x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kejutan Mahathir di Pemilu Malaysia

Secara pribadi, saya haqqul-yakin bahwa dengan kelebihan dan kekurangannya, Indonesia terlalu besar untuk dilecehkan oleh Malaysia dan negara-negara ASEAN,

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sungguh, pemilu Malaysia yang digelar Mei 2018 telah menyuguhkan kejutan, yang mengirim sinyal positif dan negatif, tergantung perpektif apa yang digunakan untuk menilainya.

Dan ada dua poin kejutan utamanya: pertama, di usia 92 tahun, Mahathir Mohamad kembali menjadi Perdana Menteri, dan akan tercatat sebagai perdana menteri tertua dalam sejarah dunia. Mahathir pernah berkuasa selama 22 tahun (1981 hingga 2003); Kedua, kelompok Barisan Nasional (mirip Golkar di Indonesia) yang berkuasa sejak 1957, kini tumbang di tangan PM Najib Razak.

Berdasarkan keputusan Komisi Pemilihan, Koalisi pemerintah Barisan Nasional yang dipimpin PM Najib Razak mencatatkan perolehan hanya 79 kursi. Sementara koalisi oposisi (Pakatan Harapan) yang dipimpin Mahathir memenangkan 115 kursi, atau lebih dari cukup untuk memenangkan pemilu. Sebab sesuai mekanismenya, calon perdana menteri Malaysia harus mengamankan minimal 112 kursi dari 222 kursi Parlemen.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selain dua kejutan utama tersebut, ada beberapa catatan menarik dari Pemilu Malaysia Mei 2018 dan konsekuensi logisnya terkait dengan Indonesia ke depan:

Pertama, ketika memutuskan maju sebagai oposisi pada Januari 2018, Mahathir sudah mengatakan yakin akan menang, kecuali jika Najib berbuat curang. Mungkin saja, Barisan Nasional telah berupaya untuk curang. Tapi, tampaknya, pesona Mahathir terlalu kuat untuk bisa dikalahkan melalui kecurangan di Pemilu.

Kedua, salah satu poin pendulang suara bagi Mahathir adalah pernyataannya atau janjinya akan membebaskan Anwar Ibrahim, anak didiknya yang pernah ia pecat, dan kini mendekam di penjara dengan tuduhan sodomi.

Ketiga, kubu Barisan Nasional sejak awal tampak terlalu pede. Namun setelah Mahathir memastikan memimpin Koalisi oposisi, Najib dan Barisan Nasional mulai terlihat panik, dan merespon melalui sejumlah kebijakan yang terkesan ngawur.

Keempat, poin kelemahan utama Barisan Nasional adalah kasus korupsi yang diduga melibatkan PM Najib. Pada Juli 2015, Jaksa Agung Malaysia kala itu, Abdul Gani Patail, mengaitkan sumbangan sebesar US$681 juta (setara hampir Rp10 triliun) yang diterima Najib melalui rekening pribadinya dari atau dengan perusahaan-perusahaan dan lembaga-lembaga yang bersangkut paut dengan 1MDB, sebuah institusi dana umum untuk mendorong ekonomi nasional, yang digagas oleh Najib Razak.

Kelima, generasi warga Malaysia yang saat ini memiliki hak pilih umumnya adalah mereka yang merasakan manfaat berbagai kebijakan Mahathir ketika menjabat PM Malaysia selama 22 tahun. Salah satu contohnya, pada awal berkuasa di tahun 1981, Mahathir membuat kebijakan asuransi pendidikan untuk semua warga Malaysia tanpa kecuali. Tidak aneh, warga Malaysia lebih berpeluang lanjut pendidikan tinggi di luar negeri, terutama di Inggris. Tidak aneh juga, karena kemampuan berbahasa, di forum-forum internasional, perwakilan Malaysia selalu “lebih bunyi” dibanding perwakilan dari negara-negara ASEAN melayu lainnya.

Saya tidak terlalu paham soal ekonomi. Namun saya masih ingat, ketika Krismon melanda ASEAN pada tahun 1997, banyak pakar ekonomi di Indonesia terkagum-kagum mengungkapkan data bahwa salah satu ketahanan ekonomi Malaysia terhadap gempuran spekulan adalah bahwa ekonomi nasionalnya dibangun nyaris tanpa utang.

Keenam, meski tak sempurna, dan cukup banyak kritikan yang bisa diungkapkan terhadap Mahathir, tapi harus diakui bahwa Mahathir adalah salah satu pemimpin Asia yang visioner, yang bersedia fight habis-habisan untuk mempertahankan kebijakannya. Saya masih ingat dia menantang berdebat publik melawan George Soros ketika ASEAN dilanda krisis moneter pada tahun 1997.

Ketujuh, jika dikaitkan dengan Indonesia, berbagai kasus yang sempat menciptakan ketegangan antara Indonesia dan Malaysia, secara langsung ataupun tidak langsung, juga merupakan efek dari berbagai kebijakan Mahathir selama berkuasa 22 tahun. Dan kita berharap, tampilnya kembali Mahathir di pentas politik Malaysia dan regional ASEAN, ungkapan “saudara serumpun” bukan hanya di mulut diplomasi saja. Secara pribadi, saya haqqul-yakin bahwa dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Indonesia terlalu besar untuk dilecehkan oleh Malaysia dan negara-negara ASEAN lainnya.

Kedelapan, kemenangan koalisi oposisi pada Pemilu Malaysia Mei 2018, meski Barisan Nasional mencengkeram semua lini kekuasaan, bisa menjadi trend Pemilu di negara-negara ASEAN lainnya, termasuk Indonesia yang akan menggelar Pilpres 2019.

Kesembilan, dengan usia 92 tahun, ke depan, mungkin akan terjadi lagi berbagai kejutan baru dari Mahathir. Konon salah satu kemungkinannya, setelah kembali menjabat PM Malaysia, setahun dua tahun ke depan, Mahathir boleh jadi akan menyerahkan kekuasaan. Dan sangat mungkin terjadi, penerima mandat itu adalah Anwar Ibrahim.

Sungguh, menarik untuk terus dimonitor.

Syarifuddin Abdullah | 11 Mei 2018 / 26 Sy’aban 1439H

Sumber foto: AFP dalam aceh.tribunnews.com.

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu