x

Iklan

Tulus Abadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bencana Resistensi Antibiotik

Tragisnya, fenomena resistensi antibiotik, belum menjadi "isu panas" yang bisa mendorong kebijakan global secara simultan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 
 
Kini di seluruh dunia heboh dengan fenomena perubahan iklim global, atau global climate change. Fenomena inilah yang dianggap akan mempercepat kerusakan dan bahkan kehancuran alam. Karena itu, semua negara didorong punya aksi nyata untuk mengatasi fenomena perubahan iklim global itu. Termasuk peran masyarakat agar mengubah perilaku berkonsumsi, ke arah sustainable behaviour. Tentu, kita sepakat dengan warning perubahan iklim global itu. Alam dan dunia harus kita selamatkan dari fenomena perubahan iklim global. Tetapi sadarkah kita, sejatinya ada hal yang lebih dahsyat dan jauh lebih mengerikan daripada perubahan iklim global, yakni fenomena resistensi pada antibiotik (AMR/Antimicrobial Resistent), yang mayoritas lebih banyak terjadi di negara berkembang daripada di negara maju.
 
Fenomena resistensi antibiotik sejatinya bukan sesuatu yang ahistoris. Alexander Flameeng (ilmuwan penemu cikal bakal antibiotik) pada saat menerima Hadiah Nobel (1945) atas jasa besarnya penemuannya itu, telah memberikan warning: suatu saat nanti akan tiba suatu masa dimana bakteri kembali resisten, manakala antibiotik sudah menjadi obat bebas. Rasanya, warning dari sang penemu antibiotik itu sudah terwujud. Kini dunia sedang mengalami ancaman global yang sangat serius, yakni resistensi antibiotik. Antibiotik nyaris menjadi obat bebas, bisa kita beli dimanapun dan kapanpun, tanpa resep dokter.
 
Tragisnya, fenomena resistensi antibiotik, belum menjadi "isu panas" yang bisa mendorong kebijakan global secara simultan, baik dari ranah negara, profesi medis, industri farmasi, media masa, dan juga masyarakat. Padahal resistensi antibiotik merupakan akhir dari sistem pengobatan modern, dan mengancam peradaban manusia. Jutaan kematian masal akan mengintai kita semua. Kementerian Kesehatan Inggris mengestimasi, jika tak ada solusi komprehensif (penemuan antibiotik baru), pada 2050 akan terjadi 10 juta kematian, dan membutuhkan penanganan 66 trilyun pounsterling. Pada skala mikro, kematian akibat resistensi antibiotik sudah banyak terjadi di berbagai negara. Di Amerika, menurut Badan Pengendalian Penyakit Menular (CDC, merilis data, terdapat 23.000 kematian akibat resistensi antibiotik. Dan menurut WHO, sebanyak 3,5 persen antibiotik untuk penyakit TBC sudah resisten. Bahkan, 20 persennya resisten untuk penyakit TBC kambuhan.
 
Laporan Global TB 2016, WHO mengestimasi kasus multidrug-resistant (MDR) pada TBC adalah 480.000 di seluruh dunia, ditambah 100.000 kasus yang resisten terhadap salah satu obat utama,yaitu  rifampisin (RR TB).
 
Sementara di Indonesia, dengan kasus TB baru pada tahun 2016 mencapai 1.020.000 pengidap, negara ini juga tercatat sebagai salah satu dari 27 negara dengan beban MDR TB terberat di dunia. Diperkirakan setiap tahunnya terdapat 6.800 kasus baru MDR TB.
 
Bagaimana potret fenomena resistensi antibiotik di Indonesia? Tampaknya belum ada data konkrit, sekalipun dari otoritas berkompeten, seperti Kementerian Keesehatan, Badan POM, atau asosiasi profesi kedokteran.   Namun, jika dilihat tren sosiologisnya, fenomena di Indonesia bisa jauh lebih mengerikan. Apa sebabnya? Beberapa contoh berikut ini mengindikasikan dengat kuat. Pertama, profesi dokter di Indonesia begitu gampang mencantumkan antibiotik dalam resepnya. Sedikit sedikit antibiotik, sekalipun untuk penyakit ringan, seperti flu atau batuk pilek, yang seharusnya tidak perlu antibiotik. Kedua, distribusi obat antibiotik begitu bebas di pasaran. Dengan gampang antibiotik di peroleh di toko-toko obat. Konsumen pun tak perlu resep dokter untuk membelinya. Dan ketiga, dari sisi konsumen, pun dengan enteng mengonsumsi antibiotik, tanpa tahu juntrungan penyakitnya. Yang penting sembuh dengan cepat, cespleng! Dan ironisnya, konsumsi antibiotiknya tidak pakai aturan waktu, dan tidak dihabiskan pula. Itulah tiga sumber petaka konsumsi antibiotik di Indonesia. Dan itulah pintu gerbang yang sangat lebar untuk terjadinya resistensi antibiotik di Indonesia.
 
Belum lagi antibiotik pada daging hewan, ikan bahkan tumbuh-tumbuhan. Ingat, daging ayam banyak disuntikan antibiotik, baik untuk menyembuhkan suatu penyakit, dan atau untuk merangsang pertumbuhan, promote growt, yang sebenarnya dilarang keras. Malah banyak kasus antibiotik untuk manusia yang sudah kadaluwarsa disalahgunakan untuk kebutuhan hewan.
 
Sebenarnya, dunia tidak tinggal diam. Isu resistensi antibiotik sudah menjadi concern di tingkat global, setidaknya sejak 2005. PBB pada Sidang Umum 2016, telah menjadikan isu resistensi antibiotik menjadi agenda pembahasanya. Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga sudah mempunyai berbagai rencana aksi untuk mengantisipasi dan bahkan mencari jalan keluarnya. Tak kurang, Consumer Internasional (CI) sebagai wadah lembaga konsumen tingkat dunia, juga menjadikan isu resistensi antibiotik sebagai agenda kampanye bersama. Namun, pada konteks lokal masing-masing negara, termasuk Indonesia, nyaris belum ada aksi nyata, baik dari sisi hulu sampai hilir. Isu resistensi masih senyap, nyaris tak terdengar.
 
Maka dari itu, langkah kebijakan strategis harus dilakukan secara sistematis, simultan dan sinergis; guna menyelamatkan kematian masal manusia Indonesia akibat resistensi antibiotik. Pertama, negara harus memfasilitasi dan atau memberikan berbagai insentif pada industri farmasi untuk melakukan research and development menemukan jenis antibiotik baru. Mengingat, untuk melakukan hal ini diperlukan sumber daya finansial yang sangat besar. Kedua, harus ada mekanisme pengawasan ketat distribusi antibiotik di pasaran. Berikan sanksi tegas dan serius bagi pihak-pihak yang mendistribusikan antibiotik tanpa izin, atau bahkan menjual antibiotik tanpa resep dokter. Ketiga, pengawasan ketat pada profesi kesehatan khususya dokter agar tidak secara serampangan memberikan resep antibiotik pada pasiennya. Keempat, mewajibkan industri farmasi untuk mengembangkan produk antibiotik, misalnya amphisilin. Industri farmasi wajib juga melakukan edukasi pada konsumen terkait hal ini. Dan kelima, melakukan kampanye masif pada masyarakat konsumen agar berhati-hati dalam mengonsumsi antibiotik. Masyarakat konsumen harus berbasis rasionalitas saat mengonsumsi obat, khususnya antibiotik. Peradaban manusia, khususnya masyarakat konsumen Indonesia, harus diselamatkan dari bencana resistensi antibiotik. Pemerintah harus mengelaborasi dengan regulasi dan kebijakan yang nyata dan berkesinambungan. ***

2

Ikuti tulisan menarik Tulus Abadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler