x

Iklan

Muchlis R Luddin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Peristiwa di Car Free Day: Antara Bias dan Konflik

Debat di tepi jalan itu berlangsung sengit. Satu pihak menyatakan bahwa dialah yang benar, sesuai dengan peraturan, dan tak melanggar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

*oleh: Prof. Dr. Muchlis R Luddin, MA

Debat di tepi jalan itu berlangsung sengit. Satu pihak menyatakan bahwa dialah yang benar, sesuai dengan peraturan, dan tak melanggar. Pihak yang lain juga menyatakan bahwa dialah yang benar, karena berdasarkan fakta di lapangan, dia telah sesuai dengan aturan, dan tak melanggar.

Debat di tepi jalan itu menarik perhatian saya, apalagi banyak ditonton orang. Rupanya telah terjadi persinggungan, persenggolan dua kendaraan di dalam arena hari bebas kendaraan (car free day). Setiap pihak mengklaim benar. Tak apa pihak yang mengakui kesalahan. Semuanya menyatakan benar terhadap sebuah fakta peristiwa yang sama.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya memperhatikannya dengan seksama. Dalam perhatian itu, saya teringat kembali sebuah buku karangan Michael Lewis (2003) yang berjudul “Moneyball”. Buku itu, secara sederhana menceritakan bagaimana orang mengalami bias dalam menilai sebuah peristiwa. Kasus dalam buku itu adalah sebuah tim baseball yang sedang mengalami keterpurukan dan kemudian ingin menemukan kembali sebuah jalan baru yang lebih baik.

Lantas semua orang berusaha menemukan strategi baru, memeriksa data, melakukan evaluasi, melihat kembali cara pengelolaan, melakukan analisis, tetapi kemudian orang-orang terjebak dengan “general lesson”, karena orang-orang acap kali mengalami bias.

Bias dalam melihat fakta. Bias dalam menganalisis data, bias dalam menilai situasi, bias dalam mengelola keadaan, bias dalam menilai diri sendiri, bias dalam memperlakukan situasi, bias dalam mengeksploitasi perilaku (baik diri sendiri maupun orang lain).

Itulah perilaku manusia. Kadang dia menilai situasi berdasarkan perspektif dirinya sendiri, dengan menggunakan data yang dimilikinya sendiri, dengan cara pandang dirinya sendiri. Orang sering tak mau membuka diri bahwa disamping cara pandangnya sendiri, ada juga cara pandang orang lain, dengan datanya sendiri, dan dengan cara analisisnya sendiri juga. Itu sebabnya, perdebatan acap menimbulkan pertentangan karena didominasi oleh bias-bias yang ada pada seseorang.

Dalam perdebatan semacam itu, bias menjadi persoalan yang harus dikendalikan. Sebab umumnya bias muncul dari ketidaktahuan, miskonsepsi, bahkan karena kerusakan jalan pikiran.

Orang sering melakukan misjudge terhadap orang lain, sekalipun penilaian itu dilakukan oleh seorang ahli. Karena seorang ahli itu juga melakukan penilaian berdasarkan “the expert’s own mind”, kata Daniel Kahneman dan Amos Travsky (dua orang ilmuwan penerima hadiah nobel).

Pertanyaannya adalah darimanakah datangnya bias itu? Mengapa orang-orang selalu saja bertindak bias? Jawaban sederhananya adalah ia datang “when they were valuing people”. Bias muncul karena kita memberi nilai, melakukan penilaian terhadap perilaku orang lain. Kita menilai orang lain dari sudut pandang kita. Kita menilai orang lain dari data yang kita miliki. Kita menilai orang lain dari pengetahuan yang kita miliki.

Kita menilai orang lain dari interes yang ada di dalam diri kita sendiri. Kita menilai orang lain dari cara analisis kita sendiri. Kita menilai orang lain dari kesimpulan kita sendiri. Tetapi, kita luput memperhatikan bahwa “somewhere inside it was another story” pada diri orang lain yang kita nilai.

Kita melupakan atau bahkan tak memperhatikan “unexplored and untold story” yang ada di dalam diri orang lain. Bahkan kita juga sering cenderung kurang peduli terhadap “the way the human mind worked”, sehingga kita mudah sekali membuat “judgments and making decisions” secara dini. Akibatnya yang muncul adalah perdebatan tentang kekeliruan, bukan perdebatan tentang kebenaran.

Itulah pengaruh bias. Ia bisa menimbulkan ketidakpastian, memunculkan ketidakmenentuan, menghadirkan konklusi yang tak bermutu. Bahkan bias itu dapat memperluas hoaks, kebohongan publik, dan tentu saja mendorong meluasnya masyarakat yang kurang berbudaya.

Dari arena “hari bebas kendaraan”, saya menyaksikan perdebatan tentang bias. Perdebatan yang mungkin tak akan pernah selesai. Bahkan perdebatan yang bisa menimbulkan konflik. Sebuah konflik tanpa data akurat. Konflik tanpa analisis jujur. Konflik dengan interes yang telalu banyak.

Konflik yang merenggangkan silaturahmi. Konflik yang menafikan kehadiran orang-orang sebagai “human being”. Itu sebabnya, salah satu tugas kita -terutama para intelektual, terpelajar, educated people- mempersempit (cara pandang) bias.

Karena bias itu meminjam istilah yang digunakan Michael Lewis (2017), menjadi judul buku “The Undoing Project, A Friendship that Changed the World”. Persahabatanlah yang akan mengubah dunia kehidupan menjadi lebih baik, bukan bias-bias. Semoga kita bisa bekerja dengan lebih obyektif, terhindar dari sikap dan prilaku bias.

*Penulis adalah Guru Besar Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ)

Ikuti tulisan menarik Muchlis R Luddin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler