x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ki Hajar Dewantara - Pemikiran dan Perjuangannya

Ki Hajar Dewantara pemikiran dan perjuangannya dalam nasionalisme dan pendidikan di Indonesia

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Ki Hajar Dewantara – Pemikiran dan Perjuangannya

Penulis: Suhartono Wiryopranoto, dkk

Editor: Prof. Dr. Djoko Marihandono

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun Terbit: 2017

Penerbit: Musium Kebangkitan Nasional Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Tebal: 208

ISBN: 978-602-61552-0-7

Dalam rangka memperingati 109 tahun Kebangkitan Nasional, Musium Kebangkitan Nasional menerbitkan buku “Ki Hajar Dewantara - Pemikiran dan Perjuangannya.” Sesuai dengan judulnya, buku ini memuat pemikiran dan perjuangan Ki Hajar Dewantara. Pemikiran Ki Hajar Dewantara tidak hanya di bidang pendidikan, tetapi juga di bidang kebangkitan nasional. Buku ini menyuguhkan dengan sangat baik perkembangan pemikirian Ki Hajar Dewantara dalam hal politik kebangkitan nasional dan tentang pendidikan yang Indonesia. Pemikiran kebangkitan nasional dan pendidikan ini tumbuh selaras dengan perjuangannya.

Ki Hajar Dewantara lahir pada tanggal 2 Mei 1889 di Jogjakarta dengan nama Suwardi Suryaningrat. Beliau adalah kerabat Paku Alam. Itulah sebabnya beliau mengenyam pendidikan sekolah Belanda, bahkan sampai ke STOVIA, sekolah untuk para calon dokter Jawa (hal 10). Namun Ki Hajar Dewantara tidak menamatkan pendidikannya tersebut. Lingkungan keluarganya, yaitu Pakualaman sangat berpengaruh terhadap cara berpikir dan bertindak Suwardi Suryaningrat. Lingkungan Pakualaman adalah lingkungan yang sudah terbiasa berpikir maju, terlibat dalam organisasi-organisasi, seperi Budi Utomo dan pendirian sekolah-sekolah untuk rakyat.

Ki Hajar Dewantara berkarier di dunia jurnalisme. Tulisan-tulisannya sangat tajam tetapi halus. Ia memperjuangkan anti diskriminasi yang dipraktikkan oleh kaum penjajah di Hindia Belanda. Bahkan saat sudah dalam pembuangan di Belanda, beliau masih sangat aktif menjadi jurnalis. Ki Hajar Dewantara mengupayakan bagaimana caranya orang-orang bumiputra yang terpinggirkan ini mendapat kesempatan untuk mendapat kesetaraan secara sosial-politik dalam masyarakat kolonial (hal 13). Ki Hajar Dewantara tidak hanya berjuang melalui politik, tetapi juga melalui pendekatan kultural.

Ki Hajar Dewantara menjadi perhatian pemerintah kolonial secara mendalam saat beliau menerbitkan artikel berjudul “Seandainya Aku Seorang Belanda.” Artikel ini secara keras mengkritik pemerintah kolonial yang akan memperingati kemerdekaan Belanda dari Perancis dimana biayanya dibebankan kepada rakyat. Akibat dari artikel tersebut, Tiga Serangkai yang mendirikan Indische Partij ditangkap dan diasingkan ke Belanda (hal. 18). Dalam pembuangan itulah Ki Hajar Dewantara mengalami pematangan perjuangan politik.

Suasana politik di era Ki Hajar Dewantara adalah suasana dimana partisipasi politik orang Bumi Putera dibatasi. Itulah sebabnya perjuangan politik orang Jawa lebih banyak melalui jalur perjuangan kultural, seperti Organisasi Budi Utomo dan berdirinya sekolah-sekolah untuk orang Jawa (hal. 15). Kiprah Ki Hajar Dewantara di bidang perjuangan nasional bermula dari Organisasi Budi Utomo. Namun saat kesempatan berpolitik secara aktif terbuka, Ki Hajar Dewantara segera memanfaatkannya. Ia bergabung dengan Douwes Dekker dan Tjipto Mangoennkoesoemo mendirikan Indische Partij. Meski partai ini tidak mendapatkan ijin dari pemerintah kolonial dan akhirnya mati, namun berdirinya partai ini telah membuat tonggak nasionalis di Hindia Belanda (hal. 16). IP telah membangkitkan semangat kebangsaan, termasuk kepada organisasi Syarekat Islam. Gagasan modernism dan reformasi Islam yang muncul di Universitas Al-Azhar di Kairo bertemu dengan semangat kebangsaan yang dipicu oleh Tiga Serangkai.

Saat dibuang ke Belanda gagasan perjuangan politik dan pendidikan Ki Hajar Dewantara matang. Profesinya sebagai jurnalis membuat ia memahami apa yang sedang terjadi di Negeri Belanda. Ia terus berhubungan dengan situasi politik Belanda.

Saat pembuangan di Belanda juga dimanfaatkan oleh Ki hajar Dewantara untuk mempelajari sistem pendidikan yang baik. Keluarga Ki Hajar Dewantara tidak mendapatkan dukungan keuangan yang cukup saat berada di Belanda. Untuk menambah penghasilan Sutartinak, istri Ki Hajar Dewantara mengajar di sebuah taman kanak-kanak. Diilhami oleh profesi istrinya sebagai guru, Ki Hajar Dewantaramengambil kuliah singkat tentang pendidikan (hal. 55). Bekal ilmu dari kuliah inilah yang kemudian membawa Ki Hajar Dewantara bisa mendirikan Taman Siswa yang sangat bagus.

Sementara gerakan nasionalisme terus bertumbuh, Ki Hajar Dewantara membangun gerakan kultural dengan mendirikan Taman Siswa (1922). Meski sudah membangun gerakan kultural melalui Taman Siswa, kiprah Ki Hajar Dewantara di dunia gerakan tidak berhenti. Beliau ikut terlibat dalam penyelenggaraan Sumpah Pemuda (1928). Bisa disimpulkan bahwa perjuangan nasionalisme Ki Hajar Dewantara adalah melalui gerakan kultural dan gerakan politis secara bersamaan.

Perkembangan persekolahan swasta untuk orang Bumi Putra dimulai sejak tahun 1920, bersamaan dengan munculnya politik etik Belanda. Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa adalah sebagai alat mobilisasi politik dan sekaligus sebagai penyejahtera umat (hal. 33). Ia membangun persekolahan yang beda sama sekali dengan persekolahan kolonial. Menurut Ki Hajar Dewantara persekolahan yang cocok untuk bangsa timur adalah persekolahan yang humanis, kerakyatan, dan

Kebangsaan (hal. 34). Untuk mewujudkan hal tersebut, perilaku guru harus Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Hubungan guru dan murid harus seperti hubungan dalam keluarga. Proses belajar harus terjadi sepanjang hari dan sepanjang hayat.

Namun upaya pendidikan Bumi Putera ini tidaklah mulus. Belanda berupaya menghalangi bertumbuhnya persekolahan Bumi Putera yang sejalan dengan berkembangnya nasionalisme. Itulah sebabnya pada tahun 1932, Pemerintah Kolonial mengeluarkan Undang-Undang “Ordonansi Sekolah Liar” atau “Onderwijs Ordonantie” disingkat OO 1932, dimuat dalam Staatblad 1932 No. 494 (hal. 165). Ki hajar Dewantara tidak tinggal diam. Beliau melawan secara politis sampai akhirnya penerapan undang-undang ini ditunda.

Kiprahnya dalam perjuangan nasional dan pendidikan membuat Ki Hajar Dewantara diberikan jabatan Menteri Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan pada kabinet pertama Republik Indonesia yang disusun oleh Sukarno dan Hatta.

Sudah terbukti bahwa Ki Hajar Dewantara adalah pejuang nasionalisme Indonesia sekaligus pelopor pendidikan nasional Indonesia. Sudah selayaknya hari lahir beliau diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler