x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Transformasi Petani Menjadi Buruh Industri Perkebunan

Kajian akibat perkebunan gula di Karesidenan Pekalongan terhadap pola relasi sosial dan perburuhan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Pekalongan 1830-1870:Transformasi Petani Menjadi Buruh Industri Perkebunan

Penulis: Edi Cahyono

Tahun Terbit: 2005

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Edi Cahyono’s Experience

Tebal: viii + 119

ISBN:

 

Perubahan sistem produksi yang ditunjang oleh teknologi bukan saja mengubah proses produksi, tetapi juga berakibat kepada perubahan relasi sosial. Apalagi jika perubahan teknologi itu berpadu dengan kekuasaan dan modal. Salah satu contohnya adalah berubahnya teknologi permesinan dalam industri gula di Jawa. Perkebunan gula di pantai utara Jawa yang dulunya bangkrut karena mengandalkan tenaga manusia, bangkit kembali karena ada mesin baru yang bisa menggantikan tenaga manusia dalam proses industri gula. Perubahan teknologi ini juga mengakibatkan para petani yang dulu mandiri mengusahakan tanaman pertanian, tiba-tiba harus menjadi buruh di lahannya sendiri karena proses produksi gula diambil alih oleh mesin. Demikian pun dengan para elite lokal yang dulu hidup dengan memanfaatkan para buruh tani yang tak berbayar, sekedar kesetiaan sosial saja, tiba-tiba harus menghadapi pola hubungan yang serba uang.

Edi Cahyono menggambarkan dengan sangat baik perubahan sistem produksi yang ditunjang teknologi permesinan industri gula, modal dan korporasi dan akibatnya kepada relasi sosial di wilayah Pekalongan antara tahun 1830 ke 1870. Para petani yang dulu adalah pengusaha di lahan sendiri, akibat dari datangnya sistem produksi yang baru ini menyebabkan mereka terpaksa harus menjadi buruh industri gula. Usaha-usaha pertanian lokal tak bisa bersaing dengan sistem produksi baru ini.

Dalam transformasi sosial jaman kolonial biasanya terjadi dengan pemaksaan kekuasaan. Banyak pihak terlibat. Pihak pemilik modal menggandeng penguasa lokal yang feodal. Modal, teknologi (kadang ditambahi senjata) yang bertemu dengan kekuasaan lokal berakibat pada penderitaan rakyat.

Namun dalam kasus Pekalongan, Edi Cahyono menemukan mode lain perubahan sosial. Cahyono menyampaikan: Gejala “kerja bebas” muncul akibat menjadi efektifnya sistem upah yang diintensifkan oleh pabrik gula. Selain juga disebabkan oleh runtuhnya sistem perekonomian pedesaan yang menjadi tidak sanggup “mensejahterakan” penduduknya, akibat penyerapan berlebih dari negara kolonial dalam penggunaan tanah dan terutama tenaga kerja. Onderneming yang efektif, yang ditunjang oleh sistem upah menyebabkan mau tidak mau rakyat harus masuk kepada sistem baru yang diperkenalkan.

Sistem baru ini telah mengeliminasi peran para feodal lokal. Jika sebelum pabrik gula muncul di Karesidenan Pekalongan ada, para elite lokal yang adalah para tuan tanah berhubungan dengan rakyat sebagai penggarap atau buruh di sawah-sawah para elite. Namun sistem upah yang diperkenalkan oleh onderneming membuat para elite lokal ini tidak mampu bersaing dalam mencari tenaga kerja (hal. 18). Rakyat lebih suka menjadi buruh perkebunan yang pendapatannya pasti. Akibat ketiadaan tenaga kerja di usaha tani yang diupayakan oleh para elite lokal, maka mau tidak mau tanah-tanah tersebut berpindah tangan kepada pabrik gula. Akibatnya para elite lokal pun mau tidak mau harus menjadi pendukung sistem ekonomi baru yang diperkenalkan oleh gupermen ini (hal. 50). Bahkan seorang bupati sampai harus kerja sebagai mandor (hal. 75).

Cahyono membagi sejarah perkebunan gula di Jawa menjadi tiga fase. Fase pertama adalah antara abad 17 dan awal abad 18, dimana perkebunan gula diusahakan secara mandiri oleh para pengusaha keturunan Tionghoa di Batavia. Fase kedua adalah antara tahun 1830-1870, yaitu masa culture stelsel. Fase dimana negara (Hindia Belanda) mempunyai peran yang sangat besar dalam perkebunan gula. Fase ketiga adalah setelah tahun 1870, dimana peran negara mulai menurun dan peran perusahaan mulai meningkat (hal. 1).

Setelah menjelaskan sejarah perkebunan gula di Batavia dan di pantai utara Jawa, Edi Cahyono membahas secara mendalam perkebunan gula di wilayah Pemanukan dan Ciasem, Karesidenan Pekalongan. Perkebunan yang diselenggarakan oleh pengusaha Inggris ini bangkrut karena pemilihan lokasi yang salah. Lokasi-lokasi perkebunan gula berada di tempat yang jarang penduduknya, sehingga proses penanaman tebu menjadi terhambat. Meski telah diupayakan dengan bantuan pemerintah, namun pasokan buruh tetap tidak mencukupi dan berakibat bangkrutnya pabrik gula di wilayah Pemanukan – Ciasem ini.

Pabrik-pabrik gula modern baru kembali muncul di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada era tanam paksa era Van den Bosch. Didukung dengan kekuatan negara dan permodalan perkebunan gula bisa dijalankan. Kekuasaan yang ada menyebabkan mobilisasi lahan dan tenaga kerja menjadi terjamin. Sistem tanam paksa ini perlahan berubah menjadi sistem industri, dimana pengusaha mengatur sendiri sistem produksinya. Di era inilah terjadi hubungan yang berubah dari pengusaha dengan buruh “kerja bebas.” Para petani membuat kelompok untuk menawarkan kerja kepada perusahaan secara langsung.

Selayaknya sistem kapitalisme yang dijalankan oleh negara, maka para pemegang modal memiliki kuasa untuk mengatur produksi, proses peorduksi dan upah. Kondisi ini menyebabkan para buruh tidak memiliki kekuasaan apapun untuk ikut serta menentukan nasipnya. Para pemilik modal hanya peduli kepada keuntungan dan mempertahankan kondisi buruh supaya tidak berontak. Upah selalu disesuaikan dengan taraf pemenuhan kebutuhan minimal saja. Apalagi ditunjang dengan budaya boros, yaitu perjudian, prostitusi dan minuman keras, menyebabkan para buruh ini menjadi sangat mudah untuk ditekan (hal. 105).

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler