x

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Memahami Puasa Esoteris

Mungkin tak berlebihan kiranya, jika puasa lebih banyak dipahami sebagai bentuk ibadah secara eksoteris (lahiriah) dibanding esoteris (batiniyah)

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mungkin tak berlebihan kiranya, jika puasa lebih banyak dipahami sebagai bentuk ibadah secara eksoteris (lahiriah) dibanding esoteris (batiniyah). Menahan lapar dan dahaga merupakan bentuk “kesengsaraan” fisik yang seringkali ditonjolkan dalam sebuah aktivitas puasa. Padahal, melihat pada entitas puasa sebagai ibadah yang langsung dinilai dan hanya untuk Tuhan (as-shaumu lii wal ajzi bii), maka dimensi batiniyah puasa semestinya lebih kuat, karena Tuhan tak mungkin dipahami dalam dunia fisik-lahiriah, tetapi kehadiran-Nya hanya dapat dirasakan melalui ruang-ruang batin berdimensi metafisik. Puasa, dengan demikian sesungguhnya jalan menyingkap ruang batin untuk menggapai nilai-nilai ilahiah, melalui peneladanan kesengsaraan fisik.

Bukan suatu kebetulan, ketika Nabi Muhammad menyebut terdapat dua sisi kebahagiaan yang melekat pada setiap hamba yang berpuasa, yaitu kebahagiaan disaat berbuka dan ketika mereka bertemu dengan Tuhannya. Berbuka setelah menahan lapar dan dahaga, tentu saja kebahagiaan yang dapat diukur secara fisik, namun jauh dari itu, kebahagiaan yang lebih tinggi dan abadi tentu saja ketika bertemu dengan Rabb-nya. Kalimat “liqai rabbihi” (bertemu dengan Tuhannya) yang disebut kebahagiaan terakhir bagi orang yang berpuasa, bukanlah dalam konteks kedisanaan (nanti di akhirat), tetapi justru “menemukan” Tuhan yang hanya mampu dilakukan ketika seseorang menjalani puasa secara esoteris.

Secara hakiki, manusia sudah sejak azali-nya, terikat dalam perjanjian primordialisme dengan Tuhan, sehingga kecenderungan untuk tunduk, patuh, dan berbakti kepada Tuhannya adalah ciri dari sifat yang melekat dalam diri kemanusiaannya. Perjanjian abadi manusia itu terekam dalam QS 7:172: “Dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". Pengakuan Tuhan sebagai Rabb berkonsukuensi pada konsep kebaktian seseorang kepada Tuhan, disadari maupun tidak. Itulah kenapa, ketakwaan merupakan bakti seorang hamba terhadap Tuhannya yang secara jelas dapat ditunjukkan melalui aktivitas puasa. Puasa adalah “kebaktian” karena fitrah manusia yang memiliki kecenderungan kepada Tuhan (‘abd).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Konsep “Islam Esoteris” biasanya dipahami sebagai bentuk passing over melewati simbol-simbol, jauh melebihi segi lahiriah (syariat) nya sendiri, kemudian masuk lebih dalam pada sisi realitas tertinggi (high reality) sehingga menemukan realitas lainnya yang bersifat batiniah (non materi). Maka sama juga halnya dengan puasa, simbolisasi lahiriahnya, terdapat dalam perspektif menahan makan, minum, berhubungan suami-istri dalam waktu tertentu, yang kemudian sekadar menghadirkan kesengsaraan fisik, belum sampai pada kenikmatan batin atau psikologis. Puasa esoteris akan mengajak kepada suasana batin yang lebih dalam, melampaui batas fisik, mencoba keluar dari dimensi penjara fisik yang sesungguhnya.

Menarik sesungguhnya ketika memahami lebih jauh bagaimana esoterisme Islam membedah kedirian manusia. Paham ini memandang manusia memiliki tiga unsur bertingkat, yaitu jasmani, nafsani, dan rohani. Tingkat terendah tentu saja jasmani, fisik, badan atau tubuh manusia yang tampak sehari-hari (lahiriah). Diatasnya, ada “nafsani” yaitu unsur manusia yang bersifat nafs, jiwa, atau psikologi. Segi ini sudah tidak lagi bersifat jasmaniah, tetapi mulai menunjukkan eksitensi batiniahnya bahkan terkait erat dengan dimensi pikiran manusianya (human mind). Diatas semua itu, puncak dimensi kemanusiaan tertinggi adalah rohani atau spirit yang bersih dan terjaga dari beragam anasir keburukan yang berasal dari dimensi fisik manusia.

Puasa tentu saja tidak menyasar dimensi fisik secara kelesuruhan, tetapi memanfaatkan fisik sebagai “jembatan” menuju dimensi batiniah yang sesungguhnya. Inti dari aktivitas puasa, lebih dalam membangun dan memperbaiki suasana batin agar lebih erat memiliki hubungan dengan Tuhan. Puasa mengajarkan kesalehan—baik individual maupun sosial—yang akan berpengaruh mengisi secara baik, ruang batin yang ada dalam setiap diri seseorang. Theodore Roszack, seorang tokoh mistik pernah mengatakan bahwa dalam diri manusia terdapat ruang batin (spiritual) yang kalau ruang ini tidak diisi oleh hal-hal baik, secara otomatis akan diisi oleh hal-hal buruk. Inilah barangkali yang dimaksud al-Quran sebagai “zuyyina suu’u ‘amalihi” (perhiasan keburukan yang ada pada diri manusia) yang jika tidak diisi dengan kebaikan, akan menganggap pekerjaan buruknya menjadi baik.

Misi esoterisme puasa, sesungguhnya akan menyasar dimensi batiniah atau ruhaniah, karena ruh merupakan eksistensi yang paling tinggi yang ada dalam diri manusia. Kita tentu saja sama dengan binatang pada dua tingkat, yaitu jasmani dan nafsani, namun tidak pada tingkat ruhaniahnya karena binatang tidak memiliki roh! Roh sesungguhnya bukan yang membuat sesuatu hidup, tetapi justru lebih tinggi daripada hidup. Keistimewaan manusia dibanding mahluk hidup lainnya adalah karena “sebagian” roh Tuhan ditiupkan kepadanya, “tsumma sawwahu wa nafakha fiihi min ruuhihi” (kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan sebagian ruh-Nya, QS. 32:9).

Puasa dalam perspektif esoteris adalah jalan memasuki alam psikologis dan rohani dalam kedirian manusia, agar mampu mengharmonisasikan antara fisik dan psikis, jasmani dan rohani. Prinsip harmonisasi dalam hidup adalah ketakwaan, sebagaimana juga yang disasar dalam praktik dan aktivitas berpuasa seseorang. Manusia dalam perspektif besar alam raya (makro kosmos) adalah dimensi yang mewakilinya (mikro kosmos). Seluruh alam perlu keseimbangan dan keharmonisan, termasuk didalamnya manusia. Satu-satunya ibadah yang dapat membentuk “keseimbangan” dan “keharmonisan” bagi dirinya sebagaimana disebut al-Quran hanyalah puasa dengan pesan-Nya “la’allakum tattaquun” (agar menjadi insan yang bertakwa).

Memahami puasa dalam perspektif esoterisme memang sesungguhnya adalah tujuan utama, agar manusia mampu menyeimbangkan seluruh sisi kehidupannya. Menahan diri secara fisik dalam kondisi lapar dan haus, memang tampak seperti “kesengsaraan”, padahal justru mengekang dan menyeimbangkan nafsu duniawiah manusia. Disisi lain, ketika terus berupaya melampaui dimensi fisik kepuasaan seraya menghadirkan suasana batin dengan menghadirkan eksistensi dzikir kepada Tuhan, maka manusia sesungguhnya disadarkan akan “jalan pulang” kembali kepada-Nya. Tuhan adalah “asal” dan “tujuan hidup”—inna lillahi wa inna ilaihi raji’un—sehingga lupa kepada Tuhan sama halnya kita melupakan diri kita sendiri. Bukankah Allah telah memperingatkan, “wa laa takuunu kalladziina nasullaaha fa ansaahum anfusahum” (Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri)? Wallahu a’lam.  

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler