x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Siapa Aman Abdurrahman?

Aman Abdurrahman bisa diibaratkan sebagai teoritikus, ideolog dan teolog radikalisme Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Publik, aparat keamanan dan pengadilan menjulukinya sebagai tokoh inspirator komunitas dan gerakan radikal serta berbagai kelompok teror di Indonesia; pemimpin JAD (Jamaah Ansharud Daulah) yang berafiliasi ke Islamic State (IS) atau ISIS.

Di kalangan komunitas radikal di Indonesia, sosok Aman Abdurrahman (selanjutnya disebut AA) mungkin sulit menemukan duanya. Bahkan jika disandingkan dengan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir sekalipun, kecuali faktor senioritas, AA jauh lebih unggul karena sejumlah hal sebagai berikut:

Pertama, AA memiliki kemampuan literasi bahasa Arab yang di atas rata-rata, jika dibandingkan dengan hampir seluruh komunitas radikal di Indonesia. Saya telah membaca beberapa dari puluhan terjemahannya terhadap buku-buku radikal berbahasa Arab, dan kesimpulan saya, kualitas bahasa Arabnya tergolong advanced. Salah satu buku terjemahannya “Tinjauan kritis Terhadap Operasi Jihad Dengan Peledakan Diri (Dari Kitab Kusnur Rifaaqah), karya Syaikh Abu Muhammad Al Maqdisiy”. Jika dibandingkan, Abu Bakar Ba’asyir lebih banyak mewariskan legasi radikalisme melalui rekaman ceramahnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kemampuan bahasa Arab AA itu diperoleh dari dua institusi: Pertama, MAN-PK Ciamis, sebuah program pendidikan khusus yang digagas di era Menteri Agama Munawir Sadjali. Saya mengenal dekat beberapa jebolan MAN-PK, dari berbagai wilayah di Indonesia, dan kesimpulan saya: kemampuan dasar Bahasa Arab hampir semua jebolan MAN-PK jauh melebihi bahkan jika dibandingkan dengan lulusan terbaik dari pondok sekelas Gontor sekalipun. Kedua, kemampuan bahasa Arab AA yang diperoleh dari MAN-PK bertambah baik setelah AA menyelesaikan kuliahnya di LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) di Jakarta, yang merupakan cabang dari Universitas Ibnu Saud, Riyadh, Saudi Arabia.

(Catatan: beberapa tokoh muda nasional pernah mengecap pendidikan bahasa Arab di LIPIA, antara lain Ulil Abshar Abdalla, yang kemudian populer sebagai salah satu tokoh sekuler muda di Indonesia).

Kedua, pengembaraan telaahannya terhadap literartur-literartur radikalisme sangat dalam dan luas. AA bisa diposisikan sebagai figur yang menguasai a-z radikalisme. Posisi inilah yang menjadikanya sangat dihormati, dituakan dan menjadi rujukan komunitasnya.

Ketika terjadi kasus kerusuhan Napiter di Mako Brimob Kelapa Dua Depok pada 8 – 10 Mei 2018, sejumlah laporan menyebutkan, AA “dilibatkan” dalam proses negosiasi untuk meredam kerusuhan yang melibatkan 155 Napiter.

Ketiga, dua keunggulan pertama itu menjadikan AA sebagai teoritikus, ideolog dan teolog radikalisme Indonesia. Posisi intelektualitas AA di kalangan komunitasnya kira-kira sebanding dengan posisi Ayman Al-Zhawahiry terhadap Osamah bin Laden. Di kalangan komunitas radikal Indonesia, AA dijuluki dai’ mujahid.

Bernama asli Oman Rochman, akrab dipanggil Abu Sulaiman (nisbah kepada anak pertamanya yang bernama Sulaiman). Dilahirkan di Cimalaka Sumedang 5 Januari 1972, punya seorang istri dan empat anak. Publik kemudian mengenalnya dengan “Aman Abdurrahman” yang juga menjadi nama kepenulisannya.

Secara kronologis, kiprah radikalisme AA mulai tercium media ketika menjadi da’i dan imam di Masjid Yayasan Al-Shofwa As-Salafiyyah, Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Pada periode ini, AA juga mengajar materi Al-Qur’an di LIPIA; selanjutnya menjadi mudir (direktur) Ponpes Darul Ulum, Ciapus, Bogor; dan dosen di Akademi Dakwah Islam Leuwiliang Bogor.

Dari segi ilmu dasar keagamaan, AA juga tergolong bukan awam. Agak aneh bahkan mungkin sebuah paradoks, karena sebagian sumber dari kalangan radikal di Indonesia menyebut AA: menghafal Quran; menghafal kitab Bulughul Maram yang berisi hampir 1.500 hadits; menguasai dan menghafal kitab Alfiyyah Ibnu Malik (ilmu tentang Nahwu dan Shorof atau grammar bahasa Arab); menguasai Ilmu Faraidh (pembagian warisan) dan disiplin ilmu Syari’ah lainnya termasuk ushul fikhi (gelar Lc-nya di bidang Syariah). Ilmu-ilmu dasar keislmanan ini sebenarnya diajarkan juga di hampir semua Ponpes di Indonesia dan perguruan tinggi Islam populer di dunia. Hanya AA memanfaatkan ilmu-ilmu dasar keislaman itu untuk mengadvokasi pemikiran-pemikiran radikal.

Hampir semua buku-buku yang kini beredar di kalangan komunitas radikal Indonesia adalah hasil karya AA atau terjemahannya terutama terhadap kitab-kitab yang dikarang Syaikh Abu Muhammad ‘Ashim Al-Maqdisy dan Syaikh Ali Khudhoir Al Khudhoir. Dan buku-buku tersebut dulu dipublikasikan melalui situs yang kini sudah diblokir: Mimbar Tauhid Wal Jihad dan www.millahibrahim.wordpress.com. Boleh disebut AA sangat produktif bahkan dibanding para ustadz dan intelektual yang moderat.

Pada 2004, AA dipenjara dengan tuduhan menggunakan bahan peledak dalam latihan (i’dad) perakitan bom Cimanggis, lalu divonis 7 tahun penjara. Pada Juni 2008 dibebaskan dari LP Cirebon. Pada Maret 2010, AA ditangkap kembali di kediamannya di Sumedang dengan tuduhan terlibat dalam i’dad (pelatihan) bersenjata di gunung Janto Aceh, dan kemudian divonis 9 tahun penjara.

Dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat, 18 Mei 2018, AA dituntut hukuman mati. Jaksa menyebutkan lima aksi teror yang diperintahkan AA kepada pengikutnya di JAD: bom Gereja Samarinda (November 2016); bom Kampung Melayu (Mei 2017); Aksi teror Sarinah, Jalan Thamrin, Jakarta (Januari 2017); penyerangan Polda Sumatera Utara (Juni 2017); dan penyerangan terhadap polisi di Bima, Nusa Tenggara Barat (September 2017).

Namun, ada empat catatan penting tentang kemungkinan AA dijatuhi vonis mati dan kaitannya dengan kelanjutan dinamika perkembangan radikalisme di Indonesia, sebagai berikut:

Pertama, jika AA divonis mati, dari segi garis komando teologis dan gagasan radikalisme, tentu akan "memotong" figur paling berpengaruh secara pemikiran dan teologis terhadap paham dan komunitas radikal di Indonesia.

Kedua, ke depan, buku-buku karya AA sendiri (sekitar 27 buku) dan terjemahannya (sekitar 65 buku), yang berarti hampir 100 buku, akan tetap menjadi rujukan komunitas radikal di Indonesia. Meski dieksekusi mati, pengaruh AA akan tetap kuat, melalui legasi literaturnya. Posisi AA ini berbeda dengan dengan figur radikal lainnya yang divonis dan dieksekusi mati sebelumnya (misalnya Trio Bom Bali-I: Imam Samudra, Amrozy dan Mukhlas) yang relatif tidak mewariskan legasi literatur, kecuali Imam Samudera yang mewariskan satu buku berjudul “Aku Melawan Teroris”.

Ketiga, agenda deradikalisasi yang telah-dan-sedang dijalankan oleh beberapa institusi pemerintahan dan masyarakat sipil, ke depan diharapkan dapat mengambil kebijakan taktis dan strategis terhadap buku-buku karya dan terjemaan AA. Jika tidak, AA akan terus menginspirasi radikalisme di Indonesia. Kesimpulannya, AA menjadi benteng sekaligus menjadi tantangan terberat yang harus dihadapi oleh program deradikalisasi nasional, bahkan seandainya pun nanti divonis dan dieksekusi mati.

Keempat, saya merekomendasikan, perlu dibentuk semacam tim khusus para pakar, yang bertugas merangkum argumen dan dalil bantahan, yang disajikan dalam format kompilasi dan diperhadapkan secara head-to-head terhadap semua item gagasan radikalisme yang telah lama diadvokasi oleh AA.

Syarifuddin Abdullah | 19 Mei 2018 / 03 Ramadhan 1439H

Sumber foto: Aman Abdurrahman saat menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Sekatan, 15 Februari 2018. (AP Photo/Tatan Syuflana dalam metro.tempo.co).

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler