x

Iklan

Anthomi Kusairi SH MH

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Polisi di Pusaran Politik Kekuasaan

“Anggota Polri harus netral, tidak berpihak juga tidak foto – foto dengan calon kepala dan wakil kepala daerah.”

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Polisi di Pusaran Politik Kekuasaan”

Oleh : Anthomi Kusairi, SH., MH.*

 

“Anggota Polri harus netral, tidak berpihak juga tidak foto – foto dengan calon kepala dan wakil kepala daerah.” Kalimat ini muncul dengan tegas dari seorang Kepala Kepolisian Republik Indonesia didepan rapat yang diikuti oleh Komisi II dan Komisi III DPR RI di awal tahun 2018. Sebuah realitas yang absurd. Bagaimana Polri mampu bersikap netral jika cara – cara kekerasan yang sedang dan akan terus berlangsung ada didalam sistem kerja yang menjadikan Pancasila sebagai dasar, gerak dan nafas dalam setiap aktivitas kesehariannya.    

Gaung  tentang netralitas polisi dikancah perpolitikan bukanlah hal yang baru. Namun yang terjadi malah sebaliknya antara polisi dan politik telah hidup seperti dua muka keping uang logam yang tidak mungkin terpisahkan. Disini kita akan lebih tahu secara mendalam bagaimana polisi yang watak militernya masih melekat walau telah lama disipilkan bertautan dengan rezim yang memiliki irisan kepentingan politik yang sama dan  berusaha mengeksploitasi seluruh aparatur dibawahnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam tulisan ini, penulis sangat menggarisbawahi bahwa permasalahan kekerasan dalam politik tidaklah semata – mata datang begitu saja. Akan tetapi upaya mencari dalang dibalik politik kekerasan yang terjadi sebagai sebuah angan belaka dan sekaligus menjadi problem dari sebuah sistem otoriterian. Tentu pembahasan yang demikian tidak bermaksud melupakan pentingnya penegakan hukum dan keadilan bagi korban dan keluarga korban.

Untuk kembali menumbuhkan kepercayaan masyarakat sebagai sebuah keniscayaan politik, jelas ini penting dalam sejarah politik negeri. Polisi seolah menemukan momentum paska lepas dari militer. Kekuatan dan otoritas politik polisi kemudian memperoleh dasar pembenaran heroisme dan justifikasi hukum dibalik politik kekerasan yang terjadi. Bahkan heroisme itu telah diganjar dengan penghargaan – penghargaan dan sanjungan dari elit politik walaupun itu melanggar prinsip – prinsip keadilan. Kalau lebih dalam dilihat akan bertemu benang merah antara politik kekerasan dan etos tirani politik elit yang akan terus dipertahankan sebagai landasan gerak.    

Dalam catatan Komnasham juga membenarkan bahwa pelanggaran HAM yang dibuat oleh polisi paling banyak diadukan oleh masyarakat. Cara penanganan kasus yang masih jauh dari ilmiah dan banyak bukti yang sesungguhnya dapat diuji, namun dihilangkan atau sengaja diabaikan. Dalam peletakan pola kerja seperti inilah masyarakat merasa tidak memiliki polisi sebagai pilar penegak keadilan yang berhak mengayomi dan melindungi masyarakat.    

Namun polisi masih saja merasa menjadi pemilik kebenaran sejati,  hal yang demikian akan menimbulkan permasalahan serius. Disamping terus menerus mencari pembenaran sebagai pewaris sah dari penegakan hukum sekaligus menjadi perpanjangan tangan politik pemerintah dalam mempertahankan “stabilitas”. Wujud kongkrit dari proses ini adalah tebang pilih pelaku ujaran kebencian, radikalisme ataupun mempersempit ruang gerak lawan – lawan politik negara yang berusaha menghambat program pemerintah yang berbasis membangun citra. Kemudian ditangan penguasa aparat kepolisian digunakan untuk memperluas makna cerita bohong (hoax), stabilitas ekonomi dan semua yang bermuara kepada calon tunggal (Kanalisasi Parpol). Soal pencalonan ini akan dibahas dalam tulisan lain. Sulit kiranya untuk diingkari banyaknya buruh yang terbunuh akibat kecelakaan proyek infrastuktur yang dibiayai oleh hutang, tidak memperoleh tindakan hukum yang semestinya dari pihak kepolisian juga dalam rangka klaim atas pewaris sah itu. Hal ini dengan jelas merujuk pada banyaknya kekerasan politik sepanjang pemerintahan sipil ini berkuasa yang juga menguap begitu saja tanpa jelas status hukumnya. Misalnya kasus Novel Baswedan dan kekerasan terhadap ahli IT, penangkapan beberapa orang di Jakarta dan Bandung dengan alasan ujaran kebencian, tragedi penganiayaan terhadap para pemuka agama, anti kritik atas nama kewibawaan negara dan seterusnya.          

Berbagai bentuk kekerasan itu muncul sebagai konsekuensi dari ambisi pemerintah yang semakin meluas, antara lain :

Pertama, konflik yang diciptakan bagi konsep keberlanjutan kekuasaan ala orde baru yaitu keterlibatan aparat keamanan secara utuh untuk menjaga stabilitas agar tercapainya tujuan – tujuan politik tertentu penguasa negara. Jelas dalam konteks ini polisi sebagai aktor penting untuk mendukung konsep stabilitas tersebut yang kemudian diwujudkan dengan keterlibatan polisi dalam sengketa politik dan hukum. Persoalan ini sudah menjadi mafhum dalam sistem ketatanegaraan yang menjadikan kekerasan sebagai mekanisme kerjanya, dianggap merupakan pilihan – pilihan strategis oleh elit yang berkuasa. Disini polisi sebagai agen pertahanan dan keamanan yang memiliki dasar bertindak.      

Kedua, konflik atas kebutuhan bisnis jenderal polisi. Para jenderal polisi tidak saja bertindak sebagai pengawal penguasa akan tetapi juga membangun dirinya sebagai pelaku usaha. Paling tidak ada beberapa model yang tumbuh sepanjang sejarah kepolisian Indonesia. Pertama, polisi sebagai penjaga modal ekonomi pengusaha, dalam hal ini menjadi bagian dari kapitalisasi ekonomi. Kedua, polisi berkepentingan membangun ekonominya sendiri yang berbasis pada kedekatan dengan akses kekuasaan. Bisnis jenderal polisi meliputi usaha perhotelan, kehutanan, pertambangan, perkebunan, pom bensin dan seterusnya. Dalam bisnis kehutanan banyak catatan bagaimana proses perambahan hutan rakyat oleh oknum polisi telah menimbulkan persoalan serius sampai sekarang. Bahkan momentum perubahan politik seperti yang terjadi pada tahun 1998 s/d 2005 telah digunakan untuk menghidupkan bisnis perkayuan yang dikelola oleh polisi melalui perambahan hutan rakyat dan memanfaatkan momentum politik untuk pembenaran terhadap semua tindak perambahan tersebut (lihat Indria Samego, 1998).   

Meski telah menjadi sipil namun sifat militeristik masih sangat melekat di polisi kita. Secara konseptual mensipilkan polisi yang telah mendarah daging jiwa militernya telah dilakukan, karena beberapa tindakan kekerasan yang banyak terjadi belakangan ini sangat terasa sekali aroma militeristiknya. Pengungkapan akan tindakan kekerasan tersebut tanpa proses hukum yang memadai dan sering begitu cepat dilupakan, atau ini memang sebuah kelalaian dengan membiarkan aktor intelektualnya kembali berulah agar dapat menunjukan kekebalan terhadap hukum dihadapan publik (Ketentuan konvenan PBB Jo. Code of conduct for law enforcement officials). Jelas ketegasan sikap Polri menyelesaikan peristiwa kekerasan yang telah menasional begitu diharapkan, ingin tetap berdiri disamping rakyat atau malah berpihak pada rezim yang berkuasa yang terus menerus menghegemoni polisi demi kepentingan diri dan kelompoknya.

Alih – alih mencari jawaban atas kasus Novel Baswedan dan penganiayaan terhadap para pemuka agama jelas yang terjadi adalah kemenangan demi kemenangan bagi kelompok yang berkuasa. Kekerasan masih dianggap sebagai kunci penyelesaian terhadap problem instabilitas. Seolah bahwa mempertahankan keutuhan wilayah adalah semata – mata dengan cara kekerasan. Tidak ada tempat bagi penyelesaian dialogis yang bersifat damai membuktikan diri bahwa sang aktor intelektual memberikan jawaban pada persoalan kebangsaan dengan tangan besi. Sehingga keputusan mengambil langkah pertahanan dan keamanan tidak bersandar pada konseptual yang didasarkan pada realita dilapangan tetapi pada kebutuhan subyektif sang aktor itu sendiri seperti untuk kepentingan hajat politik lima tahunan, integritas partai politik, mempertahankan jumlah kursi, kepentingan investasi dan akumulasi asset. Tentu dalam konteks ini bayarannya adalah banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi adalah sesuatu yang tidak pernah dipertimbangkan. Bahkan ditingkat tertentu dinilai keniscayaan untuk memperoleh sebuah kemenangan.     

Konflik perebutan kursi kekuasaan tidak hanya milik elit dalam negeri saja, akan tetapi juga kepentingan lintas negara untuk mengkooptasi sumber daya alam yang ada, mencoba mengintervensi figur dan tokoh selanjutnya bagaimana cara memenangkan kontestasi pemilihan orang nomor satu dinegeri ini.      

Dukungan penuh yang diberikan Tiongkok terhadap penguasa mengharuskan pemerintah mengawasi seluruh tindakan aparat kepolisian. Aparat diharuskan mengamankan pihak yang mencoba mengkritisi kebijakan pemerintah dan mereka yang berada dalam barisan oposisi, adanya pertikaian akibat gesekan merupakan konsekuensi jangka pendek. Bagaimana kekisruhan ini akan diakhiri jika para politisi tidak pernah memikirkan akibat dari tindakan yang pernah dilakukannya.

Ketiga, munculnya wacana capres tunggal merupakan kebutuhan penguasa memonopoli sistem demokrasi lewat pemilihan umum. Berbasis kemenangan pada pertarungan politik di pemilu tahun 2014 rezim yang berkuasa melakukan kontrol ketat atas segala bentuk kritik dan gerakan oposisi. Puncaknya adalah upaya rezim yang menjadikan Pancasila sebagai alat politik. Jelas dengan terencana rezim ini melakukan upaya deradikalisasi kepada lawan – lawan ideologis maupun politiknya. Tercatat kriminalisasi para aktivis Islam sepanjang rezim ini berkuasa atas nama ujaran kebencian dan anti Pancasila. Bahkan peristiwa penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan dan penganiayaan terhadap beberapa tokoh serta pemuka agama adalah tindakan radikal bagaimana obsesi itu diimplementasikan.     

Pembenaran atas kontrol ideologi diperkuat oleh berkembangnya penangkapan atas beberapa aktivis agama tertentu. Rezim jelas berkepentingan untuk menjaga setiap jengkal kekuasaannya diseluruh penjuru negeri ini, dipertegas melalui proses hukum yang tebang pilih seperti tidak semua pelaku ujaran kebencian diperlakukan sama dimuka hukum. Kekuatan aparat (polisi) menjadi semacam instrument penting bagi upaya membinasakan kecenderungan tumbuhnya kekuatan kanan, jelas output dari tindakan itu adalah menebar rasa takut secara sporadis kepada kalangan oposisi pengkritik pemerintah, serta kontrol bagi ideologi tertentu hingga hari pencoblosan tiba.    

Kasus kekerasan terhadap aktivis pro demokrasi pada tahun 1996 jelas merupakan tindakan serupa yang sama – sama didasari oleh kepentingan asing dalam hal ini orba didasari kepentingan Amerika dan rezim hari ini atas sponsor Tiongkok yang dikhawatirkan akan memperkuat posisi ideologi kiri di Indonesia. Ambisi jenderal polisi di Indonesia untuk membuktikan dirinya dapat mengendalikan situasi dan kondisi agar tetap stabil dalam masa pemerintahan yang berkuasa saat ini ternyata jauh melampaui ekspektasi sang pemimpin itu sendiri. Dalam konteks ini aparatur kepolisian tidak saja menjadi alat pertahanan bagi rezim yang berkuasa tetapi juga perpanjangan tangan politik.  

Penting juga untuk diingat, tidak ada independensi di lembaga kepolisian, bahwa mustahil lembaga ini akan tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Polisi tumbuh dan terbangun dalam kontrol serta dukungan negara yang secara politik berkepentingan atas perluasan peran dan fungsi polisi baik pada ranah sosial maupun politiknya. Aroma polisi yang amat kental sedimentasi politiknya dan bagaimana lembaga ini hidup dari suplai para politisi didalam negeri. Disinilah antara idealisme lembaga, nasionalisme dan integrasi nasional yang kini semakin memprihatinkan dikalangan aparatur kepolisian yang mulai layu sedangkan sifat oportunis berkembang ketimbang kesadaran yang mendasar atas tugas, pokok dan fungsi polisi sebagai pelayan masyarakat.      

Keempat, kontrol atas komunitas prodemokrasi. Ide bertarung dengan kotak kosong (hegemoni politik) pada penghujung kekuasaan Jokowi diperiode pertama menyadarkan kita betapa pengendalian peran partai politik adalah sebuah keniscayaan bagi kekuasaan. Kritik sekecil apapun atas kekuasaan rezim dilihat sebagai sebuah ancaman serius bagi keberlangsungan kekuasaan. Oleh karenanya perlu sebuah legitimasi yang cukup agar polisi mengambil tindakan untuk mengamankan kekuasaan jika terganggu. 

Perlu digarisbawahi rezim yang berkuasa saat ini telah menggambarkan bagaimana tuntutan demokrasi telah dihadapi dengan kekerasan. Mulai dari konflik internal di tubuh partai-partai politik yang sengaja diciptakan, kritik atas kinerja pemerintah untuk mewujudkan janji-janji kampanyenya, kritik atas kebijakan hutang pemerintah, kritik atas reforma agraria dan sertifikasi lahan, kritik atas peran polisi dan seterusnya telah menghantarkan orang masuk penjara, dianiaya dan buta bahkan cacat. Tulang punggung dari mesin kekuasaan ini adalah institusi polisi yang dibangun dalam bingkai mengayomi kepentingan rezim. Gambaran institusi dan peran dalam kelembagaan Polri menggambarkan bagaimana polisi merupakan alat paling efisien bagi pengendalian dan penguasaan. Tidak cukup sampai disitu pengawasan, pengendalian, bahkan mengisi posisi-posisi penting pada lembaga-lembaga sipil negara, yang kemudian dikedepankan dalam konsep silent movement and politic mission.

Lebih jauh, rezim ini tidak saja mengancam komponen oposisi, juga telah menciptakan perang terbuka yang diciptakan oleh kekuasaan lewat masuknya tenaga kerja asing secara bergelombang lewat legalisasi yang dikeluarkan pemerintah pada awal April tahun 2018. Sasaran langsung dari peraturan ini adalah kelompok atau individu yang diduga sebagai tenaga kerja asing. Disamping tuntutan akan terjadi persaingan bebas yang amat sengit, negara dan aparat menutup mata akan hal ini. Bahkan dengan keabsahan lewat peraturan yang diciptakan pemerintah atau rezim, dijadikan alat oleh pihak luar sebagai praktek yang bertentangan dengan konstitusi di negeri ini.

Sosok yang dulu dianggap sederhana itu membuktikan bahwa tindakan aparat kepolisian bukan semata-mata tindakan kelembagaan akan tetapi kerja-kerja kekuasaan yang dijadikan alat untuk memproduksi dan menciptakan mekanisme kehidupan yang ”stabil” dengan cara menekan dan mengancam. Tentu ini semakin membuktikan bahwa cara-cara kekerasan memang sulit untuk dihindari. Bahkan kekerasan merupakan kebutuhan dan energi bagi rezim serta dirawat sebagai dasar pembenaran tindakan. Lebih jauh masuk keranah politik dan polisi dijadikan korbannya.

Kekerasan memang kemudian tidak hanya dilihat sebagai sebuah bentuk penyimpangan. Semua konstruksi tindakan telah direncanakan matang sejak jauh hari sebagai sebuah kebutuhan institusionalis untuk melakukan kontrol dalam kehidupan politik ditengah masyarakat.

 

* Roda Indonesia Institute

  Alumni HMI

  Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Bekasi

Ikuti tulisan menarik Anthomi Kusairi SH MH lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu