x

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

#SeninCoaching: Mengikuti Tarian Bumi, Matahari, dan Bulan

Mengelola organisasi dengan kepemimpinan reaktif merugikan banyak pihak, termasuk diri sendi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Leadership Growth: Let Us Dance with Grace

 

Mohamad Cholid

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Practicing Certified Business and Executive Coach

 

“Life is a dance. It’s filled with twists and turns, and sometimes you step of people’s feet (sometimes they step on yours). What more can one wish for than to be someone who gracefully maneuvers through it all?” -- Friedrich Nietzsche

 

Rembulan bergerak di orbit Bumi. Serentak dengan itu Bumi, sembari berputar di porosnya, beredar di orbit Matahari. Sesekali, sesuai agenda Pemilik Alam Semesta, ada persinggungan garis edar dan terjadilah gerhana – bisa gerhana bulan atau gerhana matahari. Gerakan Bumi, Bulan, dan Matahari ibarat tarian agung alam semesta, memproduksi waktu, yang berpengaruh besar pada kehidupan kita. Di New York gelap diselimuti malam, di Jawa siang dan terang (saat tidak hujan lebat).

Kalau kita menjalani hidup sesuai tarian alam semesta, dalam keseimbangan pemakaian waktu yang terstruktur, rasanya Anda setuju, itu akan membuat kita lebih eksis.

Para eksekutif yang bekerja efektif menyadari, waktu yang mereka pinjam dari Pencipta Alam Semesta telah mereka manfaatkan untuk apa saja. Ini merupakan tradisi yang sudah berabad-abad dilakukan umat manusia dalam membangun peradaban. Kepemimpinan seseorang akan diukur dari kemampuan dan kemauannya mengelola diri sendiri dalam berhadapan dengan waktu.

Effective executive, in my observation, do not start with their task. They start with their time. And they do not start out with planning. They start by finding out where their time actually goes,” kata Peter Drucker (The Effective Executive). 

Apakah Anda sudah mengukur, melakukan pengecekan, berapa jam dalam sepekan terakhir waktu Anda terpakai untuk menjadi leader, entrepreneur, lalu sebagai manajer, atau sibuk melaksanakan kegiatan teknis? Ini pertanyaan mendasar untuk pribadi-pribadi yang sudah dengan kesadaran masing-masing berkomitmen melakukan self-improvement, untuk memimpin dengan lebih efektif, membangun tim, serta upaya-upaya lain demi meningkatkan performance organisasi.    

Saat menjadi seorang leader, entrepreneur, tentunya Anda investasi waktu mengembangkan clarity, menginspirasi tim bergerak menuju visi dan goal organisasi, dan tim Anda melakukannya (minimal) dengan senang hati (cheerful cooperation) – kalau bisa dengan heartfelt commitment, idealnya dengan creative excitement. Btw, sudahkah Anda cek tingkat kualitas engagement tim secara rutin?

Kalau sedang berperan sebagai manajer, Anda membereskan sejumlah urusan agar selalu on the right track. Selanjutnya, Anda adalah teknisi jika sibuk urusan teknis di divisi atau organisasi Anda.

Pemilahan pemanfaatan waktu dan self-management tersebut, yang sebaiknya dilakukan secara seksama, sangat penting untuk evaluasi sejauh mana kita sudah melangkah sesuai tujuan-tujuan besar organisasi. Apakah goal pribadi sudah selaras dengan tujuan institusi.

Kenapa itu perlu selalu diingatkan?

Sampai hari ini, kalangan eksekutif dari level manajer sampai direktur utama di organisasi-organisasi dengan revenue tampaknya baik-baik saja, masih banyak yang terseret arus, ibarat “menari di tengah irama gendang pihak lain” alias belum membangun diri mampu bernegosiasi menentukan jadual kegiatan, skala prioritas, membangun hubungan internal dan ekternal (dengan customers dan vendors) dalam semangat win-win.

Sebagai konsekuensi belum dapat bersikap rendah hati, bersungguh-sungguh menggali dan mengembangkan potensi diri, dan disiplin action, mereka hidup dalam teror waktu, bertindak dalam moda reaktif.

Kepemimpinan seperti itu telah mengakibatkan banyak organisasi oleng, beroperasi dalam kondisi di bawah rata-rata industri sejenis, kesulitan mengembangkan pasar, cash juga minim untuk mendukung pertumbuhan. Tanpa perubahan dan perbaikan perilaku kepemimpinan, revenue yang biasa-biasa saja itu sesungguhnya berpeluang digerogoti pula oleh ongkos-ongkos yang tidak perlu – akibatnya profit margin mengecil. Para eksekutif yang sudah mengalaminya akan membenarkan sindrom ini.

Menjalankan kepemimpinan organisasi dengan perilaku reaktif akan menyebabkan Anda hidup dalam bayang-bayang pihak lain. Kalau hidup ini ibarat tarian, sebagaimana kata filsuf Friedrich Nietzsche, yang karya-karyanya berpengaruh besar pada sejarah intelektual modern, kepemimpinan reaktif, “mengikuti irama gendang pihak lain”, akan menyebabkan Anda kikuk melangkah – bahkan bisa kesrimpet.

Itu sama saja menggunakan resources (waktu, dana, kecerdasan, dan energi tim) secara sembrono, sehingga resources untuk membangun hari esok sudah berkurang.

Orang-orang dengan integritas terpuji lazimnya sanggup bernegosiasi dengan mitra bisnis, pelanggan, atau pemasok dalam mengatur keseimbangan aktivitas bersama, “menari satu irama dengan anggun.”

Dengan kata lain, kalau seseorang selalu hanyut dalam irama pihak lain, kepemimpinan dan integritasnya layak dipertanyakan. Karena mungkin saja dia berintegritas kepada customer, tapi tidak bertindak seimbang terhadap tim dan unsur stakeholders lainnya. Coba cermati, integrity adalah: keeping to one’s word, promises, agreement, being truthful, non-deceitful etc. with employee, customers, vendors, government and other stakeholders

Orang baik dan jujur, bersih, serta cerdas, bisa saja tidak dapat memberikan kontribusi signifikan kepada organisasi jika integritasnya sebagai pemimpin tercabik akibat terlalu banyak excuses ketika harus memenuhi komitmennya secara seimbang kepada semua pihak, termasuk kepada dirinya sendiri. Mohon direnungkan, apakah ada seorang leader dianggap hebat dan berintegritas karena kualitas dan kuantitas excuses-nya?

Eksekutif dengan perilaku kepemimpinan seperti itu tampaknya belum berupaya sungguh-sungguh, “to be someone who gracefully maneuvers through it all.”    

Itu umumnya akibat mereka belum bersedia mengelola diri sendiri dengan terstruktur dalam menghadapi waktu. Untuk membantu menemukan solusi, ada baiknya renungkan dan jawab dengan jujur pertanyaan berikut:

Berapa jam waktu Anda setiap hari telah dibajak oleh agenda pihak lain melalui media sosial, televisi, dan pembicaraan-pembicaraan yang tidak terkait dengan karir, keluarga, dan tanggung jawab profesional Anda? Bahkan Anda membayar pula untuk itu – bayar pulsa atau pun televisi berlangganan.

Media sosial penting dan dapat diandalkan kalau memberikan benefit bagi karir, bisnis, dan kehidupan keluarga. Entertainment di layar televisi atau bioskop juga perlu, sebagai penyeimbang dan relaksasi. Persoalan bakal timbul kalau nyaris setiap hari Anda duduk di depan televisi lebih dari dua jam. Kata orang-orang bijak, ordinary people seek entertainment, successful peoples search for education and learning.

Kalau seseorang belum mampu mengendalikan diri, masuk golongan orang yang lebih banyak membuang waktu ke hal-hal non-produktif, apakah layak memimpin organisasi?

Pertanyaan lain, saat Anda makan bersama keluarga atau relasi, berapa persen waktu terpakai untuk membicarakan tokoh politik, artis sinetron atau Hollywood – yang kalau kita renungkan, apakah mereka yang dibicarakan itu memikirkan atau perduli pada hidup Anda? Kecuali Anda seorang wartawan politik, atau sutradara atau produser atau agen artis yang akan menyewa mereka.  

Di lain waktu, pernahkah saat Anda berdua dengan pasangan hidup menikmati kebersamaan dan Anda nyerocos berkepanjangan membicarakan hal-hal di media sosial yang tidak relevan dengan kehidupan bersama? Please ingat, Itu sama saja Anda menggerogoti emotional bank account dalam human relationship bersama orang terdekat.

Sampai kapan mau menjalani hidup dengan kualitas seperti itu? Apakah cara mengelola keberadaan kita di dunia ini mau mengikuti tarian alam semesta dengan sungguh-sungguh, hidup lebih berkmakna, atau sekedar mengikuti arus hanya supaya dianggap tidak ketinggalan dalam “gerakan besar halusinasi publik”? Pilihan ada di tangan Anda.

Namun, bagi eksekutif, apalagi yang ingin meraih harkat sebagai seorang leader yang berhasil memimpin perubahan dan perbaikan organisasi, saatnya melihat cermin dengan lebih cermat. Gambaran berharga mengenai diri kita datang dari persepsi para stakeholders (direct reports, kolega, atasan, dan keluarga).

Persepsi mereka terhadap perilaku kepemimpinan kita merupakan hadiah, sepantasnya kita berterima kasih – bukan menyangkal atau bersikap defensif. Pada dasarnya para stakeholders ingin membantu kita menjadi pribadi yang lebih efektif. Berhasil mengikuti irama tarian Bulan, Bumi, dan Matahari dan lebih proaktif menyikapi waktu. Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC) memfasilitasi  para eksekutif dan leaders menjadi lebih efektif mengelola resources membangun hari ini dan esok -- to be a new you, a graceful dancer in the fast changing life nowdays.      

 

Mohamad Cholid  adalah Head Coach di Next Stage Coaching.

n  Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching

n  Certified Marshall Goldsmith Global Leader Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

(http://sccoaching.com/coach/mcholid1)  

 

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler