x

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Merekonstruksi Ketakwaan dalam Dimensi Kemanusiaan

Ketakwaan ibarat energi potensial yang mewujud melalui aktualisasi kekaryaan, aktivitas, atau kerja nyata yang justru dirasakan manfaatnya oleh masyarakat

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejauh ini, konsep takwa dalam ajaran Islam selalu dipahami sebagai sikap menjalankan seluruh perintah dan menjauhi segala larangan Tuhan. Pemaknaan ini tentu saja benar, walaupun seringkali tereduksi sebatas ketaatan secara vertikal kepada Tuhan, seraya melupakan prinsip-prinsip kesalehan sosial. Istilah “taqwa” yang terambil dari akar kata “waqa” yang berarti “menjaga”, “melindungi” atau “memperbaiki” erat sekali kaitannya dengan prinsip kesalehan sosial. Seseorang yang mampu mengaktualisasikan dirinya, melalui penjagaan terhadap segala perbuatan buruk atau kemaksiatan; melindungi diri dan keluarganya dari kemiskinan, kebodohan atau keterbelakangan;  dan memperbaiki setiap kekurangan atau kesalahan yang ada pada diri terkait lingkungan sekitarnya, merupakan aktualisasi ketakwaan yang jarang sekali diungkap.

Menarik ketika ayat al-Quran menyebut prinsip ketakwaan merupakan bekal yang paling baik selama manusia meniti kehidupannya di dunia. “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal” (QS. 2:197). Bekal, tentu saja tidak selalu identik dalam wujud materi yang dibawa ketika melakukan perjalanan, namun yang terpenting justru kesiapan mental-spiritual. Membawa bekal secara materi pasti terikat waktu dan kondisi yang tentu saja akan lapuk, rusak, atau habis, lain halnya dengan bekal takwa yang justru semakin bertambah bukan berkurang bahkan tak akan habis terkikis.

Ketakwaan ibarat energi potensial yang mewujud melalui aktualisasi kekaryaan, aktivitas, atau kerja nyata yang justru dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Itulah kenapa, orang bertakwa dalam banyak hal menempati struktur tertinggi secara sosial, karena hasil karyanya yang nyata bermanfaat dan diakui oleh masyarakat. Bukankah Tuhan menyatakan bahwa derajat keluhuran setiap orang diukur dari ketakwaannya? Bukan karena latar belakang keturunannya, kekayaan, atau status sosial dirinya dalam masyarakat. Ketakwaan adalah nilai kesempurnaan seseorang dihadapan Tuhannya, bukan sekadar ketaatan ibadahnya,tetapi karena aktualisasi nilai-nilai kehidupannya secara nyata. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketika Allah menegaskan bahwa takwa adalah bekal terbaik, maka tak ada perbekalan yang paling sempurna untuk menuju kehadirat-Nya, kecuali amal perbuatan yang mewujud dalam karya nyata. Takwa tak lain merupakan buah kebaikan dari setiap karya yang diwujudkan dan dirasakan manfaatnya oleh banyak orang. Takwa adalah kreativitas dan aktualisasi dari setiap potensi kemanusiaan yang terus dikumpulkan menjadi perbekalan yang selalu kita kumpulkan sepanjang hidup, sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya bekal di hadapan sang Khalik. Oleh karenanya, ketakwaan disebut Rasulullah sebagai puncak tertinggi dari kesempurnaan, tercerabut dari ruang  perbedaan kemanusiaan secara fisik-materialistik. “Tak ada bedanya Arab bukan Arab, berkulit hitam atau berkulit merah, kecuali karena ketakwaannya (karya nyatanya) yang bermanfaat”, demikian penggalan salah satu hadis dari Rasulullah.  

Ketakwaan hanya dapat digapai dan dipahami oleh mereka yang mampu memaksimalkan fungsi akal sehatnya, karena dengan akalnya, manusia mampu menempati kedudukan paling mulia disisi Tuhan. Bukankah orang yang paling banyak amalnya adalah mereka yang berilmu pengetahuan? Ilmu erat kaitannya dengan potensi akal yang diaktualisasikan. Bukan suatu kebetulan, setelah Allah memerintahkan agar membekali diri dengan ketakwaan, lalu secara khusus Allah berdialog dengan orang-orang berakal, melalui ungkapan-Nya, “Wattaquuni yaa ulil albaab” (bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal).

Dalam bahasa agama takwa memang identik dengan rasa takut (khauf) dan malu (khasiya) kepada Tuhan. Hal ini tentu mendorong setiap orang tak luput dari melakukan kebaikan dan kemanfaatan dan cenderung menghindar dari keburukan dan kesia-siaan. Dalam sebuah riwayat sahih, Rasulullah menyatakan, “Bertakwalah kepada Allah dimanapun kamu berada. Dan ikutilah setiap perbuatan burukmu dengan perbuatan baik, karena perbuatan baik akan selalu menutupi dan menghapus jejak keburukanmu, sehingga yang muncul di permukaan adalah prilaku yang terpuji (khuluqin hasanin)”. Ketakwaan dengan demikian, cermin dari keseimbangan hidup yang ditunjukkan oleh praktik perbuatan baik yang terus menerus, sehingga akan menutupi dan menghapus setiap perbuatan buruk yang dilakukan.

Tidak berlebihan jika saya simpulkan, ketakwaan adalah kreativitas, karya nyata, aktifitas positif dan aktualisasi seluruh potensi yang ada dalam diri setiap orang. Seluruh wujud kebaikan itu adalah bekal yang sebenarnya yang dapat mengangkat derajat kemuliaan seseorang. Siapapun yang dengan semangat beraktivitas dan menghasilkan kerja atau karya nyata yang bermanfaat bagi orang banyak, itulah yang dimaksud sebagai “jalan keluar” (makhraja) sebagaimana Allah janjikan. “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar” (QS. Ath-Thalaq:2). Allah tentu saja tak akan membukakan jalan keluar yang baik, sekiranya seseorang berdiam diri hanya melakukan aktivitas ritual ibadah, tanpa aktualisasi dirinya dalam konteks sosial. Namun, ketika seluruh aktivitas kebaikan itu diwujudkan dalam bentuk kerja dan karya nyata, maka Allah pasti akan membukakan jalan keluar dari sekian banyak permasalahan hidup kemanusiaan.

Dalam konteks kekinian, rasa-rasanya sulit jika mindset kita soal ketakwaan selalu setback dengan memandang ke masa lalu tanpa mempedulikan masa depan. Bagi saya, logika agama itu dinamis tidak statis, sehingga perlu penafsiran ulang terhadap konsep-konsep bahasa agama didalamnya, termasuk merekonstruksi makna ketakwaan. Alangkah terbelakangnya umat Islam, ketika ketakwaan hanya direduksi sempit dalam konteks peribadatan secara vertikal, tanpa proses aktualisasi nyata dalam setiap perubahan sosial. Masyarakat tentu saja dinamis, terus bergerak mengikuti perkembangan zamannya, begitupun seluruh perangkat ajaran Islam harus mampu “sholihun li kulli zaman wa makan” (aktual dalam setiap pergerakan dan perubahan).

Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa, itu artinya ketakwaan benar-benar mewujud dalam bentuk aktualisasi bukan sekadar basa-basi. Wasiat soal ketakwaan yang setiap hari Jumat didengungkan di setiap masjid, bukan sebatas retorika, tetapi wujud nyata yang harus diraih oleh setiap orang beriman. Ibnu Abbas ketika menafsirkan kalimat “haqqa tuqaatihi” dalam surat Ali Imran ayat 122 disebutnya sebagai “yujaahidu fi sabilihi haqqu jihaadih” (berjihad di jalan Allah, mencurahkan segala potensi yang ada dengan sebenar-benarnya). Jihad adalah wujud nyata dari ketakwaan dalam konteks aktivitas manusia yang senantiasa bergerak, dinamis, dan berkelanjutan. Jihad adalah upaya sungguh-sungguh dalam mewujudkan seluruh potensi yang ada dalam diri manusia, bukan malah terbelenggu oleh cara pandang masa lalu yang serba kaku.

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB