x

Iklan

Aisyah Safitri

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Berhentilah Melamun, Marilah Selamatkan Padang Lamun

Menyelamatkan Dugong beserta Habitatnya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Indonesia”, satu kata berjuta warna dan kekayaan yang tersirat di dalamnya. Banyak orang yang mengakui hal ini. Salah satu kekayaan yang sangat mencuat ke mancanegara adalah “keanekaragaman hayatinya”. Hal itu menjadi anugerah bagi Indonesia. Selain itu, kondisi geografis yang strategis pun dengan iklim tropis mendukungnya, membuat Indonesia menjadi hunian yang nyaman nan ideal bagi berbagai flora dan fauna. Terlebih, ekosistem yang di dominasi oleh hutan hujan tropis serta berbagai ekosistem perairannya menyebabkan keanekaragaman hayati, atau akrab disebut dengan biodiversitas, berlimpah ruah. Sebut saja yang unik, indah atau bahkan yang hanya dapat ditemukan di Indonesia, semua hadir di sini. Pada salah satu artikel mongabay memaparkan, secara keseluruhan, Indonesia menempati posisi ketiga dalam negara-negara dengan tingkat biodiversitas di dunia. Sedikitnya, Indonesia menyumbangkan 16,2% jenis burung; 4,6% jenis amfibi; 12,2% jenis mamalia; 7,1% jenis reptil; 14,1% jenis ikan dan 10,9% jenis tumbuhan berpembuluh, tingkat kekayaan biodiversitasnya pada dunia. Mungkin data ini sewaktu-waktu akan berubah. Sebab masih banyak daerah-daerah pelosok yang bahkan belum terjamah oleh para peneliti, berpotensi meningkatkan data yang tersaji saat ini.

Namun, perubahan itu bukan hanya dalam bentuk peningkatan tapi juga ada kemungkinan mengalami penurunan. Perlahan kekayaan itu tergerus oleh tangan – tangan jahil. Salah satu yang jumlah keberadaannya sudah mengalami perubahan adalah keanekaragaman hayati di Indonesia. Hal itu dibuktikan data dari salah satu artikel mongabay yang menyatakan selang tiga tahun, nilai indeks ini menurun menjadi 81.0 di tahun 2008.  Penurunan indeks ini dipicu oleh berbagai isu seperti deforestasi, perburuan dan perdagangan satwa terlindungi, konflik lingkungan serta perubahan iklim global, sehingga mengancam keberadaan hayati di negeri ini.

Keanekaragaman hayati yang mengalami penurunan jumlah populasi waktu demi waktu baik itu yang berada di daratan maupun berada di perairan. Salah satu keanekaragaman hayati fauna yang cukup menarik perhatian dalam penurunan populasinya adalah dugong. Mungkin bagi kebanyakan orang masih asing dengan nama dugong, orang – orang lebih mengenal duyung. Sebenarnya kedua satwa tersebut adalah sama. Dugong memiliki panjang tubuh yang diperkirakan sekitar 2,4-3 meter dengan rentang berat badan mulai 230 hingga 908 kilogram. Secara alami, reproduksinya tergolong lambat. Untuk melahirkan satu anakan saja, ia butuh waktu sekitar 14 bulan, sementara jarak satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya adalah 2,5 – 5 tahun. Dari anakan untuk tumbuh dewasa ini diperlukan waktu sepuluh tahun masa perkembangan. Sementara rentang umur hidupnya sendiri, diperkirakan hingga 70 tahun.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berdasarkan data dari mongabay menyatakan bahwa di Indonesia, dugong tersebar mulai dari ujung Indonesia bagian barat (Aceh) hingga timur Indonesia (Papua). Populasi tertingginya berdasarkan Spalding (2007) diperkirakan ada di perairan Ekoregion Arafura (kurang dari 200 ekor), Ekoregion Papua (kurang dari 100 ekor), serta Ekoregion Lesser Sunda, Ekoregion Paparan Sunda, dan Ekoregion Selat Makasar yang masing-masing kurang dari 100 ekor. Sementara, untuk ekoregion lainnya terpantau dalam populasi yang lebih kecil.

Keberadaan dugong tentunya memiliki manfaat yang begitu besar antara lain, adanya dugong menandakan wilayah perairan tersebut memanglah subur. Ini dikarenakan dugong berandil besar dalam membantu siklus nutrien di alam, terutama saat ia memakan lamun yaitu dengan mengaduk substrat, dan begitu pula dengan hasil ekskresi yang dikeluarkannya.

Sebagai pakan pokok bagi dugong, lamun mempunyai peranan penting dalam segi ekosistem. Lamun merupakan tumbuhan yang berada di dasar laut dangkal. kumpulan lamun disebut padang lamun. memang jika kita melihat tumbuhan ini terlihat biasa saja. akan tetapi, tumbuhan lamun ini memiliki banyak manfaat bagi ekosistem laut. jika kita lihat posisi lamun berada, lamun terletak diantara ekosistem magrove dan terumbu karang dari letaknya yang strategis ini lamun dapat meminimalisir gelombang ombak yang mengarah ke ekosistem mangrove selain itu dapat menyaring sampah sampah kecil yang terseret ombak menuju terumbu karang yang dapat menyebabkan terumbu karang setres. selain dari posisi letak, keberadaan lamun juga menjadi tempat memijah ikan ikan untuk berlindung dari sengatan matahari.

Namun, Tim Walidata Lamun pada Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat bahwa status kondisi padang lamun di sebagian besar wilayah laut Indonesia terkini kurang bagus. Kepala Pusat Oseanografi LIPI, Dirhamsyah mengatakan, saat ini, persentase secara umum tutupan lamun di Indonesia adalah 40 persen. Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 200 Tahun 2004, tutupan padang lamun yang hanya 40 persen itu artinya kondisi padang lamun Indonesia kurang sehat. Dari keseluruhan lokasi yang divalidasi itu, hanya 5 persen yang kondisinya sehat seperti di Biak, Papua. Bahkan padang lamun yang ada di kawasan konservasi seperti Wakatobi dan Lombok juga kondisinya kurang sehat

Apa yang menyebabkan kondisi lamun kurang sehat? Berdasarkan data dari World Wild for Fund (WWF) menyatakan bahwa kerusakan ekosistem lamun, antara lain, disebakan karena adanya reklamasi dan pembangunan fisik di garis pantai, pencemaran, penangkapan ikan dengan cara destruktif (bom, sianida, pukat dasar), dan tangkap lebih (over-fishing).

Sekarang kita dapat berpikir dan mulai bertindak untuk menyelamatkan lamun. Karena lamun tidak akan menunggu. Jika lamun yang ada terbiarkan rusak, maka kepunahan yang ada padanya. Jika lamun punah, apakah ada dampak bagi spesies lain? Tentu saja. Terutama bagi dugong. Hal itu dapat kita ilustrasikan apabila manusia di Indonesia tidak dapat menemukan sumber makanan pokok lagi. Apakah masih bisa bertahan hidup? Tentu saja rasanya bertahan dalam keadaan terancam. Begitulah yang dirasakan oleh dugong apabila hidup tanpa lamun. Tidak hanya dugong yang stress hidup tanpa lamun. Tapi juga akan mengakibatkan laju carbondioksida meningkat di lautan karena lamun berperan sebagai blue carbon Indnesia.

Bukan hanya ketersediaan makanannya yang menipis, ada beberapa hal yang membuat laju populasinya terus menurun, yaitu dikarenakan secara alami dugong memiliki reproduksi yang lambat. Dibutuhkan waktu 10 tahun untuk menjadi dewasa dan 14 bulan untuk melahirkan satu individu baru pada interval 2,5-5 tahun. Ancaman lainnya yaitu tertangkapnya dugong secara tidak sengaja oleh alat tangkap perikanan (bycatch), perburuan masif untuk pemanfaatan daging, taring, serta air mata dugong yang disinyalir memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Jika kalian menyaksikan hal itu terjadi kepada duyung, kalian dapat melaporkannya ke Dugong and Seagrass Conservation Project Indonesia (DSCP Indonesia).

Oleh karena itu, marilah seluruh lapisan masyarakat berhenti melamun dan berkontribusi menyelamatkan padang lamun dan dugong. Apa yang bisa kita lakukan? Hal sederhana yang dapat kita lakukan adalah dengan tidak membeli produk yang berasal dari dugong, dengan begitu laju perburuannya di alam dapat ditekan. Ini kunci utama upaya pelestarian dugong beserta habitatnya.

Ikuti tulisan menarik Aisyah Safitri lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler