x

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kesturi Ramadan dan Politik Bau Tengik

Ramadan kali ini, barangkali tak seharum kesturi aromanya, karena bisa saja tercampur oleh bau tengiknya politik dimana masjid-masjid bisa jadi ajang polit

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bukan suatu kebetulan dimana dihampir setiap tahunnya, momen kedatangan bulan Ramadan selalu dimaknai jauh-jauh hari sebagai bulan yang mereguk banyak keuntungan. Tidak hanya bagi para pebisnis musiman, media elektronik, bahkan keuntungan berupa pahala yang akan diperoleh oleh mereka yang menjalankan puasanya secara ikhlas. Harum suasana Ramadan bahkan telah tercium, jauh sebelum kewajiban berpuasa bagi umat muslim ini dimulai. Disisi lain, momentum Ramadan kali ini, barangkali tak seharum kesturi aromanya, karena bisa saja tercampur oleh bau tengiknya politik dimana masjid-masjid ditengah sesaknya para jamaah akan menjadi panggung dukung-mendukung jelang kontestasi politik nasional.

Akan terasa sangat berbeda, ketika Nabi Muhammad pernah berdoa: “Allahumma baariklanaa fii rajaba wa sya’bana wa ballighnaa romadloona” (Ya Allah, berkahilah bulan Rajab dan Sya’ban, dan antarkanlah kami sampai ke bulan Ramadan). Doa ini seharusnya mengingatkan kepada setiap umat muslim, menyambut kedatangan bulan Ramadan dengan menciptakan relasi-relasi keumatan dengan memperkuat ikatan-ikatan solidaritas sosial antarsesama manusia, bukan malah mencerai-beraikannya. Politik bau tengik jelang pilpres hanya menebarkan aroma kebusukan yang saling serang antarpendukung, bahkan muncul kemudian polemik soal larangan bicara politik di masjid yang kadang salah kaprah.

Politik bau tengik tidak saja dipertontonkan dengan mengumbar segala kesalahan lawan politik, berebut pengaruh panggung kekuasaan, dan bahkan pembunuhan yang dijalankan oleh para tahanan teroris di Mako Brimbob yang jauh dari nalar sehat agama dan kemanusiaan. Bagaimana tidak, efek kasus pembantaian yang dilakukan para napi teroris terhadap aparat, telah menjadi isu politis akibat kurang terangnya pengungkapan detil kasus ini, hingga menjadi liar ditengah publik. Harum kesturi Ramadan, tentu saja tercemar bau amis darah dan politisasi bau tengik yang mungkin saja terus dimanfaatkan demi keuntungan-keuntungan politik jelang pilpres mendatang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya justru khawatir, bulan Ramadan kali ini akan terasa sangat jauh berbeda dengan Ramadan tahun-tahun sebelumnya, karena beragam peristiwa politik yang mengitarinya. Isu soal politisasi masjid juga mulai terasa kuat dan justru menjadi polemik ditengah masyarakat. Padahal, bicara politik dan “politisasi” tentu saja dua hal yang berkonotasi berbeda. Saya sepakat, bahwa masjid bukanlah ajang politisasi dalam hal mengumbar kebencian, aksi dukung-mendukung, saling mendiskreditkan kelompok atau orang-orang yang berseberangan ideologi politiknya. Namun, saya juga menyayangkan ketika berbicara politik di masjid justru dilarang penguasa. Bagi saya, politik dalam bingkai besar negara-bangsa adalah memperteguh model keumatan, lepas dari ikatan-ikatan primordialisme agama, keyakinan, bahkan kelompok, menuju persatuan dan kesatuan umat melalui penyadaran politik: melawan kesewenang-wenangan, memerangi kemiskinan dan kebodohan.

Masjid tentu saja tak boleh dikotori oleh aksi politisasi yang sengaja “menunggangi” masjid untuk menggalang dukungan politik seraya menebarkan ungkapan kebencian atau bahkan fitnah kepada lawan politik. Fungsi masjid harus dikembalikan sebagai sarana mempersatukan umat dalam bingkai besar negara-bangsa, menjadi sentralisasi pemberdayaan masyarakat dalam seluruh aspek. Jangan melarang bicara politik karena nilai substansi politik adalah kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Saya kira, momentum Ramadan dapat dimanfaatkan sebagai ajang silaturrahim nasional, dimana mengaktualisasikan nilai-nilai substansi politik harus dikedepankan dibanding “politisasi” yang sekadar menghilangkan dahaga kekuasaan.

Saat ini yang terjadi malah terkesan “pukul rata”, apa saja yang terkait politik lalu dilarang dan bahkan diintervensi oleh aparat, ketika hal itu diungkapkan di masjid. Saya pernah mengikuti kajian jihad yang dibahas dalam kitab “Fiqhussunnah” karya Sayid Sabiq, dimana kajian soal itu telah disampaikan dari tahun ke tahun dan tanpa masalah. Lalu, tiba-tiba, seusai pengajian, ustaz yang menyampaikan materi tersebut lalu didatangi pihak aparat dan mereka memeriksa kitab yang dibacakan. Aneh memang, padahal di hampir seluruh kajian fiqih klasik, bab jihad pasti ada dan hampir tak ada satupun yang berbicara soal perang secara fisik atau menjelaskan soal makar terkait pemerintahan yang sah. Jihad, bagi saya, adalah upaya sungguh-sungguh dalam memerangi keterbelakangan, kemiskinanm dan kebodohan ditengah masyarakat, bukan berarti perang!

Lagi-lagi, aroma bau tengik politik malah memudarkan wangi kesturi Ramadan, sehingga masa ini sulit sekali untuk berjuang memberikan pencerdasan kepada masyarakat. Politik seharusnya tidak dipersempit hanya sebatas pergantian kekuasaan, previlage, gengsi atau semacamnya yang justru menggusur seluruh nilai kebaikan yang ada dalam aktivitas politik itu sendiri. Padahal, negara ini justru dibangun berdasarkan penyatuan substansi politik dengan realitas keagamaan, keduanya berjalin kelindan dalam wujud sikap dan prilaku masyarakatnya yang diabadikan dalam UUD 1945 dan dasar negara Pancasila. Diakui maupun tidak, agama menjadi penopang kehidupan politik di negeri ini dan itu jauh sebelum NKRI ini lahir.

Kita patut meniru negeri tetangga Malaysia yang sukses mengantarkan politik pada tatanan yang cukup bermartabat. Tanpa huru-hara, tanpa politisasi, tanpa kebencian, sukses mengantarkan politikus Gaek, Mahathir Muhammad kembali menduduki jabatan perdana menteri. Malaysia bukan negara demokrasi, tapi mampu menghadirkan fatsoen politik tanpa dikotori oleh gontok-gontokan, saling tuding atau saling fitnah antarkekuatan faski politiknya. Malaysia sama dengan Indonesia, negeri yang mayoritas berpenduduk muslim, tetapi sejauh ini mampu menempatkan agama sebagai penopang proses politik secara baik dan bermartabat. Tak ada isu politisasi masjid apalagi menunggangi masjid menjadi ajang aktivitas dukung-mendukung kekuasaan.

Indonesia negara demokrasi, bukan negara agama apalagi negara sekuler. Maka, jika ada saja segelintir orang ingin menjadikan negeri ini menjadi negara agama atau sekuler, maka siap-siap saja terusir dari negerinya sendiri karena sama halnya mengingkari kesepakatan yang telah lebih dulu dibuat oleh para pendahulu kita. Politik jangan membuat sebagian orang malah alergi, lalu memunculkan sikap pobia terhadap agama atau kelompok tertentu. Disisi lain, politik juga bukan sekadar ajang perebutan kekuasaan yang dikotori oleh kebencian, sikap intoleran, atau merasa diri paling benar dan yang lain salah. Momentum Ramadan yang tinggal beberapa hari, seharusnya dapat dimaknai sebagai perekat solidaritas keumatan, menjauhi praktik-praktik prasangka yang berlebihan, apalagi terus menyeret praktis politik dalam ruang keagamaan yang pada akhirnya mencemarkan aroma tengik ditengah umat muslim sedang mencium wanginya Ramadan.

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB