x

Iklan

Yugha Erlangga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pendidikan Kita dan Pelajaran dari Jagat Sinematik Marvel

Membangun sistem pendidikan harus disertai kesungguhan semua pemangku kepentingan. Mengapa Jagat Sinematik Marvel bisa menjadi contoh yang patut ditiru?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tahun 2008, Tony Stark baru saja mengumumkan kepada dunia bahwa dialah sosok di balik topeng pahlawan superhero Ironman. Dunia terperanjat. Lalu, di tengah popularitasnya yang kian meroket, Tony dikejutkan oleh kemunculan seorang laki-laki di ruang tamu rumahnya. “Kamu pikir hanya kamu satu-satunya pahlawan super di dunia ini,” ujar lelaki berkulit hitam yang belakangan diketahui sebagai direktur dari lembaga rahasia SHIELD, Nick Fury. Sang kolonel pun mengajukan tawaran kepada Tony untuk bergabung dalam program Avengers Innitiative. Namanya juga Tony (diperankan dengan sempurna oleh Robert Downey Junior), sudah tampan, kaya, pintar, dan sombong. Kita tahu apa jawabannya.

Tak banyak yang tahu bahwa proyek Iron Man pada 2008 itu adalah pijakan awal untuk rencana ambisius raksasa komik Amerika itu dan si tikus hitam, Disney. Pada tahun yang sama dirilis juga film Marvel yang lain, The Incridible Hulk, yang dibintangi Edward Norton. Di film tersebutlah, sinyal-sinyal crossover antarikon pahlawan super mulai terlihat. Di akhir kredit film The Incridible Hulk, Tony Stark menemui Jenderal Thaddeus “Thunderbolt” Ross, lalu berkata, “Dengarkan aku, bagaimana jika kita membentuk tim bersama?”

Crossover atau persilangan antarpahlawan superhero adalah hal yang biasa di dalam komik, serial kartun, hingga serial televisi. Bahkan, komik lokal Indonesia sudah melakukannya jauh hari. Ketika itu karakter Gundala karya Hasmi bertemu dengan sosok Godam karya Wid NS, atau dengan karakter lain seperti Sri Asih, Pangeran Mlaar, dan Aquanus. Tapi, untuk layar lebar berskala raksasa gagasan crossover adalah rencana yang ambisius. Marvel Studios hampir kehilangan semua karakter ikoniknya seperti X-Men (dimiliki oleh Fox) dan Spiderman (dimiliki oleh Sony). Padahal, gerombolan mutan dan manusia laba-laba adalah karakter yang begitu populer pada masa itu. Film X-Men yang disutradarai oleh Bryan Singer dan memasuki sekuel keduanya mendapat respons yang luar biasa setiap penayangannya. Karakter Wolverine sudah teramat melekat pada diri aktor Hugh Jackman.  Sementara trilogi Spiderman-nya Sam Raimi, telah menjadikan Tobey McGuire dan Kirsten Dunst sebagai sepasang kekasih yang popularitasnya mulai menggeser pamor Clark Kent dan Louis Lane.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lalu dari manakah Kevin Feige, Produser sekaligus Presiden dari Marvel Studios, memulai proyek ini? Mereka masih memiliki Iron Man, Hulk, Captain America, Thor, dan beberapa ikon superhero lain. Ketika Iron Man hadir pada 2008, pada tahun yang sama DC Comics dan Warner Bros merilis sekuel Batman, The Dark Knight yang disutradarai oleh Christopher Nolan, yang berhasil mencuri perhatian dan didaulat sebagai film superhero terbaik sepanjang masa hingga hari ini.

Ironman memang film menarik dan awal yang bagus. Tetapi kehadirannya bukan lawan seimbang bagi The Dark Knight dengan karakter The Joker yang diperankan mendiang Heath Ledger. Feige pun harus mafhum betapa film pertama Captain America dan Thor juga mendapatkan penilaian yang tak begitu baik oleh publik –meski meraih untung. Tapi, setidaknya, Marvel Studios telah berinvestasi dengan memperkenalkan satu per satu karakter pentingnya kepada publik sejak 2008. Hingga 2011, menjelang film pertama The Avengers, publik telah mengenal karakter Ironman, Thor, Captain America, Hulk, Black Widow, Hawkeye, bahkan War Machine.

Bagi publik Indonesia yang lebih memilih menonton filmnya ketimbang membaca komiknya dengan tekun (periksa kembali tingkat literasi kita), maka mereka mulai menjadi penonton setia film Marvel Cinematic Universe atau Jagat Sinematik Marvel. Hebatnya, setiap penayangan sebuah film akan ada petunjuk yang mengarah pada kelanjutan kisah superhero berikutnya. Sebagai contoh, pada akhir judul kredit film Ironman 2, maka para penonton akan sadar ada palu Mjolnir yang tertancap di salah kawasan gurun.  Pada film Thor baru kita tahu bahwa putra mahkota Odin itu dihukum sang ayah dengan dilempar ke bumi.

Bagaimana dengan Steve Rogers alias Captain America? Kehadirannya hadir “tipis-tipis” dalam film-film Ironman maupun Thor. Kehadirannya disebutkan dalam Proyek Manhattan hingga kehadiran batu Tesseract. Captain America pernah diangkat ke layar lebar pada 1990 oleh Albert Pyun dan ditulis oleh Stephen Tolkin dan Lawrence Block. Sayang, nasibnya tragis digilas popularitas Batman Tim Burton yang rilis setahun sebelumnya.  Kali ini, dengan bantuan teknologi grafis modern, New York era Perang Dunia II bisa hadir begitu nyata di hadapan penonton. 

Setelah bersabar hampir empat tahun, setelah pertemuan Tony Stark, Nick Fury, dan Thaddeus Ross, maka pada 2012 proyek film Avengers pertama dirilis. Penonton di sleuruh dunia dibuat penasaran bagaimana rasanya para pahlawan super, dengan egonya masing-masing, berada dalam satu kisah. Sementara itu, DC Comics tidak mau ketinggalan dengan sekuel Batman, The Dark Knight Rises, sekaligus penutup dari sebuah trilogi. Pada saat yang sama, film Superman pertama sejak 2006, berjudul Man of Steel yang disutradarai oleh Zack Snyder akan rilis pada 2013. Berbeda dengan Marvel, tak ada keterkaitan antarfilm pahlawan DC.

Avengers sukses besar. Kisahnya yang bisa ditonton oleh segala lapisan usia menjadikan film kumpulan Superhero itu begitu diminati. Para penonton dimanjakan oleh pertarungan Avengers melawan Loki dan balatentara aliennya di New York. Bagi penggemar DC, melihat Batman, Superman, Wonder Woman, Flash, dan Green Lantern melakukan hal serupa masih jauh panggang dari api. Joss Whedon, sutradara Avengers, dan Kevin Feige seolah masih ingin melanjutkan mimpi mereka dengan proyek Avengers ini. Alhasil, di akhir film, ada sebuah adegan yang menunjukkan kehadiran sosok yang berpotensi menjadi musuh utama dalam Marvel Cinematic Universe: Thanos.

Tapi, pundi-pundi uang rasanya masih akan terus berdatangan dalam perjalanan Marvel Cinematic Universe. Perjalanan Captain America berlanjut dua sekuel, Kisah solo Ironman berhenti di film ketiga saat berhadapan dengan The Extremist, dan Thor yang berlanjut hingga film ketiga berjudul Thor Ragnarok. Lalu, hadirlah karakter pahlawan lain seperti Ant-Man, Scarlett Witch, Falcon, Spiderman (kemunculannya hadiah terindah bagi penggemar Marvel), dan, terakhir, Black Panther. Dari nama-nama baru itu hanya Ant-Man, Black Panther, dan Spiderman yang dibuatkan film solonya. Belum lagi kehadiran Guardian of The Galaxy  arahan James Gunn yang mencuri perhatian dengan menonjolkan sisi retro 80-an.

Para penggemar Marvel lama pasti bisa menembak ke arah mana semesta Marvel ini bergerak. Kisah yang panjang ini berujung pada ambisi Thanos mengumpulkan keenam elemen infinity stones, seperti Power Stone, Space Stone, Reality Stone, Mind Stone, Time Stone, dan Soul Stone. Kisah dalam Marvel Cinematic Universe seolah disusun dengan rapi dan mampu membaca masa depan. Padahal, proyek Captain America: Civil War pada 2016 lalu tak lebih dari reaksi Marvel atas rencana DC merilis film unggulan mereka, Batman v Superman: Dawn of Justice, yang ternyata tidak mendapat respons yang menggembirakan di pasaran.

Meski produk reaktif, Captain America: Civil War menjadi fase penting ketika persekutuan para pahlawan porak-peranda akibat ego dua pentolannya: Captain America dan Ironman. Keretakan hubungan ini pula yang terasa hingga film terakhir, Avengers: Infinity War.  Di film ketiga Captain America ini pula, Spiderman kembali bergabung dengan pahlawan super lainnya. Akhirnya, Sony rela berbagi hak cipta karakter Spiderman kepada Disney dan Marvel Studio. Mungkin keputusan ini juga tidak lepas dari kegagalan proyek lanjutan Amazing Spiderman yang diperankan oleh aktor Andrew Garfield.

Dan setelah satu dekade, apa yang didapat Kevin Feige dan Marvel Studio? Dalam catatan BBC, film Avengers: Infinity War mencatat sejarah dengan pendapatan box office global 630 juta dollar AS (Rp 8,75 triliun) pada minggu pertama penayangannya, menurut perkiraan perusahaan pemantau industri film Exhibitor Relations. Angka tersebut belum termasuk pendapatan box office dari gedung-gedung bioskop di China, yang belum menayangkan film jagoan super terbaru dari Marvel Studios ini. Jika perkiraan ini dipastikan, Infinity War akan melampaui rekor film The Fate of The Furious, yang meraup 542 juta dollar AS pada minggu pertama penayangannya pada 2017. Film ini juga diklaim sebagai gerbang masuk fase ketiga dari Jagat Sinematik Marvel.

Apa yang Bisa Kita Ambil dari MCU?

Jika diperhatikan dengan seksama, film-film jagat Marvel ini memiliki peningkatan dari fase ke fase. Sebagai contoh, Captain America: The First Avengers bisa dibilang sebagai film yang datar saja secara kualitas. Namun, sekuelnya Captain America: Winter Soldier dan Civil War, kita melihat bagaimana kisah Steve Rogers tak lagi hitam-putih. Ia bukan lagi pahlawan. Lebih dari itu, Rogers malah diburu karena dianggap melawan pemerintah. Russo bersaudara yang menyutradarai sekuel Captain America itu mengaku penggemar film Indonesia The Raid. Karena itu, elemen-elemen The Raid sedikit terasa dalam beberapa adegan pertarungan dalam sekuel Captain America tersebut.

Jagat Sinematik Marvel memberikan pelajaran yang berharga tentang ‘rencana jangka panjang’ . Bagaimana menghadirkan tontonan yang berkesinambungan untuk waktu yang lama. Kevin Feige dan jajaran kreatif di belakangnya, bahkan mungkin, campur tangan si gaek Stan Lee, mampu memilih skala prioritas karakter yang hadir dalam setiap filmnya. Siapa sangka hari ini, setidaknya di layar bioskop hari ini, Avengers bisa mengalahkan popularitas kumpulan pahlawan DC, Justice League. Ketika Christopher Nolan menutup mahakarya The Dark Knight Trilogy-nya pada 2012, Jagat Sinematik Marvel bahkan baru saja memulai petualangannya yang panjang. Bahkan, sutradara Avengers pertama, Joss Wedhon, diminta oleh Warner Bros selaku pemilik hak cipta karakter DC Comics untuk menulis dan menyutradarai ulang Justice League yang ditinggal Zack Snyder dianggap gagal total.

Mengaca dari Jagat Sinematik Marvel, kita bisa memaknainya untuk hal lain, salah satunya bidang pendidikan. Kesuksesan tak ada yang lahir karena sesuatu yang instan.  Keberhasilan sebuah sistem tidak hanya didukung oleh ambisi para perancangnya, juga dukungan dari publik. Bagaimana cara kita menggaet publik? Hibur mereka. Jangan bebani mereka karena dianggap sudah tahu hingga tak perlu dibimbing untuk memahami hal-hal sederhana.

Di sinilah letak kesalahan Zack Snyder dalam Batman v Superman. Film itu bisa dibilang sungguh luar biasa bagi penggemar DC yang telah lebih dulu memahami elemen-elemen penting dalam cerita Batman maupun Superman klasik. Jika Anda awam, dipastikan pusing memahami maksud dalam beberapa adegan di film tersebut. Seperti Jagat Sinematik Marvel, jadikan setiap fase dalam pendidikan sebagai teka-teki yang membuat peserta didik penasaran untuk terus menerus mengikuti jalan ceritanya sampai ujung.

Alhasil, kita akan melihat passion di sana. Sekolah tak lagi menjadi tunai kewajiban atau sekadar memenuhi tuntutan sosial. Seperti kata tokoh penting dalam Jagat Sinematik Marvel, Steve Rogers, “Ciri-ciri paling berharga yang bisa dimiliki oleh tentara dan siswa adalah kesabaran. Kadang, kesabaran adalah kunci dari sebuah kemenangan.” Setelah satu dekade, Jagat Sinematik Marvel berhasil mencapai kesuksesan besar. Sistem pendidikan kita juga bisa meraihnya jika mau konsisten dan tidak bongkar pasang sistem dengan kepentingan sesaat.  

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Yugha Erlangga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler