x

Iklan

Frans Ari Prasetyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bandung lautan api, bukan lautan air

Bandung kebanjiran dan jalanan kota ini menjadi tidak ramah bahkan mengerikan ketika hujan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Banjir Cicaheum (20/03/2018). Foto oleh Frans Ari Prasetyo

Bandung kebanjiran?, pertanyaan yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan oleh publik yang tinggal di kota ini atau minimal mengenal kota ini sebagai salah satu kota dengan warisan infrastruktur kolonial dan heritage yang tidak dimiliki oleh banyak kota lainya di Indonesia. Lantas bagaimana bisa Bandung menjadi kota dengan lansekap untuk menjadi arena “langganan” banjir. Banjir perkotaan khususnya di Bandung memang tidak bisa dihindari mengingat berkurangnya terus menerus daerah resapan air, alih funsi lahan yang ekstrim hingga hanya tersedianya sekitar 12% ruang terbuka hijau dari seluruh luas kota Bandung dan itu pun termasuk area kuburan bahkan mungkin “rumput” plastik di kawasan alun-alun kota.

Maka sangat wajar jika banjir akan terus terjadi  dengan frekuansi semakin sering dan distribusi air yang semakin meluas dan merata. Mulai dari pemukiman padat penduduk, misalnya di Cicadas hingga Arcamanik yang sebelumnya tidak pernah kebanjiran, bahkan Flyover Pasopati tetiba berubah menjadi saluran air raksasa di udara. Belum lagi jalan-jalan arteri primer-sekunder yang sangat dengat pusat layanan perkotaaan primer dan pusat pemerintahan yang juga berubah menjadi kanal-kanal baru perkotaan walau berlangsung temporer.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jalanan kota Bandung menjadi tidak ramah ketika hujan, selain penumpukan air dibanyak sudut jalan-jalan kota, kehawatiran akan keselamatan dari resiko pohon tumbang pun tidak bisa terelakan. Tahun 2016-2017 saja, ada sekitar 60 pohon tumbang, 15 reklame tumbang. Jalanan kota Bandung seolah menyediakan eskalasi resiko bencana lainnya yang tidak kalah menyeramkan bagi warga kotanya, ada banjir, pohon tumbang, reklame tumbang hingga kesemrawutan kabel-kabel listrik terutama di jakan-jalan primer kota  yang menjadi semakin berbahaya ketika banjir melanda.

Kejadian pohon tumbang di jalan-jalan kota ini mengindikasikan bahwa, nyatanya daya cengram pohon berkurang akibat proyek-proyek infrastruktur drainase yang gagal karena tidak terencana baik dan hanya mementingkan estetika desain semata yang juga tetap membuat daerah tersebut kebanjiran dan itu terjadi di Jalan Dago yang notabene merupakan jalan primer kota dengan bonus sebagai salah satu kawasan turism yang tentu saja sebagai arena swafoto. Masa swafoto di area banjir ?.  Infrastruktur drainase dan trotoar kemudian disulap agar terlihat artistik dan fancy, namun ketika hujan banjir tetap terjadi diiringi kecemasan pohon tumbang, lantas apa guna proyek-proyek tersebut ? .

Baru-baru ini banjir di Bandung Timur disekitar Terminal Bis Cicaheum yang cukup ramai oleh mobilitas orang (20/03/2018) menjadi viral. Tidak hanya air, tapi juga puluhan ton lumpur dan tanah seperti warna minuman susu coklat kental atau mirip minuman lokal sunda, yaitu Bajigur. Banjir yang menyebabkan banyak rumah rusak, terendam lumpur setinggi lutut orang dewasa bahkan dibebeberapa rumah hingga mencapai ketinggian orang dewasa. Banjir yang menyebabkan satu mobil terseret sejauh puluhan kilometer melalui derasnya kanal sungai Cicabe hingga ke wilayah Arcamanik.

Banjir yang menyeret beberapa mobil sehingga saling bertumpuk disatu tempat, banjir yang meyeret beberapa kasur dan barang-barang dari toko kelontong disepanjang jalan Achmad Yani yang dekat dengan terminal sekaligus menjadi jalan utama poros timur kota Bandung yang menjadi pintu dan menghubungkannya dengan semua akses wilayah pulau Jawa. Banjir ini kemudian meluas hingga ke area kompleks Arcamanik dimana aliran sungai Cicabe ini mengalir. Beberapa warga yang tinggal di Arcamanik mengunggah dimedia sosial foto-foto rumahnya yang mendadak kebanjiran karena sebelumnya tidak pernah terjadi termasuk kedatangan tamu masuk rumah berupa ikan-ikan kolam.

Lantas, dari mana air dan lumpur ini berasal ?. Menurut beberapa warga setempat, selama puluh tahun tinggal dikawasan ini belum pernah mengalami banjir, jikapun ada itu kecil sekali akibat drainase yang mampat.  Begitu pun menurut para pengguna jalan raya, yang tidak pernah melihat banjir sedemikian parah di area ini, biasanya hanya banjir kecil dari selokan atau saluran air jalan raya yang mampat ketika hujan dan dalam satu jam saja air menghilang dari jalan. Tapi kali ini banjir membuat jalan ini seolah terputus hingga 6-8 jam sebelum air surut tapi setelahnya menyisakan endapan lumpur sedalam 30cm dan tetap membuat arus lalu lintas terhambat hingga keesokan harinya.

Banjir ini kemudian ditengarai berasal dari daerah pegunungan Manglayang di timur kota Bandung di wilayah administrasi kecamatan Cimenyan. Alih fungsi lahan yang besar-besaran dalam 10 tahun terakhir untuk dijadikan kompleks perumahan besar hingga cluster-cluster kecil membuat daya dukung lingkungan dalam konteks wilayah serapan air berkurang drastis yang tentu saja linear dengan penghilangan paksa pohon-pohon yang berada dikawasan tersebut.

Permintaan pemukiman yang sangat tinggi Di Bandung  menjadikan wilayah timur menjadi primadona untuk mendapatkan hunian alas tanah dengan harga yang masih relatif terjangkau warga (kelas menengah) masih cukup dekat dari pusat kota sekitar 3-5km dan juga kondisi alam pegunungan dengan kualitas udara dan air yang baik. Akses lainnya, seperti transportasi, rumah sakit, sekolah hingga pasar modern/tradisional cukup mudah dijangkau yang menjadikannya hampir sama dengan wilayah elite di Bandung utara.  

Alih fungsi lahan pun berubah cepat. Akibatnya, ketika hujan deras, lereng-lereng gunung didaerah Cimenyan ini dengan tingkat kecuraman tinggi akan menggelontorkan air berikut tanah permukaan kewilayah yang lebih rendah atau ke tempat yang tersedia saluran seperti sungai. Sungai yang berada dikawasan itu adalah Sungai Cipamokolan dengan ruas anak sungai yaitu sungai Cicabe. Maka, ketika saluran sungai tidak cukup memenuhi kiriman air dan lumpur dengan tekanan tinggi ini, akibatnya akan menabrak semua yang ada didepannya hingga tidak heran banyak rumah rusak akibat kejadian ini disamping melubernya airi dan lumpur tersebut ke jalan raya.

Daerah Cimenyan ini termasuk kedalam wilayah KBU (Kawasan Kandung Utara) yang artinya, segala perijinan pembanguan dikawasan KBU ini harus mendapatkan seleksi ketat dan terkendali karena kawasan ini merupakan kawasan penyangga lingkungan dan serapan air bagi kota Bandung. Jika kawasan ini rusak, akibatnya bencana akan merongrong kota Bandung, seperti contoh banjir Cicaheum dan banjir lainnya yang terjadi bersamaan dalam periode waktu dekat ini.  

Oleh karena itu,  semua pembagunan fisik di wilayah KBU harus mendapatkan rekomendasi dari provinsi Jabar jika merujuk Perda Jabar No2/2016 tentang Pedoman Pengendalian KBU. Namun nyatanya akibat desentraslisasi dan kekuatan pemerintah kota/kabupaten ijin pembangunan wilayah KBU terus diberikan kepada developer dengan dalih investasi dan peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Tidak hanya untuk perumahan tapi untuk hotel dan apartemen pun semakin marak diberikan ijin pembangunannya oleh pemerintah kota, termasuk diwilayah Cimenyan/Jatihandap yang merupakan kewenangan administratif pemerintah kota dan kabupaten Bandung.

Lalu, seperti sudah menjadi kebiasaan, jika kemudian ada bencana saling tuding dan lempar kesalahan diantara pemimpin daerah sangat mahfum terjadi. Contoh, banjir Cicaheum ini, Ridwan Kamil selaku walikota Bandung seolah menyalahkan bahwa ini merupakan banjir akibat kiriman dari kabupaten Bandung dan seolah menyalahkan karena tata kelola lahan yang beresiko lingkungan sehingga bencana terjadi. Tentu saja ini logika pemimpin yang falacy dan bias terkait posisi klaim dan lempar kesalahan, karena disisi lain Bandung selama ini selalu mengklaim branding kota serta mendapatkan value tourism yang melimpah, padahal mayoritas destinasi tourism terutama yang berkaitan dengan alam berada di kabupaten Bandung, bukan di kota Bandung. Maka tidaklah elok secara etika pemerintahan ketika ada bencana seperti banjir ini lalu disalahkannya daerah administrasif yang lain.  

Lemparan saling menyalahkan terkait kewenangan juga pernah terjadi.  Bagaimana respon Ridwan Kamil selaku walikota Bandung terkait banjir di atas flyover pasopati beberapa waktu sebelumnya yang secara fisik infrastuktur merupakan domain pemerintah pusat, tapi Flyover Pasupati ini berada di jantung kota Bandung dan menjadi ikon lansekap baru kota Bandung, tetapi luput dari perhatian dan perawatan melalui anggaran kota karenha bukan domain kewenangan. Hal serupa terjadi ketika banjir di jalan Setiabudi tahun 2016 lalu yang menelan korban jiwa dan walikota lagi-lagi menyalahkan bahwa jalan ini adalah jalan provinsi jadi semua yang terjadi itu tugas dan kewenangan provinsi, walaupun kemudian diketahui bahwa jalan itu merupakan jalan arteri sekunder kota yang notabene termasuk penyediaan dan perawatan trotoar, drainase menjadi domain pemerintah kota.

Tegangan antar pemerintahan daerah terkait sebuah kawasan, seperti KBU ini menjadi permasalahan lain dalam struktur birokrasi. Bila terkait value, investasi dan upaya menarik pajak untuk menaikan PAD melalui tourism di KBU, pemerintah kota dan kabupaten seolah saling mengklaim dan merasa paling berhak atas political branding dan political economic ini, tapi jika terkait (resiko) kebencanaan yang akan dan sudah terjadi dengan mudahnya saling lempar. Bahkan nyatanya sampai saat ini kota Bandung tidak punya Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang mandiri. Bagaimana bisa sebuah kota yang berada dalam wilayah resiko bencana tinggi dan dilalui sesar lembang tidak memiliki badan kebencanaan dan bagaimana melakukan resiliensi dan perencanaan yang baik untuk mengurangi resiko bencana perkotaan yang mengintai kapan saja, seperti banjir ini.

Dalam sejarahnya, Bandung memiliki predikat Bandung Lautan Api sebagai penanda heroisme kepahlawanan warganya dalam menentang kolonial. Namun terkait banjir ini apakah Bandung ingin kembali diingat dan dicatat sejarah sebagai Bandung Lautan Air sebagai penanda bagaimana heroismenya pembangunan beresiko dengan aksi soranganisme pemimpin kotanya. Semoga saja tidak. 

 

 

Ikuti tulisan menarik Frans Ari Prasetyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler