x

Iklan

Muchlis R Luddin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Demokrasi dan Jalan Peradaban Kita

Dalam sejarah peradaban manusia, kita membaca misalnya, pada tahun 1917 rezim monarki Rusia mengalami kolaps

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

*oleh: Prof. Dr. Muchlis R. Luddin, MA

Dalam sejarah peradaban manusia, kita membaca misalnya, pada tahun 1917 rezim monarki Rusia mengalami kolaps. Kemudian rezim itu digantikan oleh demokrasi sosial yang lebih moderat. Tetapi usia rezim ini tak lama, lantas digantikan lagi oleh muncul rezim baru, yaitu rezim diktator yang didukung oleh kekuatan intervensi militer, yang kemudian membentuk negara komunis pertama di dunia (Richard Overy, 2005).

Sejarah peradaban manusia sekali lagi memberi pelajaran bahwa sistem peradaban apapun yang kita tentukan memiliki pilihan risiko. Jalan membangun peradaban tak pernah sepi dari ujian-ujian yang menyertainya. Itu sebabnya, perjuangan untuk membangun sebuah peradaban tak bisa hanya ditumpukan kepada segelintir orang-orang, tetapi ia harus menjadi tanggung jawab kita bersama: rakyat yang ada di dalam sebuah masyarakat, bangsa, dan negara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Setiap pilihan sistem memiliki keunggulan dan kelemahan. Pilihan-pilihan jalan peradaban tersebut adalah cermin dari kesadaran kita bersama untuk menuju dan mencapai apa yang kita imaginasikan dan harapkan. Itu sebabnya, jalan itu merupakan representasi bentuk “jalan pikiran” yang tersemai di dalam benak masyarakat.

Masyarakat kita telah menentukan jalan pikirannya untuk mencapai peradaban yang diimpikan lewat demokrasi. Jalan ini kita percaya sebagai jalan yang paling baik dan paling mungkin untuk mempercepat pencapaian kesejahteraan bersama, dengan ciri dan karakter khas peradabannya. Namun, jalan pikiran ini harus diteguhkan dengan usaha-usaha yang tetap berada dalam koridornya. Tanpa itu, jalan pikiran ini juga akan mengalami tantangan, bahkan perubahan.

Coba kita lihat dan perhatikan. Demokrasi yang kita pikirkan pada awalnya telah mengalami perkembangan. Jika diawal kita tak pernah membanyangkan dengan sungguh-sungguh bentuk demokrasi yang seliberal sekarang ini, kemudian demokrasi yang amat liberal telah hadir ditengah kehidupan kita.

Kemudian jenis demokrasi liberal semacam itulah yang membangun beradaban masyarakat kita. Kita bebas hampir sebebas-bebasnya. Ekspresi pikiran, gagasan, perasaan, emosi masyarakat sudah tanpa batas. Tak tampak lagi pertimbangan mana yang elok dan mana yang patut.

Tak kelihatan lagi pertimbangan mana yang boleh dan mana yang tak boleh dalam tindakan-tindakan yang dilakukan oleh setiap anggota masyarakat. Semuanya berlangsung dengan terbuka, lepas, bebas, tanpa hambatan (etika, fatsun, moral bersama, aturan main, kepatutan, penghormatan terhadap sesama, dan lain-lain).

Belakangan, kita juga menyaksikan usaha-usaha orang untuk “memberi warna” kembali terhadap jalan pikiran (jalan peradaban) yang sudah kita pilih. Di dalam masyarakat muncul ekstrimitas, baik kiri dan kanan, bahkan ada romantisme untuk memunculkan jalan pikiran komunisme. Pikiran-pikiran semacam itu muncul kembali karena keran demokrasi liberal terbuka dengan lebar, tanpa “framework” yang memadai.

Proses institusionalisasi jalan pikiran yang dulu kita gagas ketika reformasi belum berhasil dilakukan secara paripurna. Bahkan dalam perjalanannya, proses institusionalisasi itu terkesan berkompromi dengan pikiran-pikiran rezim lama yang hendak diperbaiki. Itu sebabnya, reformasi telah mengindikasikan perubahan menjadi euforia. Reformasi telah kehilangan arah tuju. Bahkan reformasi telah berada dalam puncak stagnasi (stagnasi dalam nilai, stagnasi dalam cita-cita).

Dalam keadaan seperti itulah, tampaknya tak bisa dihindari bahwa reformasi telah lama -secara perlahan-lahan- dikooptasi oleh jalan pikiran rezim-rezim (baik lama, maupun baru), sehingga jalan peradaban yang dulu kita harapkan telah tampak menjadi sesuatu yang tak berbentuk lagi.

Memang, kita sering terjebak oleh sebuah pikiran yang mendesak untuk sebuah resolusi radikal. Kita selalu ingin cepat, menginginkan perubahan-perubahan berlangsung dengan cepat. Kita acap mengklaim bahwa “the authentic voice of the people” harus segera diwujudkan, karena itu representasi dari kehendak bersama.

Tetapi sejarah peradaban dunia, juga telah mengajarkan kepada kita bahwa klaim-klaim seperti itu sepatutnya didalami. Sebab di dalam klaim terkandung maksud dan tujuan. Di dalam klaim itu juga ada siasat, dan jika kita tak waspada dan arif dalam menyikapinya, maka (perubahan) bentuk jalan (pikiran) peradaban masa depan kita yang akan menjadi taruhannya.

Kemarin, hari-hari ini, dan hari-hari kedepan, masyarakat kita sedang menghadapi pilihan jalan-jalan pikiran dan jalan-jalan peradaban itu. Pemilihan umum, pemilihan presiden, pemilihan gubernur, pemilihan bupati dan walikota akan mencerminkan pilihan akan jalan peradaban masa depan kita bersama.

Kita berharap bahwa apa yang disajikan oleh para kontestan tak mendorong terjadinya pembalikan terhadap jalan pikiran yang sudah kita tetapkan sebagai sebuah konsensus nasional. Dengan begitu, apa yang kita lakukan itu diharapkan memberi dorongan kepada tujuan bersama kita, yakni membangun masyarakat yang adil dan sejahtera.

Mari kita tetap belajar dari perubahan-perubahan yang telah disajikan dalam sejarah pembentukan peradaban di dunia, dengan itu kita akan berkehidupan lebih baik, serta tak terjebak dengan jargon perubahan!

*Penulis adalah Guru Besar Sosiologi/Wakil Rektor I Universitas Negeri Jakarta

Ikuti tulisan menarik Muchlis R Luddin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB