x

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

#SeninCoaching: Anda Siap Megah dalam Ketiadaan?

Mereka termasuk golongan manusia yang berjiwa merdeka, bebas dari ketergantungan pada kesementaraan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Leadership Growth: Attached to Infinity, Be the New You

 

Mohamad Cholid

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Practicing Certified Business and Executive Coach.

 

Attach yourself to Me. No one is more inward than I.” – Ibn Arabi.

Arjuna dilanda kebimbangan untuk melepaskan anak panahnya ke sasaran, ke lawan-lawannya. Mereka sebagian merupakan saudaranya sendiri, ada pula kawan-kawannya.

Memimpin pasukan bertempur melawan Kurawa di kancah Kurukshetra bagi Arjuna tantangan terbesarnya bukan urusan teknis menggunakan senjata, yang sudah sangat dikuasainya sebagai Pangeran Pandawa. Tapi melawan ego-nya sendiri. Mengatasi keterikatannya pada asumsi-asumsi pribadi, yang kenyataannya harus selalu diuji. Arjuna belum dapat melihat dari perspektif Langit, maka sering menjadi peragu.

Batara Kresna, guru spiritual yang bertindak sebagai sais kereta perang Arjuna, menegaskan, lakukan saja eksekusi dengan efektif. Untuk membuktikan diri layak sebagai seorang pemimpin, Arjuna mesti sanggup melaksanakan kshatriya dharma, tindakan kongkrit seorang perwira.

Dialog Kresna dan Arjuna dalam Kitab Bhagavat Gita itu menggambarkan pilihan-pilihan tindakan seorang pemimpin untuk meraih harkat kemanusiannya. Lembah pertempuran Kurukshetra oleh banyak kalangan diinterpretasikan sebagai kancah perang batin yang sering dihadapi manusia dalam upaya membebaskan diri dari keterikatan kepada hal-hal semu di dunia. Agar sanggup melakukan selfless action, demi kepentingan-kepentingan lebih mulia.

Tujuan utamanya adalah moksha – merdeka dari segala ikatan kesementaraan, barangkali bisa disebut sebagai mencapai tahap “kemegahan dalam ketiadaan, lebur dalam cahaya Tuhan”.

Ajakan Bhagavat Gita agar setiap orang yang mengaku dirinya pemimpin dapat melakukan selfless action telah menginspirasi tokoh-tokoh kemerdekaan India, seperti Bal Gangadhar Tilak dan Mahatma Gandhi. 

Menganggap Bhagavat Gita sebagai “spiritual dictionary” bagi dirinya, Gandhi menuturkan, “The object of the Gita appears to me to be that of showing the most excellent way to attain self-realization, and this can be achieved by selfless action."

Kata kuncinya adalah selfless action. Sanggupkah Anda untuk melakukannya? Biasanya dimulai dengan bersikap rendah hati, berani menghadapi fakta diri dan situasi tantangan sekarang. Lantas mengambil langkah dan tindakan baru untuk meningkatkan kualitas kehidupan bersama.

Tidak perlu galau dulu. Kalau menurut Ken Blanchard, konsultan bisnis dan penulis sejumlah buku manajemen dan kepemimpinan, antara lain The One Minute Manager, orang-orang yang bersikap rendah hati tidak berarti kurang memikirkan diri sendiri; tapi berpikir untuk kepentingan dirinya lebih sedikit dibanding untuk kemaslahatan bersama yang lebih baik.

Hari-hari ini masih banyak dapat kita temui para eksekutif yang niatnya ingin menjadi pemimpin sejati di organisasi, namun tindakan-tindakannya bertentangan, yaitu lebih sibuk pada bagaimana diri sendiri dulu baru urusan anak buah dan organisasi. Barangkali mereka tidak mementingkan diri terkait materi, tapi sibuk menggelembungkan ego dan ketidakpedulian.

Indikasi umum yang dapat dibaca dari gejala eksekutif yang masih bingung – barangkali juga sombong dan mengelak peluang menjadi lebih berkualitas – tersebut, antara lain senang busy-ness tapi belum juga menghasilkan bisnis. Untuk hal-hal yang ritual ceremonial selalu hadir, tapi untuk yang esensial, misalnya mengembangkan tim agar lebih hebat, sering absen. Pendelegasian diartikan sebagai instruksi normatif, belum melibatkan tim secara efektif. Informasi atasan ditahan sebagai modal menciptakan ketergantungan bawahan pada dirinya.

Orang-orang dengan kecenderungan seperti itu mungkin cerdas, punya keahlian dalam satu dua bidang, bahkan kelihatannya beragama, dan mengaku kerja ibarat ibadah. Tapi hatinya tertutup oleh upaya mengejar pujian atasan dan pangkat. Jiwanya terlalu attached pada hasil jangka pendek, belum dapat menghormati proses bersama tim secara lebih elegan.

Di sekitar Anda ada kan orang-orang dengan tabiat yang merugikan banyak pihak seperti itu?

Mungkin juga mereka pernah berprestasi di masa lalu, dapat pujian bos, lalu terus mengunyah-ngunyah kenangan itu. Perilaku begitu menyebabkan seseorang terlibat bad faith – senang lari dari kenyataan (dan tantangan), refusal to confront fact and choices.

Bad faith also results when individuals begin to view their life as made up of distinct past events. By viewing one's ego as it once was rather than as it currently is, one ends up negating the current self and replacing it with a past self that no longer exists,” kata Jean-Paul Sartre, filsuf eksistensialis Prancis.

Anda bisa bayangkan, apa jadinya kalau seorang eksekutif yang diharapkan jadi leader ternyata terjebak dalam kondisi sebagaimana digambarkan Sartre itu? Rasanya akan menyebabkan dia sulit eksis dan tidak  mampu “hadir penuh” dalam memimpin tim. Perilaku ini dapat menimbulkan bottle-neck operasional organisasi. Dalam bisnis dapat menggerus bottom line.

Para eksekutif dan leaders yang berhasil memimpin organisasi meraih prestasi lazimnya bersedia melepaskan beban masa lalu, fokus pada kenyataan sekarang, menjalani proses dengan upaya-upaya terbaik, dan membebaskan diri dari keinginan-keinginan sesaat, seperti pujian bos dan entitlement lain dalam segala bentuknya.

Mereka termasuk golongan manusia yang berjiwa merdeka, bebas dari ketergantungan pada kesementaraan, dan biasanya tidak suka ngawula, tidak merasa perlu “cari muka” atau “ja-im” (jaga image).

Penegasan Bhagavat Gita agar para pemimpin bisa melakukan selfless action dan melepaskan diri dari kebiasaan “menggadang-gadang” hasil, detached from result, tampaknya seirama dengan ajaran-ajaran Islam dan Nasrani. Pasrahkan segala perbuatan baik dan amaliah kita kepada Pemilik Alam Semesta untuk menilainya.   

Di situ pentingnya peran para stakeholders (direct reports, peers, atasan, dan keluarga – orang-orang yang terkena impact langsung dari perilaku kepemimpinan kita) memberikan masukan, feedback dan feedforward. Mereka adalah mitra akuntabilitas di dunia ini, membantu memberikan evaluasi dan saran atas perilaku kepemimpinan kita berdasarkan persepsi mereka.

Melalui program pengembangan kepemimpinan Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC), para eksekutif dan leaders yang rendah hati menggali diri, berani melakukan self-improvement, serta siap “reinkarnasi” menjadi pribadi-pribadi yang lebih efektif, dapat mengandalkan para stakeholders masing-masing. Jadi tidak perlu bertapa di gua atau semedi di hutan atau minta nasihat dukun.

Hadapi saja fakta hari ini. Lantas tentukan sikap dan ambil tindakan, setelah merenungkan dan mengolah feedback dan feedforward para stakeholders.

Setiap hari, saat bercermin ajukan pertanyaan Marshall Goldsmith ini ke diri sendiri: “What can you do today to learn and grow from situations, people, events rather than just react to them?”

 

Mohamad Cholid  adalah Head Coach di Next Stage Coaching.

n  Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching

n  Certified Marshall Goldsmith Global Leader Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

(http://sccoaching.com/coach/mcholid1)  

 

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

2 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB