x

Iklan

Putu Suasta

Politisi Demokrat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

BBM Bukan Komoditas Politik, Pak Presiden!

Opini

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sikap Jokowi yang terkesan mempersalahkan kebijakan subsidi BBM di era pemerintahan SBY sangat tidak elegan serta kontra produktif dengan usaha-usaha pembangunan yang sedang kita galakkan sekarang ini. Setiap pemerintahan tentu menghadapi konteks dan situasi sosio-ekonomi yang berbeda. Karena itu, sangat tidak relevan memperbandingkan kebijakan pemerintahan sebelumnya secara apple to apple dengan kebijakan pemerintahan berikutnya.

BBM merupakan salah satu kebutuhan vital yang memiliki kaitan sangat erat dan berdampak secara langsung pada perputaran roda ekonomi sebuah bangsa. Karena itu ada banyak faktor serta agregat-agregat sosio-ekonomi yang dianalisis baik dalam skala domestik maupun internasional,  baik dalam lingkup mikro maupun makro, sebelum sebuah pemerintahan mengambil keputusan di bidang BBM. Sekali salah mengambil keputusan, ongkos yang mesti dibayar akan teramat mahal. Takkan ada pemerintah di belahan dunia manapun yang akan bermain-main dengan kebijakan BBM. Maka sentilan Jokowi pada kebijakan subsidi BBM di era SBY tanpa disertai penjelasan memadai lebih bernuansa pragmatisme politik, alih-alih sebuah pencerahan bagi rakyat banyak.

Isu Sensitif

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sekedar menyegarkan ingatan kita, gelombang demonstrasi massal dan huru hara yang terjadi pada tahun 1998 dimulai dari penolakan rakyat pada keputusan pemerintah Soeharto menaikkan harga BBM. Kendati banyak faktor dapat dikemukakan tentang latar belakang meletusnya gerakan reformasi 20 tahun lalu tersebut, tak bisa dipungkiri bahwa pemantik awalnya adalah pengumuman kenaikan harga BBM  sebagai imbas dari krisis monenter yang menerpa negara-negara Asia waktu itu. Pengumuman itu memicu kemarahan mahasiswa yang kemudian memotori gerakan massal. Sejak itu, kebijakan di bidang BBM selalu menjadi salah satu kebijakan paling sensitif atau mendapat sorotan paling luas karena berkaitan secara langsung dengan kehidupan hampir semua rakyat di negeri ini.

Selama sepuluh tahun memimpin negeri ini, saya yakin SBY juga menyadari sensitifitas rakyat terhadap kebijakan di bidang BBM. Namun, saya adalah saksi sejarah bagaimana SBY begitu tegas untuk tidak menjadikan BBM sebagai isu politik, apalagi hingga mencari kambing hitam pemerintahan sebelumnya. Tata kelola BBM di era SBY selalu berorientasi pada titik keseimbangan antara fluktuasi harga minyak dunia, daya beli masyarakat (willingness to buy) dan berbagai indikator penting lainnya yang terlalu panjang untuk diuaraikan di sini.

Rumus baku itulah yang diterapkan ketika menghadapi rentetan kenaikan harga minyak dunia di era pemerintahan SBY, disertai krisis global yang memuncak di 2008 dan terus membekas hingga tahun-tahun sesudahnya. Bisakah kita bayangkan, bagaimana jadinya negeri ini jika pemerintah saat itu tidak menerapkan subsidi BBM? Berapa juta rakyat akan kehilangan kesempatan (opportunity loss) karena tidak mampu memenuhi modal dasar aktifitas ekonomi mereka? Pertanyaan ini masih bisa kita urai lebih panjang untuk mempertegas dan memperjelas mengapa pemerintahan sebelumnya mengambil keputusan yang kini dipermasalahkan oleh pemerintah sekarang. Satu hal yang pasti, di tengah rententan kenaikan harga minyak dunia dan krisis global, SBY tetap mampu menaikkan daya beli masyarakat. Geliat ekonomi di tingkat akar rumput begitu bergairah.

Kini Jokowi mengambil kebijakan lain (mencabut subsidi BBM) di tengah tren penurunan harga minyak dunia. Tentu saja Jokowi mempunyai pertimbangan yang berbeda karena juga menghadapi situasi sosio-ekonomi yang berbeda. Kendati sebagai rakyat saya kadang mengeluh tentang rendahnya daya beli masyarakat dan sepinya aktivitas ekonomi di sektor riil, toh saya berharap keputusan Jokowi itu merupakan hasil pertimbangan terbaik dari tim-tim ekonominya. Semoga demikian, karena BBM itu bukan komoditas politik, Pak Presiden!

Ikuti tulisan menarik Putu Suasta lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler