x

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tuhanpun Mengutuk Aksi Kekerasan dan Terorisme

Tak ada agama manapun yang mentolerir aksi terorisme, karena semua agama mengajarkan kebaikan, perdamaian, persatuan solidaritas sosial

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Siapapun yang waras pikirannya pasti akan mengutuk aksi kekerasan apapun yang menyakiti, apalagi melukai bahkan menghilangkan nyawa orang lain. Aksi terorisme yang dilakukan sekelompok orang—terorganisir ataupun spontan—dengan menyakiti dirinya sendiri sehingga melukai dan membunuh orang lain, rasanya perlu diteliti lebih jauh. Bukan karena terorisme ini mengangkangi aparat karena tak terdeteksi ruang-ruang geraknya, tetapi diakui maupun tidak, aksi penyanderaan dan pembunuhan yang terjadi sebelumnya di Mako Brimob, bisa jadi bagian dari “panggilan jihad” bagi mereka yang telah lama haus darah. Istilah “panggilan jihad” sengaja saya beri tanda petik, karena ekspektasi jihad yang diserukan teroris seluruhnya berkonotasi negatif, karena bersifat merusak, menghancurkan, membunuh, sesuai nafsu amarah yang melatarbelakanginya.

Tak ada agama manapun yang mentolerir aksi terorisme, karena semua agama mengajarkan kebaikan, perdamaian, persatuan solidaritas sosial, serta prinsip-prinsip kemanusiaan yang jauh dari kecenderungan terhadap aksi kekerasan. Sehingga dipastikan, aksi terorisme dalam bentuk apapun, dipastikan tak didasari oleh nilai-nilai agama, kecuali nafsu amarah yang cenderung membawa kepada keburukan dan kehancuran. Orang yang memahami agamanya dengan baik dan benar, tentu dengan sadar mampu mengontrol hawa nafsunya untuk menolak segala keburukan maupun kejahatan. Saya kira, tak ada kaitannya aksi teroris dengan agama manapun, walaupun kesan yang dimunculkan diantara pelaku teror, selalu memakai simbol-simbol agama tertentu.

Walaupun kenyataannya, sulit sekali memisahkan cara pandang keagamaan tertentu dengan aksi kekerasan atau terorisme, namun paling tidak kita dapat menilai ketika aksi-aksi kekerasan kemanusiaan yang mengatasnamakan agama apapun, jelas sebuah penyimpangan dari agama itu sendiri. Sejarah penyimpangan dalam hal agama, sudah sangat klasik dan muncul dalam berbagai periode sejarah kemanusiaan masa lalu. Ada sebagian kelompok yang terlampau ekstrim, misalnya memandang keseluruhan manusia secara “hitam-putih”: kelompok yang benar (haqq) bersifat ilahiyah (ketuhanan) dan disisi lainnya bersifat batil, sesat, dan thaghut (penyembah berhala). Itulah kenapa, penyimpangan-pun pada akhirnya merambah ketika mereka mempersepsikan makna jihad hanya dalam “satu pintu”, sehingga tak ada pintu lainnya bagi mereka.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Para pelaku teror sepertinya hanya mengedepankan hawa nafsu atau lebih tepatnya nafsu la ammarah bi al-suu’ (dorongan untuk mengajak kepada kejahatan atau keburukan) yang sama sekali lepas dari prinsip-prinsip moral. Jika memakai istilah Freud, kejiwaan para teroris ini masuk dalam kategori id, dimana yang dikejar hanyalah sebatas kenikmatan hidup (pleasure principle) yang condong hanya mengenal kesenangan dan kepuasan psikis dan fisik. Bukankah para pelaku teror sebelumnya telah dicuci otaknya dengan kesenangan semu surgawi? Gambaran para bidadari atau semua kenikmatan hidup setelah mati yang dijanjikan kepada mereka? Jiwa mereka kosong melompong, sehingga mudah sekali diisi hal apapun, termasuk kenikmatan semu yang dijanjikan.

Saya kira, tidak hanya manusia yang berakal sehat yang mengutuk segala macam aksi terorisme, karena Tuhan-pun sesungguhnya “mengutuk” apapun yang dilakukan atas dasar dorongan nafsu belaka. Tuhan tentu saja mengutuk setan dan segala perbuatan yang dikaitkan manusia dengan  merujuk pada nafsu amarah yang berasal dari setan. Tidak ada aksi terorisme yang tidak didasari oleh nafsu amarah, apalagi mereka mengklaim sebagai bentuk jihad, karena jelas itu hanyalah kamuflase atas suatu kesesatan yang nyata tetapi ditutupi dengan dalih kebenaran agama. Jihad paling besar dalam hidup, justru melawan dan mengendalikan hawa nafsu dari dorongan amarah membabi buta, bukan mengumbarnya sebagaimana ajakan setan.

Kejadian peledakkan bom bunuh diri di beberapa gereja di Surabaya, siapapun pelakunya, jelas merupakan penyimpangan yang tak dibenarkan oleh seluruh ajaran agama manapun. Rasa kebencian yang tertanam dalam hati dan pikiran mereka, jelas menutupi seluruh hal kebaikan sehingga mendorong nafsu amarah melakukan hal-hal yang merusak dan merugikan orang lain. Bukan suatu kebetulan, maraknya ujaran kebencian yang selama ini muncul di ruang-ruang publik—saya kira—cukup berpengaruh dalam memperteguh nafsu amarah, sehingga aksi-aksi kekerasan hingga terorisme justru mudah muncul ke permukaan.

Bukan tidak mungkin, selepas kejadian serangkaian bom di beberapa gereja ini, muncul serangkaian informasi di media sosial yang terus memprovokasi pihak-pihak tertentu yang sengaja menciptakan emosi dan amarah baru di ruang publik. Hal ini tentu sangat disayangkan, sehingga dipastikan, upaya deradikalisasi sejauh ini yang digalakan pemerintah justru menuai kegagalan dalam banyak hal. Upaya deradikalisasi, hanya mampu menyentuh pihak-pihak atau kalangan tertentu, kurang aplikatif, tidak tepat sasaran, bahkan terkesan hanya sukses di hilir tetapi tak pernah menyentuh hulu-nya sama sekali. Deradikalisasi, seharusnya mampu mengedepankan pendekatan kemanusiaan, pro aktif, persuasif, dan tidak terkesan “tebang pilih”, sehingga secara sporadis mampu menyasar semua kalangan, bahkan merambah dari mulai hulu hingga ke hilir.

Kasus peledakan bom yang terjadi di beberapa gereja di Surabaya, cukup membangkitkan amarah banyak pihak, bahkan kemarahan tampak menghiasi beragam lini media, terutama media sosial. Siapa yang tidak marah, ketika kebrutalan merajalela? Apalagi sengaja mendiskreditkan bahkan mengadu domba antaragama? Wajar ketika kemarahan seperti meluap-luap, hanya saja tentu kita harus menahan diri agar tidak juga terpancing untuk ikut-ikutan menciptakan kebencian, permusuhan yang justru lebih mudah mendorong nafsu amarah terhadap hal lain yang lebih membahayakan dan merusak. Kemarahan, kebencian, dan permusuhan adalah pintu masuk yang sangat mudah untuk ditanamkan paham-paham radikal yang dalam tahap tertentu mudah sekali mengarahkan orang untuk melakukan aksi-aksi terorisme secara brutal.

Jangan sampai slogan, “Kami Tidak Takut Terorisme”, sekadar ramai dalam ruang media sosial, tetapi miskin aksi dengan menciptakan nuansa perdamaian, memperkuat ikatan-ikatan solidaritas, melalui upaya nyata deradikalisasi. Mengutuk, marah, atau menghujat yang dialamatkan pada setiap aksi terorisme tak akan serta merta menutup aksi-aksi brutal tersebut, tanpa upaya deradikalisasi secara lebih persuasif dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Negara tentu saja paling bertanggungjawab dan harus mengungkap seterang-terangnya segala hal yang terkait dengan serangkaian aksi teror tersebut, bukan sekadar mempopulerkan tagar. Pendekatan kemanusiaan dalam menangani terorisme—baik melalui deradikalisasi atau semacamnya—akan mampu memutus lingkaran setan kekerasan atau “unbreakable vicious circle of violence”. Bukankah kebanyakan aksi terorisme di Indonesia berkaitan dengan ekspresi balas dendam? Wallahu a’lam.  

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler