x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Zalim dan Kezaliman (1)

Memaklumi kezaliman adalah kezaliman. Mendiamkan kezaliman adalah induk semang kazaliman. Melawan dengan menelanjanginya sevulgar mungkin.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Zalim dan Kezaliman bisa terjadi kapan saja, di mana saja, menimpa siapa saja, dengan pemicu yang kadang sangat sederhana, dari orang-orang yang mungkin tak dinyana-nyana. Kezaliman pun dapat berlapis-lapis seperti kulit bawang, dan untuk mengurainya kita kadang terpaksa harus memotongnya atau mengirisnya. Pelan-pelan jika perlu.

Zalim, dalam defenisinya yang paling sederhana, adalah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya, atau tidak semestinya. Zalim bisa juga diartikan mencabut sesuatu dari tempat yang semestinya. Menempatkan gayung toilet di meja tamu adalah tindakan zalim terhadap meja, zalim terhadap gayung, dan sekaligus zalim terhadap kepantasan.

Dan sesuatu yang bukan pada tempatnya cenderung akan menciptakan ketidakseimbangan. Ketidakesimbangan akan memicu kepincangan. Kepincangan akan memicu kepincangan lanjutan. Akhirnya, akumulasi kepincangan akan berujung pada kekacauan. Kekacauan itu adalah puncak kezaliman. Karena itulah, kezaliman sering dikontraskan dengan keadilan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bila tahu bahwa X mestinya berpasangan dengan hijau, tapi Anda justru menempatkan X pada coklat, berarti Anda melakukan kezaliman tiga rangkap sekaligus: (a) menzalimi X karena mestinya ia berpasangan dengan hijau, tetapi Anda memasangkannya dengan coklat; (b) menzalimi coklat karena seharusnya ia tidak dipasangkan dengan X; dan (c) menzalimi hijau yang tidak dipasangkan dengan X.

Dan tiap kezaliman biasanya akan memicu kezaliman lanjutan, hingga akhirnya kezaliman itu akan berlapis-lapis, dan akan tiba pada kondisi atau situasi yang membuat kita sulit membedakan mana kezaliman yang lebih dulu dan mana kezaliman yang datang kemudian. Ini yang disebut lingkaran setan kezaliman.

Tapi mari melihatnya zalim dalam praktek kehidupan keseharian:

Bila merasa haus, lantas tidak munium, berarti Anda menzalimi tonggorokan Anda yang kering kehausan; yang berpotensi memicu kezaliman lanjutan terhadap anggota tubuh lainnya akibat dehidrasi.

Jika merasa lapar, lantas tidak makan, berarti Anda menzalimi lambung Anda melalui tindakan membiarkan lambung tidak mendapatkan asupan kebutuhannya.

Sebaliknya, mengaku lapar, padahal sedang kenyang, juga menzalimi perut. Dan jika lapar lantas mengaku kenyang adalah menzalimi kebutuhan akan makanan.

Jika berkecukupan lantas mengaku kekurangan, berarti menzalimi kebercukupan karena tidak menghargai (tidak mensyukuri kebercukupan itu). Sebaliknya, mengaku kecukupan padahal kekurangan juga menzalimi kebutuhan.

Mendahulukan yang belakangan adalah tindakan kezaliman terhadap yang didahulukan sekaligus yang dibelakangkan. Menunda sesuatu yang mestinya duluan adalah kezaliman terhadap yang tertunda.

Memaklumi kezaliman adalah kezaliman. Mendiamkan kezaliman adalah induk semang kazaliman. Dan tiap kezaliman seharusnya memang dilawan. Cara efektif melawan kezaliman adalah menelanjanginya sevulgar mungkin. Dan ketika memutuskan melawannya, berarti siap menanggung segala resikonya, yang terburuk sekalipun.

(BERSAMBUNG)

Syarifuddin Abdullah | 25 Mei 2018 / 09 Ramadhan 1439H

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler