x

Iklan

Muchlis R Luddin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Teror dan Keadaban Kita

Peristiwa teror yang dilakukan sekelompok orang di Surabaya itu, sungguh, menggugah, mengganggu akal pikiran dan hati nurani kita.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

*oleh: Prof. Dr. Muchlis R Luddin

Peristiwa teror yang dilakukan sekelompok orang di Surabaya itu, sungguh, menggugah, mengganggu akal pikiran dan hati nurani kita. Kita merasa emosi, marah, bahkan mengalami “psycological blended” melihat fakta bahwa teror yang menewaskan banyak orang tak besalah itu melibatkan anak-anak.

Akal pikiran kita tak bisa lagi bekerja. Langsung muncul pertanyaan: masih adakah akal pikiran yang sehat pada orang-orang itu? Mengapa mereka melakukan teror? Apakah irasionalitas telah mendominasi rasionalitas akal sehat pelakunya?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kita tertegun, kaget, bahkan mengutuk perbuatan itu, karena kita tahu bahwa perbuatan teror itu merusak akal sehat masyarakat, akal sehat kita semua.

Umumnya orang-orang berbuat dan melakukan tindakan radikal, acapkali, dilandaskan oleh pengalaman terhadap sesuatu kompetisi yang meyebabkan mereka berada di dalam “keadaan yang kalah”.

Oleh sebab itu, kita sering melihat bahwa radikalisme muncul dikarenakan oleh -sekurang-kurangnya- (1) orang-orang mengalami kegagalan ketika turut serta berpartisipasi dalam kompetisi jalan pikiran. Mereka acap tak sanggup mengikuti dan berkontribusi dalam membangun jalan pikiran bersama.

Mereka selalu asyik dengan jalan pikirannya sendiri, walaupun jalan pikirannya tersebut sudah mengalami keausan. Mereka masih mempercayai jalan pikiran lama tanpa sungguh-sungguh membandingkan sanad dan asbabun nuzul jalan pikiran-jalan pikiran itu. Komparasi jalan pikiran tak dilakukan. Pemeriksaan kesahihan jalan pikiran tak dilakukan, akibatnya mereka terjebak dalam stagnasi pikiran.

(2) orang-orang mengalami stagnasi pikiran karena mereka tak mau memfungsikan pikiran untuk membandingkan interpretasi suatu ajaran dari satu kelompok dengan interpretasi suatu ajaran dari kelompok yang lain. Mereka luput mempertimbangkan bahwa kehidupan dunia ini acap kali dipenuhi oleh hasil interpretasi, walaupun ia berasal dari sebuah sumber yang sama.

Itu sebabnya, dalam menyikapi interpretasi terhadap sebuah sumber yang sama, jumhur menjadi sangat penting. Karena jumhur telah merujuk kepada sanad dan perawi. Radikalisme, umumnya, muncul karena fanatisme terhadap interpretasi sepihak, dengan mengabaikan jumhur.

(3) oleh karena itu, orang-orang bersikap radikal cenderung diliputi oleh kejumudan pemahaman. Mereka mengalami kejumudan pemahaman sendiri, sehingga acapkali tampil “merasa benar sendiri”; sementara orang lain dianggap tak sesuai dengan pemahamannya.

Kemudian orang lain dinafikan, karena orang lain itu dipandang bukan sebagai kelompoknya. Kejumudan pemahaman bermula terjadi karena ketakbersediaan untuk membuka diri, menutup diri dari rahmatan lilalamin.

(4) orang telah dijajah oleh irasionalitas. Di dalam dirinya telah berkembang irasionalitas, karena irasionalitas ini mendominasi rasionalitas. Akibatnya, akal sehat tak berfungsi. Perasaan, emosi, dan hati nurani tak lagi bekerja. Pikiran tertutup oleh takjub. Kadangkala orang yang berfaham radikal lebih mementingkan jakjub dibandingkan ajaran-ajaran luhur seperti agama.

Padahal kita tahu bahwa sebuah jakjub bukanlah agama, karena di dalam jakjub tak ada rasionalitas. Di dalam jakjub hanya ada dominasi irasionalitas. Itu sebabnya, takjub bukan agama, karena agama sesungguhnya rasional, (amat) kompatibel dengan akal sehat kita sebagai manusia.

Peristiwa teror dan berkembangnya sikap radikal di tengah (sekelompok) masyarakat kita, setidaknya membenarkan tesis Herbert Marcuse (1898-1979) bahwa “meskipun tindakan (radikal itu) tampak sebagai perwujudan rasionalitas, tetapi sesungguhnya mereka secara keseluruhan merupakan kelompok yang irasional”.

Orang-orang irasional itu bertindak menghancurkan dirinya sendiri, meluluhlantakkan rasionalitas, dan kemudian terbelenggu oleh imajinasi “memelihara perdamaian melalui perang”. Oleh karena, tak heran bahwa mereka bertindak tanpa memedulikan keadaban sosial.

Di sini, saya kemudian teringat dengan studi yang dilakukan oleh Garfinkel (1949) terhadap pembunuhan berdasarkan ras di sepuluh kota di negara bagian North Carolina AS. Garfinkel menemukan bahwa ada kecenderungan orang-orang melakukan pembunuhan terhadap marganya (warga dan kelompok warganya) sendiri.

Orang Negro membunuh orang Negro. Orang kulit putih membunuh orang kulit putih. Sedikit sekali, tindakan pembunuhan itu yang mengorbankan inter-ras. Justru korbannya lebih banyak melibatkan intra-ras.

Belajar dari sepuluh kota di North Carolina di atas, tak jauh berbeda dengan peristiwa teror di Surabaya dan di tempat lainnya. Para orang radikal itu (teroris) telah mengorbankan banyak korban umat Islam, menyudutkan umat Islam, bahkan mengobarkan manipulasi nilai ajaran Islam, yang berbeda sama sekali dengan esensi ajaran Islam sesungguhnya. Ajaran yang dipenuhi dengan nilai-nilai rahmatan lilalamin.

Tindakan-tindakan terorisme, justru merupakan tindakan keji yang telah memperbanyak serta memperluas “korban psikologis” di dalam masyarakat Islam. Masyarakat Islam mengalami kegamangan, karena terorisme tak pernah dikenal di dalam ajaran agamanya. Umat Islam “merasa disudutkan” oleh orang-orang yang mengklaim dirinya memeluk Islam.

Menginterpretasikan Islam menurut dirinya sendiri, dengan mengabaikan jumhur para ulama. Padahal mereka melakukan tindakan-tindakan uncivilized tersebut atas nama (syahwat) politik.

Memang belakangan ini, tindakan kekerasan berlangsung dimana-mana. Hampir di seantero dunia kita menyaksikan tindakan-tindakan kekerasaan. Seolah-olah tindakan kekerasaan telah menjadi lazim dan membudaya.

Kita sesungguhnya, telah lama diingatkan oleh Samuel Huntington bahwa; “Dunia telah terbelah dalam perbedaan kultur, dan agama saling berperang untuk memenangkan diri.” Dari sinilah, sesungguhnya, tindakan kekerasan bermula.

Walaupun demikian, kekerasan bukanlah suatu bentuk tindakan yang harus kita terima, apalagi kekerasan itu diselimuti oleh (pemahaman ideologis) ideologi. Sebab dunia kita tempat berada sudah berada dalam situasi yang terbuka. Dunia tak lagi tertutup. Pertukaran pemahaman jalan pikiran, ideologi, tak lagi berada di dalam “rumahnya masing-masing”.

Orang-orang saling belajar, saling ingin tahu, dan saling menawarkan “yang terbaik”. Di dalam dunia yang sudah terbuka seperti sekarang, kejumudan besikap, stagnasi jalan pikiran, sudah tak memadai lagi dalam membangun peradaban. Keadaban publik harus dibangun dengan menyebarkan nilai-nilai rahmatan lilalamin, bukan justru menyebarkan eksklusifitas-selfis.

Kita sekarang ini, membutuhkan -meminjam terminologi yang digunakan oleh Jurgen Habermas (1981)- “multikulturalisme rasionalitas dalam berkomunikasi”, sehingga dunia kehidupan kita tak dipenuhi oleh distorsi, bahkan mengalami distorsi terus menerus.

Peristiwa tindakan kekerasan, teror di Surabaya dan tempat lainnya, beberapa hari yang lalu menyadarkan kembali masyarakat kita bahwa tindakan kebiadaban tak boleh ditolerir. Kita harus menyerukan terus menerus keadaban sosial, karena kita ingin menatap kehidupan masa depan yang lebih baik. Kehidupan yang lebih adil dan sejahtera.

Mengapa keadaban sosial itu harus selalu kita gaungkan, karena kita juga telah belajar dari peristiwa masa lampau yang terjadi di dunia ini. Banyak masyarakat yang mengalami kolaps, hancur, berantakan, karena sebagian anggota masyarakatnya bertindak tanpa keadaban: bertindak biadab.

Itu sebabnya, ada baiknya saya mengungkapkan kembali sebuah pertanyaan dari Jared Diamond (2011) yang ditulis dalam bukunya berjudul “Collaps, How Societie Choose to Fail or Survive” untuk kita renungkan bersama. Pertanyaan itu bunyinya sebagai berikut: We know that some past societies collapsed while others didn’t: what made certain sicieties especially vulnerable?.

Jawaban kita bisa bermacam-macam, karena pengetahuan kita tentang sejarah masa lampau yang dilalui oleh setiap masyarakat akan berbeda-beda. Tetapi, yang dapat kita pastikan bahwa kita harus memperteguh komitmen untuk membangun masyarakat madani, dimana respek antar sesama menjadi salah satu penuntun utamanya.

Semoga kita bisa belajar lagi dari peristiwa Surabaya dan tempat-tempat lainnya itu, dan kita tak lalai (lagi) dengan kemungkinan-kemungkinan berkembangnya jalan pikiran jumud di tengah kehidupan masyarakat! Semoga masa depan kehidupan kita terus berkembang kearah yang berkedaban: sebuah masyarakat madani yang adil, makmur, dan sejahtera.

*Penulis adalah Guru Besar Sosiologi-Wakil Rektor I UNJ

Ikuti tulisan menarik Muchlis R Luddin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler