi dan keinginannya merasakan alam kebebasan dan kemandirian seperti di Eropa. 

Walau demikian, Kartini juga mengkritik budaya Barat, yang sialnya banyak ditiru kaum pribumi. Seperti terkait minuman keras dan candu atau madat, yang juga kerap dikecam habis oleh Ketua MPR Zulkifli Hasan, yang membuatnya digelari Tokoh Pelindung Umat.

Dalam suratnya, Kartini mengatakan semakin banyak orang minum candu di Jawa, semakin penuh kas Pemerintah Kolonial Belanda. "Tidak peduli yang terjadi pada rakyatnya, mau baik atau buruk, pokoknya pemerintah untung, itu yang penting," tulisnya.

Walau demikian, harus diakui banyak juga yang menilai bahwa penghargaan untuk Kartini berlebihan. Mengingat banyak pejuang-pejuang wanita Indonesia lainnya yang juga telah menunjukkan perannya dalam melawan penjajah Belanda dan memajukan anak-anak Indonesia. Seperti Tjut Nyak Dien, Tjut Mutia, Dewi Sartika, dan Rohana Kudus. Apalagi tidak sedikit pula penilaian Kartini terhadap agama Islam yang mengundang kontroversial yang membuatnya dikecam.

Terkait yang terakhir ini, Haji Agus Salim yang pernah direkomendasikan Kartini menjadi penggantinya menerima beasiswa, melakukan pembelaan. Seperti dikutip dari Tempo, Agus Salim menjelaskan surat-surat Kartini merupakan pendapat pribadi yang tidak dimaksudkan untuk diterbitkan. Dari sisi pemikiran, pandangan Kartini dianggap belum stabil karena ia mengungkapkan pikirannya pada usia dini. Selain itu, informasi mengenai Islam masih minim diperoleh putri Jawa yang meninggal dunia dalam usia 25 tahun ini. Ketika itu, Quran memang tidak boleh disalin atau diartikan.

Terlepas dari itu semua, cita-cita Kartini untuk memajukan bangsanya harus diteladani dan dilanjutkan semua pihak, khususnya kepada guru, seperti yang diingatkan Zulkifli Hasan. "Hormat kami untuk guru penerus perjuangan Kartini," katanya. Apalagi saat ini Indonesia masih tertinggal dari negara-negara lain, khususnya Eropa.

Ikuti tulisan menarik Putra Batubara lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler