Menyiapkan benak untuk membaca buku memang diperlukan, tapi menyiapkan hati untuk menyesap rasa tak kurang pentingnya. Nalar dibutuhkan untuk memahami dan mencerna isi buku, sedangkan hati diperlukan untuk menikmati cita rasa di dalamnya. Nalar dan hati bekerja saling melengkapi agar kenikmatan membaca sebuah buku mencapai puncaknya.
Nalar kita cenderung bekerja analitis, berusaha memahami ungkapan penulis, mencerna gagasannya, merangkai satu ide dengan ide lainnya, setuju atau membantah, juga mengritisi sebagian atau seluruh pendapat penulisnya. Saat membaca buku-buku non-fiksi, kecondongan untuk bersandar pada nalar akan lebih kuat dibandingkan dengan ketika membaca karya fiksi.
Tapi buku yang kuat bukanlah semata mengusung aspek rasionalitas semata, tapi juga spirit, semangat, bahkan juga emosi yang umumnya dapat disesap oleh hati. Dalam membaca novel, misalnya, ekspresi karakter di dalamnya, suasana yang dibangun penulisnya, diksi yang dipilih, hingga warna-warni karakternya akan lebih terserap oleh hati. Namun, kemampuan hati untuk menangkap spirit, semangat, emosi itu bukan hanya diperlukan saat membaca fiksi, tapi juga non-fiksi.
Ada beberapa genre non-fiksi yang lazimnya mampu menyedot emosi dan semangat pembaca, misalnya saja biografi. Tentu saja tak semua biografi. Membaca otobiografi Malcolm-X yang ditulis bersama Alex Haley, sebagai pembaca saya dapat merasakan kepedihan terdalam yang dirasakan Malcolm-X sejak kecil. Ia begitu jujur mengisahkan lorong-lorong gelap perjalanan hidupnya—sesuatu yang orang lain tidak akan mudah menceritakannya kepada publik.
A Beautiful Mind karya Sylvia Nasar pun begitu. Buku yang demikian tebal ini sungguh tidak membosankan hingga halaman terakhirnya. Nasar mampu mengekspresikan kembali apa yang dipikirkan dan dirasakan John Nash, jenius matematika yang mengidap skizoprenia, maupun isterinya, dan juga teman-temannya. Nasar mengajak pembaca untuk menyusuri perjuangan Nash dan isterinya bangkit dari keterpurukan.
Tidak semua buku penting mampu membangkitkan emosi dan semangat pembacanya, hanya buku bagus yang sanggup melakukannya—dan buku bagus sudah barang tentu penting untuk dibaca. Di antara sekian banyak buku penting, Malcolm-X dan A Beautiful Mind tergolong dua buku bagus. Saya menarik banyak pelajaran dari kesukaran hidup yang dijalani el-Hajj Malik el-Shabazz (nama Muslim Malcolm-X) dan Prof. John Nash, yang ketika menerima penghargaan Nobel sekalipun masih dibayang-bayangi oleh sosok-sosok ilusif.
Aspek rasionalitas hanyalah satu sisi dari sebuah buku. Seringkali, unsur-unsur yang diserap oleh hatilah yang membuat kita betah membaca sebuah karya hingga halaman terakhir; dan inilah yang menjadikan sebuah karya yang bagus, bukan sekedar penting. (Sumber foto: pexels.com) ***
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.