x

Iklan

Rudi Fitrianto

Pengamat Kebijakan Publik, Politik dan Hukum
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Catatan Refleksi 20 Tahun Reformasi

Reformasi merupakan salah satu sejarah bangsa Indonesia dimana perubahan mendasar terjadi khususnya politik dan ketatanegaraan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kemarin tanggal 21 Mei 2018 masyarakat Indonesia mengingat peristiwa politik dan ketatanegaraan kembali yang telah terjadi 20 tahun silam. Peristiwa tersebut merupakah salah satu perjalan sejarah negara Indonesia yang sangat menjadi sorotan dunia internasional, negara Indonesia melakukan perubahan di dalam negerinya sendiri. Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden ke – 2 RI Jenderal Besar H. M. Soeharto sedang berupaya untuk membangun dan menjaga kemerdekaan dari penjajah. Cukup banyak capaian yang di torehkan oleh jenderal bintang lima tersebut namun juga banyak catatan kelam yang terjadi saat itu.

Soeharto diberikan mandat untuk menjadi Presiden Indonesia saat terjadinya tragedi politik berdarah dan kelam yaitu pembrontakan G 30 S/PKI dan ditolaknya Pidato Pertanggung jawaban Presiden Soekarno oleh parlemen saat itu. Ketika itu presiden Soeharto di berikan surat perintah sebelas maret (supersemar) oleh Presiden Soekarno untuk mengatasi stabilitas politik dan keamanan dalam negeri yang terganggu.

Presiden Soeharto telah berkuasa di Indonesia selama 32 tahun dan “jatuh” dari kekuasaan karena desakan mahasiswa dan akibat utamanya disebabkan krisis ekonomi 1998. Seharusnya jika tidak ada gerakan masa dan krisis ekonomi pemerintahan Soeharto akan berakhir tahun 2002, tetapi sebenarnya tanda – tanda akan jatuhnya Soeharto pun sudah terihat, sebut saja beberapa menteri pembangunan ke- VII yang terpilih agaknya enggan untuk di lantik di istana dan kemauan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) ingin melakukan reformasi di dalam tubuhnya sendiri.  

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Setelah 20 tahun reformasi banyak pro dan kontra di tengah masyarakat Indonesia saat ini bahkan ada anekdot stiker di kendaraan umum baik truck atau mobil bertuliskan; “Piye kabare penak jamanku tah?” dengan gambar soeharto yang melambaikan tangan dan tersenyum. Benarkah orde baru lebih baik dari era reformasi? Lalu capaian apa saja yang sudah bangsa Indonesia lakukan selama 20 reformasi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut ada beberapa catatan penting yang perlu kita lihat yakni; Penegakan Hukum dan Reformasi Birokrasi, Kebebasan dan Demokrasi, Pembangunan Ekonomi, dan Stabilitas Politik serta Keamanan.

Penegakan Hukum dan Reformasi Birokrasi

Dalam negara yang menganut sistem demokrasi penegakan hukum merupakan instrumen penting bagi berjalannya demokrasi. Saat ini penegak hukum di Indonesia terus berbenah baik kepolisian, Kejaksaan dan Hakim. Bahkan berbagai lembaga survei setiap tahun terus memberikan peringkat kepada seluruh lembaga negara, hal ini tentunya baik agar semua stakeholders terus berbenah dan dicintai oleh masyarakat. Melalui landasan hukum Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemeberantasan Korupsi, lahirlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan lahirnya KPK sesungguhnya merupakan sebuah gambaran dan iktikad kuat dari negara ini untuk belajar dari masa lalu yang kelam khususnya terkait korupsi. Saat ini kepolisian, kejaksaan tidak sendiri untuk memberantas korupsi tetapi sudah ada lembaga antirasuah yang disebut KPK yang saat ini sangat dicintai masyarakat Indonesia sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi. Selain itu iktikad kuat negara ini dalam pemberantasan korupsi juga dijamin oleh sejumlah peraturan perundang – undangan seperti halnya; Undang – Undang Nomor. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana, Undang – Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang  Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang – Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan Undang – Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Hal tersebut dulu mungkin dalam orde baru tidak ada, tetapi sekarang era reformasi menuntut pemerintah agar semuanya terbuka agar masyarakat tahu akan progam kerja pemerintah, anggaran dan outputnya. Namun dalam hal penegakan hukum mungkin ada beberapa catatan kecil yang sering dikeluhkan masyarakat yakni penegakan hukum kadang dirasa lebih tumpul ke atas dari pada kebawah. Mungkin anggapan tersebut yang harus di patahkan oleh para penegak hukum yang terhormat.

Selain hal tersebut terkait reformasi birokrasi merupakan upaya untuk melakukan sebuah pembaharuan dan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan tujuannya agar dapat menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance). Michael G. Roskin, et al. Menyebutkan bahwa harus ada empat fungsi  birokrasi dalam pemerintahan modern, yakni administrasi, Pelayanan, Pengaturan (reguation), dan Pengumpulan informasi. Reformasi Birokrasi yang baik tidak terlepas dari Political Will sebuah pemerintahan terutama dari seorang pemimpin. Pada tahun 2004 – 2009, 2009 – 2014, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mencanangkan agenda reformasi birokrasi sebagai salah satu janji kampanye kala itu.

Namun untuk mewujudkan agenda reformasi tersebut tidaklah semudah membalikan tangan, permasalahan utama sampai saat ini terkait reformasi birokrasi ialah bukan lagi efektifitas dan efisiensi, melainkan korupsi yang menjadi penyakit utama yang menghalangi perfoma pemerintah yang unggul di depan publik. Korupsi termasuk pungutan liar sampai saat ini menjadi salah satu penyakit akut yang sulit di berantas sekalipun telah dibentuk KPK hal tersebut di sebabkan kultur yang sudah terbangun turun temurun di sistem birokrasi kita, sehingga sulit menemukan hulu dan hilirnya permasalahan tersebut. Tetapi reformasi birokrasi yang diagendakan pemerintahan Presiden SBY  perlu diberikan apresiasi, sebagai pemimpin tertinggi Yudhoyono tidak tebang pilih dalam menindak kasus korupsi termasuk pada besan, para menteri, dan kader partainya sendiri hal yang demikian tentunya tidak boleh berhenti begitu saja dan harus dilanjutkan oleh Presiden Jokowi dan penerusnya kelak.  Ikhtiar pemberantasan korupsi harus terus dijaga di negeri ini agar budaya anti korupsi terus terbangun di negeri tercinta ini.

Terkait reformasi birokrasi, nampaknya budaya Kolusi dan Nepotisme di kalangan birokrat kita kedepan makin berkurang, pos - pos strategis di pemerintahan sekarang di isi oleh orang yang benar - benar berprestasi. Merit sistem dalam era reformasi sudah mulai di jalankan sebut saja untuk penerimaan pegawai CPNS baik Pusat dan Daerah pun saat ini sangat objektif, melalui sistem komputerisasi saat ini semuanya bisa transparan dan hal ini tentunya baik untuk terus ditingkatkan dan dilanjutkan.

Kebebasan dan Demokrasi

Saat ini di alam keterbukaan dan demokrasi atmosfer kebebasaan sangat kita rasakan yang mungkin dulu pada orde baru masyarakat dan insan pers menikmati “kebebasan” amat terbatas apalagi dalam menyampaikan pendapat mungkin hanya orang benar – benar nekad yang berani mengkritik presiden. Saat orde baru tumbang Presiden Habibie kala itu membuka kran demokrasi dan kebebasan yang tidak terbatas sebut saja untuk kebebasan Pers, Presiden Habibie memberikan perlindungan sebuah payung hukum seperangkat peraturan perundang – undangan yakni Undang – Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 4 ayat 1 Undang – Undang tentang Pers menyebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi  warga negara, ayat 2 menyebutkan bahwa pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan atau pelanggaran penyiaran, ayat 3 menyebutkan untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan. Untuk kebebasan dalam menyampaikan pendapat di muka umum juga ada landasan hukum yang melindunginya yakni Undang – Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan  Menyampaikan Pendapat di muka umum. Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyapaikan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab adalah hak setiap warga negara.

Namun arus kebabasan pada era reformasi saat ini dalam praktiknya banyak disalahgunakan sebut saja ujaran kebencian, adu domba dan fitnah melalui media sosial seperti halnya facebook, whatapp, twitter dan atau lainya, oleh sebab itu perlu adanya pembatasan melalui seperangkat peraturan perundang – undangan yang disebut Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Beberapa  pegiat media sosial berpendapat bahwa UU ITE tersebut digunakan untuk membungkam demokrasi yang tengah mekar dewasa ini. Benarkah demikian? Adanya seperangkat peraturan undang - undang sebenarnya baik agar demokrasi kita semakin berkualitas kedepan. Selain itu juga ditambah adanya mekanisme kontrol untuk membela diri melalui peradilan hal tersebut tentunya dapat menghindari "abuse" dari penegakan hukum. Hal terpenting dalam penegakan UU ITE ialah jangan diterapkan hanya like and dislike hal tersebut agar demokrasi tetap hidup. 

Selain itu demokrasi dalam sistem perpolitikan kita juga banyak terjadi kemajuan sebut saja sekarang Presiden dan wakil presiden sudah dapat dipilih  secara langsung oleh rakyat setiap lima tahun sekali dalam jangka waktu dua periode masa jabatan. Ditambah lagi sekarang bupati/ wali kota dan wakilnya, Gubernur dan wakilnya juga dipilih langsung oleh rakyat hal ini merupakan tuntutan demokrasi yang sangat dirasakan oleh rakyat Indonesia, walaupun khususnya untuk Pilkada masih menjadi perdebatan di kalangan pakar hukum tata negara karena sebagian menginginkan agar kepala daerah tetap dipilih DPRD dan sebagian berpendapat bahwa Pilkada harus tetap langsung dipilih rakyat, pendapat ini sah – sah saja dalam alam demokrasi. Tetapi sepertinya masyarakat dewasa ini masih menginginkan pilkada yang diselenggarakan lima tahunan tetap langsung oleh rakyat.

Pembangunan Manusia dan Ekonomi

Sekitar tahun 1960-an sampai 1996 saat Indonesia dibawah pemerintahan Presiden Soeharto, tingkat kemiskinan menurun drastis baik desa atau kota- hal ini dikarenakan -pertumbuhan ekonomi yang baik dan kuat selain itu program pro rakyat yang berjalan efektif dan efisien.  Selama orde baru masyarakat yang hidup dengan ekonomi menengah kebawah hanya 11 % dari seluruh penduduk pada zamanya. Namun ketika krisis ekonomi melanda pada tahun 1998 tingkat kemiskinan di Indonesia melejit tinggi dari 11 % menjadi 19,9 %  di akhir tahun 1998 dan hal tersebut menyebabkan jatuhnya Presiden Soeharto dari kursi presiden.

Pembangunan ekonomi pada masa orde baru sangat sukses dan membekas masyarakat Indonesia pada “zamanya” apalagi dengan program padat karya yang di galakan pemerintah serta sandang dan papan terjangkau masyarakat. Lalu bagaimana dengan sekarang? Pemerintahan pasca orde baru mulai Presiden Habibie, Gus dur, Megawati, SBY, dan sekarang Jokowi selalu berikhtiar mensejahterakan rakyat Indonesia. Cara pemimpin untuk memberikan perlindungan pada masyarakat mungkin berbeda – beda, sebut saja era Presiden Yudhoyono menerapkan triple track dalam menentukan kebijakan pemerintahan yakni; pro poor, pro growth dan pro job.  Untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat ekonomi menengah kebawah Presiden SBY mengeluarkan kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) saat menaikan harga bahan bakar minyak selain itu juga ada program PNPM seperti halnya zaman presiden soeharto yang disebut program padat karya, selain itu untuk mengurangi kemiskinan pemerintah  juga menganggarkan 20% dari APBN kita untuk pendidikan. Melalui program beasiswa seperti BOS, bidik misi, dan beasiswa LPDP  untuk generasi muda Indonesia maka masa depan mereka akan  cerah, pendidikan merupakan salah satu cara yang efektif untuk memotong mata rantai kemiskinan yang ada di negara ini. Apalagi saat ini Presiden Jokowi juga mengeluarkan Kartu Indonesia Pintar pastinya akan menunjang meningkatnyan kualitas pendidikan di Indonesia. Mengatasi Ekonomi dan pembangunan manusia di Indonesia tidak bisa berhenti pada sebuah rezim tetapi harus berkelanjutan “continue” dari pemerintahan yang satu ke pemerintahan berikutnya. Perlu kiranya Indonesia menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) seperti zaman Presiden Soeharto agar pembangunan di negara kita bisa berkelanjutan dan lebih jelas tidak hanya seremonial politik lima tahunan semata. Sebagai catatan saat pasca reformasi khususnya untuk penurunan jumlah angka kemiskinan masih kurang efektif dan jumlah kemiskinan masih tergolong tinggi jika dibandingkan pada awal orde baru. Tetapi pemerintah berkewajiban harus terus optimis dan berikhtiar dalam penurunan kemiskinan dan pengangguran.

Presiden Soeharto telah banyak menorehkan tinta emasnya untuk pembangunan manusia dan ekonomi di negeri ini walaupun sebagai pemimpin beliau juga banyak khilaf. Reformasi hakekatnya adalah pembaharuan mendasar atas apa yang terjadi di masa lalu agar tidak ada lagi kesalahan dan “abuse of power” di masa depan. Kita tentunya berharap hal yang baik pasca reformasi dan sebelumnya perlu kita pertahanankan untuk Indonesia yang lebih baik dan kita juga di tuntut untuk mengambil pelajaran bahwa pemerintahan yang otoriter dan tidak ada kontrol dari masyarakat akan cenderung tidak akan memiliki "good ending" dalam berkuasa. Semoga Indonesia kedepan makin aman, adil dan sejahtera. 

Rudi Fitrianto

Pemerhati Politik dan Hukum

Ikuti tulisan menarik Rudi Fitrianto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler