x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Belajar dari P. K. Ojong

Kesederhanaan dan kerja keras serta berpegang pada prinsip untuk mencapai pengabdian yang mulia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Hidup Sederhana Berpikir Mulia - P. K. Ojong

Penulis: Helen Ishwara

Tahun Terbit: 2014

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Penerbit Buku Kompas

Tebal: xvi + 376

ISBN: 978-979-709-837-7

 

P. K. Ojong sebagai pribadi

Di kalangan koleganya, P. K Ojong, yang nama kecilnya adalah Auyong Peng Koen, dikenal sebagai seorang pekerja keras, memegang prinsip secara konsisten, hemat, disiplin dan welas asih.

Auyong Peng Koen lahir dari  ayah Auw Jong Pauw dan ibu Sayang (Njo Loan Eng Nio). Auw Jong Pauw adalah perantau dari China yang merintis usaha di Sumatra Barat, tepatnya di Payakumbuh. Sementara Sayang adalah istri kedua Auw Jong Pauw yang dinikahinya setelah istri pertamanya meninggal. Peng Koen adalah anak pertama Auw Jong Pauw dari Sayang.

Peng Koen bersekolah di sekolah Katholik. Karena tertarik dengan ajaran Katholik, maka Peng Koen dan ibunya akhirnya dibabtis sebagai seorang Katholik. Ia mendapat nama babtis Andreas (hal. 15). Ayahnya, Auw Jong Pauw juga masuk Katholik di masa tuanya.

Ajaran kerja keras dan disiplin dari ayahnya dan nilai-nilai kekristenan sangat mempengaruhi kehidupan Peng Koen.

Seperti kita tahu, nama babtis yang disematkan kepadanya saat dibabtis secara Katholik adalah Andreas. Mengapa kemudian dia dikenal dengan nama Petrus Kanisius? Nama Petrus Kanisius dipilih saat Pemerintah Suharto menganjurkan para peranakan mengganti nama. Ia memilih Petrus Kanisius, nama seorang Jesuit seorang pembaharu gereja (hal. 250). Nama Petrus Kanisius tentu saja dipilih supaya inisial P. K. (Peng Koen) tetap bisa dipertahankan.

Peng Koen menikahi Catherine, seorang gadis peranakan asal Magelang. Pernikahannya awalnya tidak disetujui oleh orangtua Catherine, karena Peng Koen adalah seorang Katholik. Namun karena melihat keseriusan Peng Koen dan melihat bahwa Peng Koen adalah orang baik, maka pernikahan tersebut akhirnya mendapat restu dari keluarga Catherine.

Ojong adalah orang yang sederhana. Ia sangat hemat dan menggunakan uang sesuai keperluan. Ia tidak mengganti mobil ketika sudah menjadi pendiri KOMPAS. Bahkan ketika KOMPAS sudah besar dan memiliki gedung sendiri, ia – sebagai direktur tetap memakai ruang sempit di lantai 3. Bahkan ia menyajikan kue kering sendiri kepada tamunya (hal. 262).

Ia sangat peduli kepada karyawannya. Ia membentuk dana pensiun bagi karyawannya (hal. 292). Ia mempertahankan tunjangan bagi stafnya saat perusahaan dalam kondisi kurang baik. Ia berpendapat bahwa «kemakmuran perusahaan harus tercermin dari karyawannya. Kalau perusahan makmur, karyawan harus ikut makmur» (hal. 274).

P. K. Ojong sangat mengagumi dua senirnya, yaitu Injo Beng Gwat dan Khoe  Woen Sioe. Dua wartawan senior yang berkiprah di Keng Po dan Star Weekly ini menjadi mentor bagi Ojong dalam kariernya sebagai wartawan.

 

P. K. Ojong sebagai wartawan

Peng Koen adalah seorang wartawan dengan tulisan tentang berbagai hal. Ia juga sangat piawai dalam memilih topik yang digemari oleh pembacanya. Hal ini karena wawasan Peng Koen sangat luas. Peng Koen adalah seorang kutu buku. Ia membaca buku apa saja. Ia mempunyai jam tertentu untuk membaca, bahkan ia membaca saat di mobil menuju kantor. Ia mencatat dengan detail buku yang dibeli dan dibacanya. Ia rajin membeli buku. Ia membangun perpustakaan saat mengepalai Star weekly. Ia mengirimi buku-buku kepada Mochtar Lubis yang saat itu menjadi tahanan rumah (hal. 323). Ia juga mengirimi buku-buku kepada Mohammad Roem saat dipenjara di Madiun (hal. 330). Ia menganjurkan buku tertentu untuk dibaca supaya tulisan wartawannya mempunyai isi. Pengetahuannya dari membaca ini menjadi modal sangat penting baginya saat menjadi wartawan dan kemudian pimpinan redaksi.

P. K. Ojong berpirnsip bahwa tulisan di surat kabar adalah untuk dimengerti oleh pembacanya. Ia bisa menangkap apa yang dibutuhkan dan ingin diketahui oleh pembacanya (hal. 83). Ia mengundang orang-orang yang memiliki pengetahuan teknis di bidangnya dan bisa menjelaskan secara populer kepada pembacanya. Sering kali Ojong mengedit tulisan-tulisan dari para orang yang pahan teknis ini supaya lebih mudah dimengerti oleh pembacanya.

Ojong sangat perhatian kepada cara penggunaan bahasa di penerbitannya. Itulah sebabnya KOMPAS pernah menjadi acuan dalam berbahasa Indonesia yang baik. Meski sekarang KOMPAS sudah menurun dalam hal penggunaan Bahasa Indonesia yang baik.

Saat memegang Star Weekly Ojong sampai harus bekerjasama dengan dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung bernama Lie Tie Gwan. Ia bahkan mengirimkan si penanggung jawab rubrik Bahasa Indonesia Lie Tie Gwan untuk ikut ke Konggres Bahasa Indonesia di Bali. Ia mengedarkan tulisan-tulisan di kalangan redaksi untuk mendapatkan koreksi atas kesalahan berbahasa (hal. 89).

Selain dari Star Weekly, Ojong berperan besar dalam penerbitan Intisari dan Kompas. Jika di Star Weekly Ojong berperan membesarkannya, maka di Intisari dan Kompas, Ojong – bersama Jakob Oetama adalah pendiri. Star weekly yang dulunya adalah majalah yang pembacanya adalah kalangan terbatas, sejak era Ojong, Star Weekly menjadi majalah nasional. Ia berhasil memperlua pembaca Star Weekly dari hanya para keturunan Tionghoa, menjadi lebih beragam (hal. 154).

Dua tahun setelah Star Weekly dibreidel, ia bersama Jakob Oetama mendirikan majalan Intisari. Tujuan dari penerbitan Intisari adalah untuk meluaskan cakrawala pembaca (hal. 206). Intisari segera disambut luar biasa. Intisari menjadi pengisi bacaan pengetahuan populer setelah matinya Star Weekly. Majalah yang berisi tentang berbagai pengetahuan tersebut tetap hidup sampai hari ini.

KOMPAS berdiri atas saran dari Jenderal Ahmad Yani (hal. 214). Ahmad Yani mengusulkan supaya kalangan Katholik mendirikan penerbitan untuk mengimbangi PKI dan kawan-kawannya. Ojong dan Jakob Oetama diserahi untuk memimpin surat khabar yang mulai terbit pada tanggal 28 Juni 1965. KOMPAS, meski awalnya terseok-seok, namun akhirnya menjadi koran dengan oplah terbesar di Indonesia.

Bisnis Intisari – KOMPAS bahkan berkembang luar biasa. Entitas bisnis ini melakukan diversifikasi ke penerbitan buku, toko buku dan bahkan bisnis lain di luar bisnis kata-kata.

P. K. Ojong adalah seorang mentor yang baik. Saat mempersiapkan KOMPAS, ia (bersama Jakob Oetama) menyiapkan sendiri calon wartawannya. Para calon wartawan ini diberi tugas, tulisannya dibahas. Meski belum terbit para calon wartawan ini diberi upah (hal. 220). Ia sangat ketat dalam menilai tulisan. Namun ia juga tidak pelit memberi masukan kepada para wartawan muda.

 

P. K. Ojong dan politik

Sebagai wartawan P. K. Ojong bukanlah orang yang tidak peduli dengan situasi politik. Suasana politik saat itu begitu runcing. Bahkan press pun terbelah. Masing-masing press terafiliasi kepada partai tertentu. Ojong berupaya mempertahankan Star Weekly sebagai penerbitan netral. Meski netral, Star Weekly tidak lemah. Star Weekly tetap berani menerbitkan tulisan-tulisan yang memberi kritik kepada Pemerintah. Akibatnya Star Weekly mengalami pembreidelan, seperti koran-koran lainnya (hal. 165).

Salah satu kepeduliannya terhadap kondisi politik adalah tentang nasip orang Tionghoa akibat dari kebijakan dwi kewarganegaraan. Ia ikut memperjuangkan nasip Tionghoa yang terancam kewarganegaraannya (hal. 115). Ia menulis artikel panjang di kolom «Timbangan» di Star Weekly tanggal 6 Maret 1954 tentang status kewarganegaraan peranakan Tionghoa ini.

Ojong adalah seorang penganut asimilasi sukarela. Ia lebih mementingkan asimilasi pemikiran dan tindakan daripada asimilasi biologis dan budaya (hal. 132). Bersama-sama dengan para tokoh Tionghoa yang beraliran asimilasi, diantaranya adalah Siauw Giok Tjhan, Oei Tjoe Tat dan Khoe Woen Sioe mereka akhirnya mendirikan Badan Permusyawaratan Kewarganeraan Indonesia (Bapperki). Meski akhirnya Ojong memilih untuk keluar dari Bapperki karena beda aliran dengan Siauw Giok Tjhan, namun perjuangan untuk membela keadilan tetap berlanjut. Ia terus berjuang melalui tulisan, seperti yang dimuat di Star Weekly tanggal 26 Maret 1960.

 

Petrus Kanisius Ojong adalah teladan. Ia hemat, bekerja keras, memegang prinsip dan peduli kepada sesama. Ia adalah orang yang hidup sederhana tetapi berpikir mulia.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB