x

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Teror 200 Penceramah yang Tak Jelas Arah

Gaduh soal rilis Kemenag mengenai 200 penceramah, tidak saja menimbulkan saling curiga banyak pihak

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Gaduh soal rilis Kemenag mengenai 200 penceramah, tidak saja menimbulkan saling curiga banyak pihak, tetapi justru menunjukkan perkara agama seakan menjadi hak penguasa dalam hal pengaturannya. Anehnya, tidak semua agama diatur soal siapa-siapa kemudian yang pantas menjadi penceramah, tetapi hanya penceramah dari agama Islam. Jumlah 200 orang memang tidaklah mewakili seluruh masyarakat Muslim Indonesia, namun paling tidak daftar nama-nama penceramah itu bertaraf nasional atau paling tidak mewakili ormas-ormas Islam terbesar di Indonesia.

Banyak nada kritik bahkan menohok saat rilis 200 nama penceramah ini diumumkan ke publik. Pasalnya, yang dijadikan standarisasi ukuran para penceramah tersebut, belum sepenuhnya  melibatkan unsur-unsur kelembagaan Islam, baik ormas, perwakilan akademisi atau tokoh Islam, atau lembaga kegamaan Islam lainnya yang berfokus dalam bidang dakwah. Sehingga wajar, jika banyak anggapan bahwa pilihan yang dilakukan pihak pemerintah ini tentu saja sangat subjektif, entah karena sekadar ingin memenuhi keinginan penguasa atau malah salah menafsirkan keinginan publik. Ditambah lagi, kemunculan rilis penceramah versi pemerintah ini justru muncul setelah rentetan aksi terorisme mengguncang Indonesia.

Pemerintah sepertinya terburu-buru menyimpulkan, bahwa rangkaian aksi teror adalah akibat dari proses indoktrinasi para mubalig yang dinilai “radikal”, sehingga masyarakat perlu tahu siapa-siapa saja penceramah yang “bersih” dari unsur-unsur radikalisme. Inilah sebenarnya yang sempat dikritik oleh KH Said Aqil Siraj setelah rilis 200 penceramah itu muncul, dimana seharusnya yang dirilis adalah mereka yang terindikasi radikalisme karena jumlahnya pasti relatif sedikit dibanding penceramah kondang lainnya yang telah lebih dulu memiliki jutaan pendukungnya. Lagi pula, tanpa harus ada rilis dari pemerintah sekalipun, masyarakat sudah cerdas dalam hal memilih dan membedakan, mana mubalig berbobot atau sekadar kelas selebritas yang banyak diberitakan media.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya kira, tak ada dampak kemanfaatan apapun dari rilis 200 orang pencermah versi Kemenag, kecuali muncul polemik tidak saja dari pihak luar yang merasa namanya tidak tercatut didalam rilis tersebut, atau bahkan dari dalam nama-nama mubalig yang dirilis tersebut. Bukankah tidak semua orang yang dicatut oleh Kemenag sebagai penceramah yang “bersertifikasi” kemudian merasa senang dan dihormati? Malah ada beberapa orang yang disebut mengundurkan diri dan enggan masuk dalam daftar tersebut. Bahkan ada juga yang sudah masuk, tetapi justru merasa asing dan kurang layak disebut sebagai penceramah. Seperti cuitan Aa Gym yang tampak gundah karena namanya masuk dalam daftar deretan 200 penceramah yang direkomendasikan pemerintah.

Terlepas dari polemisasi soal 200 penceramah, saya justru merasa khawatir bahwa Islam sepertinya sedang diawasi sebagai agama yang lebih mudah terindikasi radikalisme. Tanpa disadari, setelah muncul larangan bicara politik di masjid, menciptakan stigmatisasi negatif terhadap simbolisasi Islam, atau kecurigaan yang berlebih pada para mubalig tertentu, bahkan mungkin penindakan tegas bagi para penceramah yang keluar dari kaidah aturan: baik itu kritikan tajam kepada penguasa, berkesan “loyalis” terhadap salah satu kubu politik, membuat ujaran kebencian terhadap pihak lain atau semacamnya. Bukan suatu kebetulan saya kira, aksi terorisme yang terjadi secara beruntun di Surabaya, setali tiga uang dengan vonis mati seorang penganut ideologi “radikalis-jihadis”, Aman Abdurrahmah yang dianggap sosok paling bertanggung jawab terhadap serangkaian aksi teror yang menghilangkan nyawa banyak orang.

Penguakan soal siapa dalang aksi teror di tiga gereja di Surabaya saja masih belum terungkap, tetapi upaya mengawasi umat Islam tampak pukul rata dan seolah-olah Islam dicurigai karena mewarisi ideologi radikal, padahal sesungguhnya tidak sama sekali. Radikalisme bagi saya, lebih banyak lahir dari minimnya wawasan keagamaan ditambah oleh kondisi sosial yang tidak stabil atau gambaran-gambaran kepolitikan yang cenderung berat sebelah dan tidak adil. Stabilitas sosial dan politik, penting untuk senantiasa diciptakan, sehingga mengurangi penyebaran ideologi jihadis-radikalis ditengah masyarakat. Bukankah masa Orde Baru bisa dijadikan contoh, dimana gerakan-gerakan anti pemerintah, radikalisme, atau kekuatan-kekuatan kontra negara lainnya, mudah terendus dan diringkus sehingga tak menimbulkan efek lebih luas? Rezim waktu itu mampu menciptakan stabilitas, sehingga paham-paham radikalis juga sulit berkembang.

Saya kira, Kemenag sebagai pihak pemerintah, seharusnya memberi pemahaman kepada masyarakat soal bagaimana menciptakan stabilitas sosial yang lebih baik dengan merangkul berbagai pihak, baik yang pro maupun yang kontra terhadap pemerintah. Sejauh ini, berbagai langkah strategis Kemenag seakan hanya “melayani” penguasa atau mereka yang bersuara dengan corong kekuasaan. Mungkin saja alasan dikeluarkannya rilis 200 penceramah karena ada desakan dari masyarakat, justru yang dimaksud adalah mereka yang bersuara sama dengan penguasa atau paling tidak, pro terhadap kekuasaan. Sebab, jika benar bahwa dorongan munculnya daftar nama mubalig betul-betul aspirasi masyarakat keseluruhan, sangat tidak mungkin berjumlah 200, mengingat umat Muslim Indonesia sudah lebih dari 250 juta jiwa.

Keberadaan 200 penceramah yang kadung tersiar ke publik, justru seakan menjadi “teror” karena menimbulkan polemik berbagai pihak. Bahkan ada yang menyangsikan keakuratan beberapa nama yang tertulis masih eksis keberadaannya? Karena ada salah satu pihak yang “meragukan” data dari daftar nama-nama tersebut, karena ada diantara nama yang justru sudah wafat beberapa bulan yang lalu, tetapi tercatat sebagai penceramah versi pemerintah. Saya kira, perlu kehati-hatian dalam merilis data apapun, terutama ketika yang melakukan pemerintah. Alih-alih ingin mendapat pujian, justru malah kritikan bahkan cemoohan yang kemudian ditorehkan.

Saya kira, umat Muslim di negeri ini benar-benar dalam kondisi yang sulit dan terjepit, sehingga wajar jika kemudian muncul serangkaian protes, kritik, atau yang lebih parah muncul ungkapan-ungkapan kebencian (hate speech) di depan publik. Sebagian yang nyaman karena mendapatkan privilege kekuasaan, akan menuduh kelompok diluar dirinya sebagai “pembenci”, kelompok radikalis, penyuka kekerasan, atau stigmatisasi negatif lainnya. Disisi lain, mereka yang berada di luar lingkaran kekuasaan, justru menuduh kelompok-kelompok yang pro penguasa sebagai oportunis, pengadu domba agama, bahkan dianggap mendiskreditkan kelompok lain yang seagama. Sulit kita melepaskan dari sebuah skenario besar drama politik, yang didalamnya disokong penuh oleh kekuatan-kekuatan sosial-politik berbaju agama.

Saya justru berharap, seluruh rangkaian yang terjadi belakangan ini yang tampak suram dan menyedihkan merupakan ongkos politik yang walaupun harus dibayar mahal, tetapi sebanding dengan tumbuhnya ikatan solidaritas sosial melalui kesadaran bersama membangun negara dan bangsa. Dulu, peralihan dari satu rezim ke rezim lainnya tak lepas dari kondisi chaos, berdarah-darah penuh konflik, lalu tercipta sebuah kondisi masyarakat yang relatif lebih baik dan stabil. Mungkin saja serentetan kejadian belakangan, merupakan ongkos politik dari suatu perubahan ke arah suasana politik lebih demokratis, bukan sebagai suatu anomali yang justru akan semakin memperburuk kondusifitas bangsa ini yang sebelumnya mulai tampak labil dan melemah.   

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler