x

Aksi polisi cilik saat festival anak di Tangerang, Banten, (30/6). Festival anak ini digelar untuk menyambut hari anak nasional dengan memberikan ruang kreatifitas kepada anak indonesia serta menumbuhkan rasa nasionalisme, patriotisme dan kesetiakawa

Iklan

Daeng

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kesetiakawanan Merawat Persatuan Indonesia

Ragam komunitas kesukuan-kedaerahan telah bersepakat untuk duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ragam komunitas kesukuan-kedaerahan telah bersepakat untuk duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Tak ada nuansa superioritas untuk mengklaim kesukuannya lebih unggul ketimbang lainnya.

Daulat ini terbentuk secara formal dalam memulai ikatan kebangsaan sebagai suatu wadah dalam negara bersebut Indonesia pada 1945. Ikatan formal ini secara lebih konkret meneguhkan jalinan erat untuk kemudian secara bersama memanggul aneka beban permasalahan kebangsaan di kemudian hari.

Tenun kebangsaan itulah sebagai pucuk kesetiakawanan. Bersetia kepada pihak lain sebagai sesama saudara sebangsa. Dengan sikap kesetiakawanan, segala anasir negatif yang dapat mengoyak persatuan bangsa dapat dideteksi dini untuk kemudian dipangkas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kita menyadari, dewasa kini bangsa Indonesia sedikit-banyak telah terliputi oleh fragmentasi sosial yang menjurus konflik dan perpecahan. Bila dibiarkan, bukan tidak mungkin eskalasi akan meningkat menjadi ruang beradu tarung yang ganas. Padahal, polarisasi sosial seperti itu telah menisbikan kesadaran memorial kebangsaan macam di atas.

Karena itu, spirit kesetiakawanan menjadi sangat diperlukan. Lebih penting lagi diimplementasikan sebagai laku keseharian dewasa kini. Apalagi ketika suasana kebangsaan sedang diuji oleh pemisahan kelompok (sosial) secara paksa dengan aneka tipologinya. Kesetiakawanan sebenarnya berinti pada kesamaan piranti dengan nilai dasar kemanusiaan.

Kita sudah paham, kemanusiaan tidak mengenal batas sekat primordial dan keindentitasan macam suku, ras, golongan, dan agama. Dalam perumpamaan sederhana: tetangga yang sedang terkena musibah, tentunya mesti lekas ditolong tanpa melihat latar belakang.

Selain bersumbu pada kemanusiaan, kesetiakawanan juga berpangkal pada kegotongroyongan. Sudah sejak lama prinsip ini menjadi identitas utama masyarakat Indonesia. Bukti-bukti itu terangkum apik dalam upaya bahu-membahu merebut kemerdekaan, ketika masing-masing golongan-kedaerahan beranjak menyisingkan lengan baju bergerak bersama mengusir kolonialis-imperialis. Atau, dalam masa-masa ketika bencana alam menerjang seperti Tsunami Aceh dan bencana alam lain, niscaya masyarakat kita dengan segera menyodorkan tangan dan kaki, siap dan sigap membantu.

Berdasar contoh tersebut, tidak berlebih kiranya spirit kesetiakawan bisa menjadi obat mujarab terhadap penyakit kebangsaan. Penyakit berupa sikap menunjukkan permusuhan, membeber superioritas keidentitasan sosial, dan menghakimi pihak yang tidak sejalan.

Perumpamaan praktisnya pada sekarang ini, ujaran kebencian mudah sekali tersebar di ruang publik secara masif. Kekasaran ujaran dan caci-maki terpampang jelas di media sosial.

Kiranya tepat wejangan K.H Musthofa Bisri (Gus Mus), beberapa waktu lalu, bahwa yang waras jangan sampai mengalah. Kita masih meyakini ujaran kebencian di jagat maya sama sekali tidak bisa dikatakan representasi wajah asli masyarakat Indonesia.

Pertarungan kebencian dan sebaran hoaks besar kemungkinan hanya dilakukan segelintir masyarakat. Sementara di sisi lain, pihak mayoritas lebih banyak masih berdiam diri (silent majority). Karena itu, spirit kesetiakawanan sosial seyogianya menjadi titik tolak kita bersama untuk menampilkan gerak positif terutama dalam perbincangan di jagat maya.

Urgensi kesetiakawanan makin diperlukan ketika pada hari-hari ini tenun kebangsaan serasa dirusak oleh kejadian-kejadian intoleransi beragama. Intoleransi bila benar-benar sampai terjadi berarti menandakan telah hilangnya kesadaran kolektif suatu individu atau masyarakat atas takdir keberbedaan (pluralitas) sebagai sunatullah.

Beragamnya agama beserta kemazhaban di negeri ini mestinya dianggap sebagai keniscayaan untuk saling menghormati. Apalagi agama sendiri telah mengajarkan prinsip-prinsip kesetiakawanan dengan instruksi untuk menyayangi antarsesama meski berbeda keyakinan. Karena itu, orang beragama harusnya adalah orang yang getol memegang erat prinsip kesetiakawanan.

Sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia, telah secara gamblang berikhtisar untuk meneguhkan kesetiakawanan dalam diri kita semua. Meluaskan artian bahwa Indonesia yang terdiri dari ratusan suku, apabila kurang satu suku saja, tidak bisa dinamakan Indonesia.

Dan, sebagaimana kegiatan berbaju kesetiakawanan sosial seperti aksi donor darah, merujuk pada artian bahwa kita satu darah-satu jiwa. Ketika darahmu ada dalam tubuhku, bercampur dengan darahku, maka secara manusiawi, aku tidak bakal tega menyakitimu. Imaji persaudaraan seperti inilah yang kiranya sebagai salah satu cara mempererat ikatan kita sebagai orang Indonesia yang tertakdir multikultural.

Oleh : Muhammad Itsbatun Najih

Ikuti tulisan menarik Daeng lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB