x

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pilpres dan “Maqam” Politik

Dalam kajian sufistik, tingkatan terendah sesorang dalam mengaktualisasikan dirinya dalam memperoleh kesempurnaan adalah “syariat”

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tensi politik jelang pilpres 2019 terus naik, bukan saja karena fenomena perebutan kursi kekuasaan, tetapi hal-hal diluar itupun tampak seakan menjadi bagian dari rangkaian isu yang terus menggenjot naiknya suhu kepolitikan. Setelah isu tenaga kerja asing yang sempat ramai dan mendapatkan penolakan dari parlemen, soal “pengajian politik” yang digelar di Balai Kota Jakarta yang menuai kritik, sampai kasus penghinaan Nabi Muhammad yang dilakukan oknum kader parpol, semakin membuat dunia politik tampak memanas. Jika dalam terminologi sufistik ada jenjang peribadatan yang distratifikasi melalui beberapa “maqam” (tingkatan), maka sama halnya dalam soal perebutan kekuasaan, ada “tingkatan” yang mengaktualisasikan tujuan-tujuan politik mereka.

Dalam kajian sufistik, tingkatan terendah sesorang dalam mengaktualisasikan dirinya dalam memperoleh kesempurnaan adalah “syariat”. Syariat dalam hal ini merupakan jalan yang ditempuh untuk memperoleh kesempurnaan bagi seseorang hanya saja masih menggunakan simbol-simbol atau cenderung sekadar mengaktualisasikan “sisi terluar” dari ajaran agama yang dipahaminya. Tak ubahnya dalam dunia politik, kita bisa menilai, ketika masih banyak orang yang cenderung menganggap pentingnya sebuah “simbol”, lalu ditunjukkannya kepada orang lain sebagai kebanggaan agar orang lain dapat terpengaruh untuk mengikutinya, maka tak ubahnya seperti gambaran tingkatan terendah dalam dimensi sufisme, yaitu “maqam” syariat.

Tidak menutup kemungkinan, mereka yang berada pada tingkatan “syariat” politik, akan tampak  mementingkan bahkan mengagungkan simbol, entah itu dalam bentuk retorika keagamaan, menguatnya tokoh kharismatis, atau sekadar atribusi kekelompokkan yang dipergunakan sebagai “jalan” dalam memperoleh kekuasaan. Pada tataran “syariat” politik, simbol menjadi penting untuk ditunjukkan demi tercapainya sebuah tujuan, bahkan kadang melupakan hal-hal lain yang lebih dahsyat dari sekadar simbol itu sendiri. Nuansa “syariat” politik—saya kira—tampak paling menguat belakangan ini dan lebih banyak berseliweran dalam ruang-ruang publik, mewujud dalam hal narasi atau agitasi politik yang seringkali malah menjengkelkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bisa jadi, kelompok ini justru merupakan representasi terbanyak, karena simbol seringkali dijadikan alat paling ampuh untuk memenangkan sebuah kontestasi politik. Simbolisasi politik yang kemudian hadir dalam bahasa agama, artikulasi busana, atau agitasi dalam bentuk “meme”, atau apapun yang dapat mempengaruhi setiap orang yang gandrung terhadap simbol. Tokoh-tokoh kunci dalam maqam “syariat” politik, sudah tentu akan menyebarkan atau membuat pernyataan yang lebih mementingkan simbol daripada tujuan politik itu sendiri. Kita mungkin mudah menilai, siapa-siapa saja yang masuk dalam tingkatan politik seperti ini, terlebih setelah menyaksikan, sesaknya narasi politik oleh bahasa-bahasa agama yang “disimbolisasikan” demi tujuan-tujuan kekuasaan.

Tingkat berikutnya dalam kategori sufisme adalah “ma’rifat”, dimana kecenderungan terhadap simbol mulai disamarkan, mengintip dan mencoba masuk ke “sisi terdalam” sebuah entitas keagamaan. Kategori ini masuk dalam tingkat “pertengahan”, yang terkadang masih dipengaruhi  simbol, walaupun sinyalnya tampak melemah. Dalam dunia politik, kelompok ini mungkin tidak begitu besar jumlahnya, tetapi cukup memiliki pengaruh, karena kepiawaian mereka mengajak masyarakat melalaui serangkaian kegiatan positif, memberi contoh yang baik, tak banyak bicara yang tidak perlu, dan cenderung menahan diri untuk tidak terlampu menunjukkan keinginannya secara terbuka dalam konteks kekuasaan.

Saya kira, konsep “ma’rifat” politik, akan lebih mementingkan “tujuan” daripada “jalan” yang harus ditempuh dalam konteks memperoleh kekuasaan. Mereka tak lagi diliputi rasa ketakutan yang ekstrim, karena siapapun yang akan mencapai kesempurnaan dalam hal politik—menjadi presiden misalnya—tetaplah cermin dari tujuan kebaikan itu sendiri. Kelompok yang masuk dalam kategori ini, mengaktualisasikan politik secara “salik” (terukur, berdasarkan pengetahuan) dan mengedepankan nilai fatsoen politik yang dipahaminya. Dalam sebuah ajang kontestasi nasional, kita mungkin dapat menilai, siapa-siapa saja tokoh masyarakat yang masuk dalam kategori ini, melihat dari tindak-tanduknya yang mengapresiasi segala kebaikan yang ditimbulkan oleh aktivitas politik. Kelompok ini tak suka menuduh, menjatuhkan pihak lain, atau menunjukkan dukungan atau penolakan secara terbuka terhadap setiap kontestan yang ada.

Seseorang yang telah mencapai tingkatan “ma’rifat” tentu akan lebih mudah mengurai seluruh dimensi kehidupannya dalam memaknai “hakikat” sebagai entitas tertinggi dari maqam sufistik. Ketika “syariat” dan “ma’rifat” telah menyatu dalam dirinya, maka dunia hakikat akan lebih mudah diungkap sehingga memahami secara baik, mana yang penting dan mana yang tidak. Agak sulit jika menghubungkan dunia politik pada capaian tertinggi dengan konsep “hakikat” yang diaktualisasikan oleh maqam sufistik, karena politik bersifat duniawiyah, mengejar keuntungan-keuntungan yang bersifat materi: kekuasaan, jabatan, kedudukan, yang tak ada dalam realitas sufisme. Oleh karenanya, dunia politik dan representasi orang-orang yang berkecenderungan terhadap kekuasaan didalamnya, paling mungkin hanya dapat dipotret dalam realitas “syariat” dan “ma’rifat”.

Tidak berlebihan saya rasa, jika konsep sufisme ditarik dalam ranah politik untuk menggambarkan kriteria-kriteria tokoh-tokohnya yang semakin ramai diperbincangkan publik. Ada politisi kawakan Amien Rais, yang tampak gemar mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial dibalik keinginannya agar ada rotasi kekuasaan: mengganti penguasa lama ke penguasa baru. Tak jarang, Amien menyisipkan “simbolisasi” agama yang kemudian diamini oleh kelompok pendukungnya. Ada juga tokoh yang tak mementingkan simbol, tetapi mencoba merangkul berbagai pihak, bergerilya demi tujuan “kebaikan” politik, baik dengan cara bertemu dengan lawan maupun pendukungnya. Jokowi, nampaknya bisa masuk dalam contoh seperti ini.

Tak sulit saya kira, menilai berbagai kalangan yang masuk dalam jenjang kepolitikan sebagaimana diungkap dalam realitas maqam sufisme. Mereka yang gandrung dengan simbol-simbol dan lebih gemar memperlihatkan “kulit”, menonjolkan dan memperlihatkannya kepada publik, tanpa peduli terhadap “isinya”, cukup mewakili maqam “syariat” politik sebagaimana direpresentasikan dalam dimensi sufistik. Disisi lain, ada yang kurang memperhatikan simbol, tetapi mulai “mengintip” isi bahkan tak peduli lagi dengan “kulit” yang melingkupinya. Mereka cenderung memahami dunia politik sebagai sebuah “tujuan”, bukan lagi “jalan” atau “cara”. Meskipun nihilisme terhadap simbol belum sepenuhnya hilang, namun nilai kebaikan dari substansi kekuasaan politik, tetap menjadi tujuan utama dalam mengaktualisasikan dirinya dengan dunia politik. Jadi, publik dapat menilai, siapa yang masih sekadar “syariat” dan mana yang telah mencapai “ma’rifat” dalam mengartikulasikan politik. Menarik atau tidaknya, sesuai darimana anda memandangnya.

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler